Chapter 11

1.1K 112 48
                                    

Vote☆

🍁🍁🍁🍁🍁

Luna benar-benar membuatku muak! Ia diam-diam menghubungi bajingan Frederick, seharusnya aku menyembunyikan telepon sialan itu.

Pintu balkon masih terbuka lebar, aku tergesa berlari saat melihat Luna sedang dibantu orang lain untuk menaiki helikopter.

"Alluna!" Teriakku menggema, Luna sempat menoleh, namun gadis itu langsung ditarik oleh orang-orang sehingga kini ia berada dalam helikopter.

Aku melihat Frederick yang tersenyum, semyuman yang mengejek seolah baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Napasku memburu, ingin sekali menghajar bajingan tua bangka itu dan menghukum kucing nakalku. Aku berjalan, tidak berlari untuk menghampiri mereka.

Tapp

Langkahku terhenti, mereka menodongkan senjata berupa senapan. Aku merutuk dalam hati, tidak membawa alat senjata apapun.

"Menyerahlah, Luna tidak ingin dengan orang asing." Frederick mengucapkan kalimat tersebut.

Aku berdecih lalu terkekeh padanya. "Kau pikir dengan membawa Luna akan memastikan jika semua akan baik-baik saja?"

Aku semakin memajukan langkahku, mendekat pada sekumpulan orang yang berada dalam helikolter. Hingga jarak antara helikopter dan aku hanya 3,5 meter, aku memghentikan langkah. Suara dan angin yang ditimbulkan dari alat transportasi tersebut membuatku sedikit terganggu.

"Ayo sweetheart, tinggal bersamaku." Bujukku mengulurkan tangan pada Luna.

Luna mematung, ia berpegangan erat pada sabuk pengaman. Kucing nakal itu sudah duduk manis dalam helikopter.

"Kita pergi," Ucap Frederick mutlak pada seorang pilot.

"Turun Luna, orang itu tidak baik untukmu," Ucapku disertai sindiran kecil pada Frederick.

Lalu dari arah belakang, kudengar derap langkah. Sepertinya mereka anak buahku. Frederick sialan itu menyuruh bawahannya untuk kembali menodongkan senjata pada kami. Aku mengangkat tangan, mengisyaratkan anak buahku untuk menghentikan langkahnya.

"Tidak perlu menyebut diriku buruk di hadapan Luna. Karena bagaimanapun, aku berhak atas dirinya," Ucap Frederick.

Rahangku mengetat mendengar ia menyebut aku berhak atas dirinya. Cih, dia hanyalah ilmuwan gila yang menutup topengnya dengan seorang dokter bedah. Bagaimana nasib Luna jika ia bersama bedebah itu dalam situasi yang sedang  kacau.

Aku berjalan tergesa, ingin menarik Luna untuk menjauhkannya dari orang-orang gila disana. Namun, gadis itu hanya diam duduk mematung, matanya berurai air mata menatap manikku.

Tanganku menggapai sisi pintu helikopter, aku menarik salah satu kaki dari mereka sehingga ia terjatuh keluar dari helikopter. Bersamaan dengan itu, seseorang menarik pelatuk yang diarahkan pada bagian dada kiriku. Jantung.

Dor

"No!"

Itu suara Luna sebelum akhirnya aku pun terjatuh merasakan timah panas. Beruntung mereka tidak menembakku dengan senapan melainkan dengan sebuah pistol.

[3.1] The Apollyon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang