04

2.5K 152 1
                                    

# Playlist

Note.
Diusahakan di setiap ada lagu di putar.
(Biar lebih ngena)


Pria yang tadi dia tunggu kini menampakan batang hidungnya juga, dengan motor merah kesayangannya. Sri tersenyum disaat Satria melambaikan tangannya.

"Udah lama?" Satria duduk. Sambil melepaskan helem yang masih terpasang rapih di kepalanya.

"Ngga terlalu lama sih. Sekitar tujuh menit kurang lebih, ini........" Sri menyerahkan tumpukan kertas ukuran A4 itu di atas meja.

Satria melambaikan tangan. "Mang Ron. Soto dua ya mang, yang satu jangan pake Sadri yang satu kayak biasa"

"Siap. Bang Sat...." Mang Roni mengacungkan ibu jarinya.

"Yeh..... Mang. Jangan awal nya aja kalo panggil nama saya, kalo ngga pake koma ngomongnya Jadi BangSat nanti. Begal dong saya" Mang Roni tertawa, diikuti oleh tawa Sri.

Pria berambut gondrong itu memang sangat humoris. Sri bisa tertawa jika sedang bersama pria itu. " Oh...... Iya. Jadi berapa?" Satria mengalihkan perhatiannya pada Sri, dikeluarkan dompet miliknya itu dari dalam saku celana jeans yang ia kenakan.

"Lima puluh dua ribu. Tapi, tadi uangnya kurang dua ribu. Terus......, kata Mas yang jaga ngga apa-apa" Satria mengeluarkan lembar uang seratus ribu.

"Makasih ya. Sri, udah mau nolong"

"Sri. Ngga punya kembalian bang, di tuker ke Mang Roni dulu aja"

"Ngga usah. Ini Abang kasih sebagai ucapan terima kasih. Sri udah mau bantu ngeprinter 'in tugas-tugas Abang, jangan nolak ya" Sri sungkan disaat ia harus menerima pemberian Satria yang entah sudah yang kesekian kali.

"Terima aja Sri. Kapan lagi dapet rezeki anak Solehah" Mang Roni menjawab. "Monggo sotonya. Selamat menikmati, Bang Sakti" kepulan asap di atas mangkuk mengalihkan perhatian Sri.

"Satria Mang....... Bukan Sakti. Punya kekuatan dong saya" ketiganya tertawa.

Satria menggeser mangkuk soto ke hadapan Sri. tak lupa dengan sepiring nasi yang di taburi bawang goreng di atasnya.
Jujur saja Sri sangat lapar. Tapi, ketika Mang Roni menawarkan Soto untuknya ia menolak, bukan tanpa alasan, ia takut tidak bisa membayar. Keadaan ekonomi Mang Roni jauh lebih prihatin. Anak bungsunya yang berusia tujuh tahun sudah lima tahun menderita gagal ginjal. Menjadi serabutan tidak cukup untuk membeli obat-obatan yang harus di beli, berjualan soto bening di dini hari menjadi sampingan untuk tambahan membeli obat dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

"Loh. Tadi katanya jangan di panggil Sat, sekarang di panggil Sakti juga Ndak mau gimana toh Bang?" Keluh Mang Roni.

"Ya...., Panggil aja Satria Mang"

"Yowes......, Bang Satria"

Sri masih asik mengaduk soto miliknya, Sebenarnya ia ingin meminta bantuan satria, barang kali Satria mau membantu. Tapi, pria semester akhir itu sudah sangat sering membantu.

"Loh, kok ngga di makan Sri? Mang Roni kasih Sadri ya, ke sotonya?" Sri menggeleng.

"Ngga kok Bang. Ini nunggu agak dingin dulu aja" Satria tahu bahwa dia tak suka Sadri.

Pertemanan keduanya memang sudah cukup lama, mungkin sudah sekitar dua tahun lebih. Jadi tak heran Satria tahu apa yang Sri tidak suka.

Keduanya menghabiskan soto bening Mang Roni yang enaknya sudah terjamin. Soto Mang Roni ini hanya bisa di temukan di dini hari saja yang memang di peruntukkan untuk para pengunjung Gedung. Kadang sebagian masyarakat membelinya dikala lapar di tengah malam seperti saat ini.

SRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang