[ Hoshi ]
• • •
Setelah hari dimana Bang Jer mengakui perasaannya. Gue dan dirinya hampir setiap harinya selalu bersama.
Seperti makan siang berdua, berangkat kerja dengan gue yang selalu ikut dengan alasan mengantarnya, yang mana padahal Bang Jer selalu menepikan mobilnya sejenak untuk sekedar bermesraan yang berujung berhubungan badan.
Dan itu sudah berlangsung hampir seminggu lamanya.
Tapi walau begitu, Bang Jer tetap memprioritaskan waktunya untuk Kak Herna. Karena bagaimanapun sudah menjadi kewajiban Bang Jer untuk menghabiskan waktu dengannya.
Sebenarnya sih butuh waktu semalaman bagi gue berpikir untuk melakukan hal-hal intim selayaknya sepasang kekasih bersama Bang Jer. Apalagi setelah mengetahui Bang Jer juga memiliki perasaan yang sama dengan gue.
Namun pada akhirnya, gue memutuskan untuk nggak menjalin hubungan dengannya, tapi tetap melakukan hal yang biasa kami lakukan namun lebih mesra dari sebelumnya.
Mesra yang gue maksud tuh kayak orang pacaran. Pergi kencan, jalan bareng, liburan bareng, dan saling menaruh perhatian satu sama lain. Hubungan tanpa status lah istilahnya.
Gue tau itu berlebihan. Bahkan gue tanpa malu mengucapkan kalo Bang Jer harus membagi waktunya dengan gue juga, yang mana seharusnya gue nggak melakukannya mengingat kalau dirinya adalah suami dari kakak kandung gue sendiri.
Harusnya tuh gue marah, karena Bang Jer udah bermain di belakang Kak Her. Bang Jer udah nggak setia sama pernikahannya, bahkan sempat gue dengar dirinya berkata kalau ia lebih nyaman berada di dekat gue. Yang mana gue tau sendiri kalo Bang Jer merasakan itu karena baru beberapa hari saja kami bersama.
Mungkin setelah dirinya bosan, ia akan kembali pada jalannya yang normal bersama Kak Herna.
Jadi sebelum itu terjadi, gue akan diam dan berusaha untuk nggak memikirkan Kak Herna selama gue bersama Bang Jer karena gue ingin menikmati waktu gue yang mungkin sangatlah singkat untuk terus bersamanya.
Sejujurnya gue bingung, gimana bisa semua ini gue rasakan. Gue yang udah beberapa kali berhubungan badan sama cowok lain, nggak pernah ngerasa jatuh hati apalagi suka.
Tapi kemudian gue berpikir, kalo perasaan gue tumbuh karena perhatian Bang Jer ke gue yang hangat juga lembut yang membuat gue merasakan sesuatu padanya karena mengingatkan gue akan sosok Ayah juga Abang kandung gue yang udah nggak ada.
Bukan maksud gue menyamakannya. Tentu gue memandang Bang Jer berbeda, gue memandangnya sebagai seorang pria yang ingin gue miliki selamanya.
"Kamu lagi ngapain, sih? Serius banget keliatannya." ujar Bang Jer. Kedua tangannya menelusup masuk untuk memeluk tubuh gue dari belakang.
Saat ini gue berada di kamar, menatap layar laptop yang menampilkan data rencana untuk pembukaan bar yang akan dilaksanakan nanti malam.
Soal Bang Jer, dia emang udah dari tadi di kamar gue. Dan baru aja selesai mandi yang mana bisa gue hirup aroma sampo juga sabun yang semerbak yang membuat gue tersenyum dan akhirnya menoleh padanya yang saat ini menyandarkan kepalanya pada bahu gue.
Dan ya, gue sama Bang Jer baru aja selesai melakukannya.
Setelah Kak Herna pergi untuk kursus mengemudi mingguannya, Bang Jer langsung menyerang gue dengan mencium gue sambil kedua tangan yang melucuti pakaian gue yang mana hal itu berujung dengan kami yang melakukannya di atas sofa beberapa jam yang lalu.
Sungguh, gue nggak pernah bosan dengan permainan yang Bang Jer lakukan ke gue. Rasanya tetap sama seperti pertama kali gue bermain dengannya.
Apalagi setelah mengetahui perasaan kami masing-masing, permainan Bang Jer menjadi lembut dan lebih bisa menikmatinya dengan ciuman-ciuman hangat yang dibarengi dengan ucapan Bang Jer yang terus mengungkapkan perasaannya ke gue.
Gue baper setengah mati mendengar ucapan-ucapan itu. Tapi gue berusaha menahan diri untuk nggak mengungkapkan perasaan gue lagi karena takut gue menginginkan lebih dari sekedar hubungan tanpa status.
Dan juga gue takut, kalo perusaan suka gue akan tumbuh lebih besar yang memungkinkan gue untuk sulit melupakannya, kala Bang Jer sudah sadar dan kembali pada Kak Herna yang sejatinya adalah pasangan hidupnya.
"Bang..." panggil gue pelan. Mata gue masih fokus menatap layar walaupun saat ini gue rasakan bibir Bang Jer yang mengecup rahang juga leher gue.
"Hm~" balasnya tanpa menghentikan aksinya.
"Kayaknya Bang Jer nggak perlu dateng deh ntar malem. Biar gue sama Adam aja yang ngurus pembukaannya. Bang Jer temenin Kak Her aja di rumah. Udah beberapa hari ini Kak Her sendirian tiap malemnya." ujar gue.
Kini Bang Jer menjauhkan kepalanya dari ceruk leher gue, menatap gue dengan pandangan tanya juga alis yang sedikit terangkat.
"Nggak papa?" tanyanya. Gue mengangguk pelan.
"Gue nggak mau egois Bang karena selalu ambil waktu malem Bang Jer yang harusnya untuk berduaan sama Kak Her." ucap gue, kembali merasakan perasaan bersalah karena sudah membuat suami Kak Herna menuruti permintaan gue yang ingin terus bersamanya.
"Egois?" gue mengangguk.
"Kita udah setuju kalo Bang Jer harus lebih memprioritaskan waktu Bang Jer untuk Kak Her. Tapi semenjak persetujuan itu dibuat, nggak pernah sekalipun gue ngasih waktu malem yang biasanya Bang Jer gunain buat berduaan sama Kak Her." jelas gue.
"Gue jadi ngerasa bersalah, Bang. Kak Her nggak pernah berbuat jahat ke gue. Bahkan setelah kepergian tiga anggota keluarga gue, Kak Her lah yang mengurus gue. Ya walaupun itu nggak lama, tapi itu cukup untuk membuktikan betapa sayang dan baiknya Kak Her ke gue." tambah gue, sambil mengingat saat-saat gue bersama Kak Her di masa lalu.
Bang Jer tersenyum simpul menanggapinya, ia memegang kedua bahu gue lalu dengan gerakan perlahan memutar tubuh gue yang memang duduk di kursi yang bisa berputar sehingga kini gue berhadapan dengannya yang setengah membungkuk untuk menyamakan posisinya dengan gue.
"Kamu benar. Harusnya kamu merasa bersalah karena udah main sama Abang yang statusnya sebagai suami Kakakmu. Tapi kamu nggak bisa menyingkirkan fakta kalo bukan cuma kamu yang menginginkannya, Hos. Abang juga merasakannya. Abang menginginkan kamu, Abang suka sama kamu, Abang sayang sama kamu."
"Ya walaupun semuanya masih membingungkan. Tapi Abang yakin sama perasaan Abang ini, Hos. Abang nyaman sama kamu. Abang nggak bisa berhenti mikirin kamu. Bahkan Abang selalu merasa takut kalo kamu bakal nyari yang lain karena menolak menjalin hubungan sama Abang. Seharusnya yang merasa bersalah itu Abang."
"Abang yang berkhianat. Abang yang selingkuh. Abang yang nggak setia sama pernikahan Abang sendiri. Abang juga nggak bisa milih, Abang sayang sama Kakakmu, tapi Abang juga mau memiliki kamu. Abang lah yang egois di sini, Hos. Bukan kamu." ucapnya panjang yang sangat mengena pada hati gue.
Gue bisa melihat kebimbangan dalam tatapan matanya. Bang Jer pasti kesulitan. Seharusnya gue nggak mengatakan perasaan gue padanya, karena sekarang gue menjadi perusak hubungan pernikahan dirinya juga Kakak gue sendiri.
Tapi...gue juga nggak bisa membohongi diri gue sendiri kalo gue juga menyayanginya. Bahkan tanpa gue sadari, gue sudah mencintainya.
Kebersamaan yang kami lakukan, sungguh membuahkan hasil dengan perasaan gue yang tumbuh amat pesat, yang membuat gue semakin takut jika hari itu tiba yang mengharuskan gue untuk melepaskannya.
Jadi dengan semua pembicaraan barusan, gue mengakhirinya dengan memeluknya erat. Membenamkan wajah gue di bahunya untuk menumpahkan air mata yang sudah gue pendam selama beberapa hari ini karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi nantinya.
Namun kemudian, gue dan Bang Jer mengakhirinya dengan melakukannya lagi untuk melanjutkan ronde ke dua.
• • •
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother in Law [END]
General FictionKetika sebuah kebetulan menjadi kebiasaan hingga akhirnya membuat sesuatu yang awalnya biasa saja, menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dihindarkan. • • • R21+