[ Hoshi ]
• • •
Gue turun dari mobil dengan perasaan takut begitu dengan ramahnya Kak Herna menyapa gue dengan satu kantung belanjaan yang ada di tangannya.
Bukan cuma gue, Bang Jer juga. Gue bisa melihat dirinya yang panik karena saat ini dirinya mematung dengan mata yang memandang lurus Kak Herna.
Harusnya sih nggak ada yang perlu ditakutin. Karena gue sama Bang Jer udah selesai dengan mencapai klimaks masing-masing. Tapi tetep aja, rasanya deg-degan kayak maling ketangkep basah.
Apakah ini perasaan para pelakor yang ketahuan sama Istri yang diselingkuhinya?
Entahlah. Gue nggak bisa nyebut diri gue pelakor karena gue sama Bang Jer nggak punya perasaan ingin memiliki.
Ini murni hanya kebutuhan.
Gue butuh dia muasin lubang gue, begitu juga Bang Jer yang mulai ketagihan sama lubang gue. Gue bahkan udah menegaskan hal itu pada Bang Jer tadi. Dan Bang Jer setuju-setuju aja kalo setiap kali gue lagi pengen, kita harus ngelakuinnya. Nggak peduli dimana, dan kapan. Asal jangan sampe Kak Herna curiga aja.
Gue tau, gue adek paling nggak tau diri yang udah makek suami Kakaknya sendiri. Tapi, apa ini salah gue. Iya, sih salah gue. Tapi kan, kalo Bang Jer nggak tergoda, gue juga nggak bakal ketagihan sama punya dia
Tapi bodo ah, semuanya udah terjadi. Dan kalo pun pada akhirnya ketahuan, gue serahkan semuanya sama Kak Her apa yang mau dia lakukan ke gue nanti.
"Kamu udah dari tadi bareng Jerhemy, Hos?" tanya Kak Her begitu dirinya sudah sampai di dekat gue yang mana dia harusnya dia nyamperin Bang Jer yang ada di sisi mobil satunya.
Ya, karena gue orangnya nggak gampang panikan. Gue pun dengan santai menjawabnya.
"Iya, Kak. Sempet ngadem di ac mobilnya Bang Jer malah." jawab gue. Kak Her cuma mengangguk aja.
"Kamu kesini sendiri? Apa bareng temen kamu yang namanya Adam itu?" tanyanya lagi. Gue butuh beberapa detik untuk berpikir alasan yang tepat untuk berbohong padanya.
Dan setelah mendapatkan jawaban apa yang harus gue berikan, gue pun langsung mengatakannya.
"Hm, tadi gue bareng Adam Kak. Terus pas mau balik gue papasan sama Bang Jer, dan Bang Jer nawarin gue buat pulang bareng karena sekarang kita udah tinggal satu rumah. Iya 'kan, Bang?" gue meminta persetujuan Bang Jer yang menghampiri.
Bang Jer mengangguk, walaupun bisa gue liat dia masih kaku dan terkesan gugup. Tapi untungnya Kak Her percaya. Jadi dia iya-iya aja sampai kemudian dia menyadari sesuatu saat membuka bagasi mobil yang membuat gue ketar-ketir melihatnya.
Bang Jer juga sama. Bahkan saat Kak Herna balik lagi dengan wajah terlihat kesal, gue udah mengira kalo dia mengetahuinya karena siapa tau ada bekas sperma ataupun aroma beceknya lubang gue yang membekas di sana.
Tapi untungnya perkiraan gue salah, Kak Herna mengatakan sesuatu yang membuat gue bernapas lega.
"Belanjaan kita mana, Mas? Bukannya tadi udah penuh se-keranjang, ya?" itu lah yang Kak Herna katakan, yang membuat Bang Jer menepuk jidatnya seakan teringat sesuatu yang sudah ia lupakan.
Gue bingung, namun gue segera paham begitu Bang Jer mengatakan kalo dirinya menitipkan barang belanjaan pada kasir yang menjaga. Yang mana tentu saja, itu menimbulkan kecurigaan pada Kak Herna yang memicingkan matanya menatapnya.
Karena gue nggak mau kecurigaan itu bertambah besar. Gue pun segera berinisiatif untuk menarik tangan Bang Jer, mengajaknya untuk mengambil belanjaan yang ia tinggalkan. Demi menghindari pertanyaan yang mungkin akan membuat Bang Jer keceplosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother in Law [END]
General FictionKetika sebuah kebetulan menjadi kebiasaan hingga akhirnya membuat sesuatu yang awalnya biasa saja, menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dihindarkan. • • • R21+