[ Hoshi ]
• • •
Entah sudah terhitung berapa menit gue memperhatikan sosok Bang Jer yang saat ini terlelap di samping gue dengan posisi telungkup yang wajahnya menghadap langsung ke gue.
Dan selama itu pula lah, gue selalu merasakan debaran menyenangkan yang sulit untuk gue kendalikan karena pada akhirnya gue menyadari kalo gue emang udah jatuh suka sama Bang Jer yang notabenenya adalah Abang Ipar gue.
Mungkin terdengar aneh karena hubungan gue sama Bang Jer diawali dengan gue yang ketahuan jadi cowok bayaran. Bahkan perasaan gue ini tumbuh karena terbiasa berhubungan badan dengannya.
Tapi nggak bisa gue pungkiri juga, kalo gue jatuh suka padanya karena perilaku Bang Jer yang menggemaskan yang juga perduli serta selalu menuruti keinginan gue seperti yang baru saja gue dan dirinya lakukan.
Ya...gue emang udah mengatakannya langsung ke Bang Jer tadi, kalo gue suka sama dia. Dan Bang Jer pun juga bilang suka sama gue, walaupun gue tau rasa suka yang dia katakan itu hanya sebatas perasaan suka saat dirinya berhubungan badan sama gue.
Tapi ya, gue tetep aja deg-degan mendengar itu langsung darinya. Bahkan saat ini gue nggak berhenti tersenyum melihat wajah damainya yang sedang tertidur.
Wajahnya yang putih mulus namun terdapat sedikit ketegasan di sana membuat gue berdesis kecil merasakan iri hati karena Kak Herna mendapatkan sosok sempurna dalam hidupnya.
Bukan berarti gue ingin merebut Bang Jer darinya. Hanya saja, gue juga ingin memiliki seseorang yang sikap dan sifatnya seperti yang Bang Jer punya.
Gue ingin memiliki hubungan yang serius, walaupun sebelumnya gue pernah bilang kalo hubungan serius seperti pacaran sangatlah merugikan.
Tapi setelah gue mengenal Bang Jer hari demi hari. Gue menginginkannya. Gue ingin Bang Jer melakukan apa yang dia lakukan sama Kak Herna, seperti memanjakannya, bermesraan dengannya, dan melakukan sesuatu didepan umum tanpa memikirkan pandangan orang lain yang melihat.
Tentu gue tau itu hal yang mustahil untuk gue lakukan, mengingat dimana gue tinggal sekarang. Tapi nggak ada salahnya kan gue memiliki keinginan yang gue harap bisa terkabulkan nantinya?
Setelah memikirkan itu semua, gue tersenyum kecil sebelum akhirnya mengulurkan satu tangan gue berniat untuk menyentuh wajah Bang Jer.
Namun saat tangan gue hendak menyentuhnya, suara bel rumah yang ditekan pun terdengar. Membuat gue menarik kembali tangan gue yang terulur, untuk kemudian bangkit dari posisi gue yang sebelumnya berbaring dan mulai mencari pakaian gue yang ternyata berada di dekat pintu kamar.
Gue pun turun dari atas kasur, mengambil baju gue dan langsung mengenakannya sebelum akhirnya gue keluar kamar setelah memberi kecupan kecil pada pipi Bang Jer.
Awalnya gue pikir yang menekan bel adalah seseorang dari perusahaan pesan-antar mengingat Kak Her sering menggunakannya.
Tapi, saat gue membuka pintu dan melihat siapa yang datang, perasaan gugup langsung menghampiri gue kala mengetahui kalau Jordan lah yang menekan bel rumah yang saat ini berdiri di hadapan gue dengan senyuman lebar yang ia tunjukan.
"Hai~" sapanya, dengan satu tangan yang ia lambaikan.
Gue tersenyum kaku melihatnya, sambil berharap-harap cemas kalo Bang Jer terbangun dan ikut keluar dalam keadaan telanjang. Dan karena gue nggak mau itu terjadi, gue pun berjalan keluar sambil menutup pintu agar bisa berbicara dengan Jordan di luar.
Gue tau ini nggak sopan. Tapi mau gimana lagi. Dari pada gue ketahuan kalo gue habis enak-enak sama Abangnya.
"Eh...lo nggak ngijinin gue masuk?" tanyanya. Gue menggeleng.
"Nggak ada siapa-siapa di rumah. Cuma gue doang. Lo ada apa pagi-pagi dateng kesini?" ujar gue padanya yang tanpa sadar melihatnya berpakaian rapi dengan harum parfum yang bisa gue cium dari tempat gue berdiri.
"Iya, gue tau lo sendirian di rumah. Kak Herna bilang kalo dia lagi pergi, dan Bang Jer lagi kerja. Otomatis lo sendirian kan. Makanya gue dateng bermaksud nemenin lo, mumpung gue lagi nggak ada kerjaan." jelasnya.
Gue langsung berpikir cepat agar bisa beralasan kalo gue nggak mau dan menolak idenya itu. Tapi kalo gue mengatakannya secara langsung, dia pasti bakal ngadu ke Kak Her yang nanti ngebuat gue kena ocehan yang pada akhirnya menyuruh gue minta maaf.
"Lo mau nemenin gue?" tanya gue. Jordan mengangguk.
"Kenapa lo mau? Kita aja baru ketemu tadi malem." ucap gue yang mulai mengarahkan pembicaraan menuju penolakan.
"Ya apa lagi? Karena gue sama elo lah. Gue harus gercep dan mengambil langkah lebih dulu supaya lo juga suka sama gue." ujarnya, terdengar percaya diri.
Gue ingin membalas dengan mengatakan kalo gue nggak mau disukain sama dia. Tapi dengan entengnya dia menaruh satu jarinya di bibir gue dengan kepala yang ia gelengkan pelan.
"Gue nggak minta jawabannya sekarang. Karena gue tau, lo bakal nolak. Jadi simpan dulu penolakan itu, karena lo harus liat usaha gue untuk mendapatkan lo." ucapnya, yang membuat gue menghela napas karena tau kalo orang sepertinya sangatlah merepotkan.
"Oke. Tapi lo nggak perlu nemenin gue. Gue baru aja mau pergi." ucap gue. Jordan menaikkan satu alisnya.
"Kemana? Bisa gue yang anterin?" ujarnya.
"Nggak perlu. Gue bisa sendiri." tolak gue, dan berniat untuk kembali masuk ke dalam rumah mengambil kunci mobil.
Namun gue mengurungkannya karena satu tangan gue ditahan olehnya, membuat gue kembali berhadapan dengannya yang berkata.
"Ayo lah. Seenggaknya lo mau gue anter. Gue pengen banget ngobrol sama elo. Dan kalo lo emang nggak pengen ditemenin sama gue, setelah sampai ke tujuan lo, gue pergi. Tapi lain kali gue bakal dateng lagi." ucapnya, gue melepaskan tangan gue yang sempat digenggamnya.
Gue berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab.
"Oke, tapi lo beneran bakal pergi kan? Nggak gangguin gue." ucap gue memastikan.
"Untuk hari ini, iya. Tapi besok-besok gue nggak janji. Kan gue mau usaha dapetin elo." gue berdecih mendengarnya.
"Yaudah, yuk. Gue anter sekarang. Ke rumah temen lo yang bakal jadi bos gue nanti di bar." Jordan kembali meraih tangan gue, lalu menariknya menyuruh gue mengikutinya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri.
Setelah sampai, Jordan membukakan pintu mobil untuk gue dan menyuruh gue masuk ke dalamnya. Sedangkan dirinya sedikit memutar sebelum akhirnya dia duduk di kursi kemudi tepat di samping gue.
Dan sebelum ia menjalankan mobilnya, gue menghembuskan napas gue pelan sambil berharap Bang Jer nggak nyariin gue pas dia udah bangun nanti.
• • •
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother in Law [END]
General FictionKetika sebuah kebetulan menjadi kebiasaan hingga akhirnya membuat sesuatu yang awalnya biasa saja, menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dihindarkan. • • • R21+