VIII - Mengejar

167 25 3
                                    

Malam ini, suhu udara Britania Raya dingin seperti hari-hari lainnya di bulan Desember. Aku, Rodney, dan tujuh orang lainnya berdiri di sisi hutan, kendaraan yang kami gunakan berjajar di kanan jalan. Aku melirik jam tangan milik Rodney setelah mengangkat tangan kirinya. Hampir tengah malam dan orang terakhir yang belum kunjung datang adalah sang wanita penyedia senjata api yang akan kami gunakan.

Rodney mengutak-atik pistol miliknya, kemudian menatapku dan menyimpan pistol itu di samping tubuh. "Ini kosong, aku perlu meminta peluru peraknya pada wanita blonde itu." Dia ragu-ragu mengatakan sesuatu, "tidak kedinginan? Kau pakai jaketku saja."

Aku menggeleng, baru ingat jika Britania sedang dilanda hari-hari dingin ketika melihat Rodney mengenakan jaket tebal di dalam mobil. Jika tidak malas, aku pasti sudah berlari kembali ke dalam rumah sebelum berangkat dan menyambar jaket di dalam lemari kamar. Kami berbaur dalam senyap, berkumpul menjadi satu, berusaha bersuara tanpa menimbulkan keributan. Kejanggalan yang melintas di otakku sedikit demi sedikit mengganggu. Karenanya, aku berbisik kepada Rodney, "pernah terpikir kenapa polisi tidak pernah menemukan aktivitas ini? Suara senapan cukup keras, bukan?"

"Entahlah, Blyhte. Mungkin karena kita masuk terlalu dalam ke jantung hutan, jauh dari jalan ini. Lagipula, daerah ini sepertinya juga tidak masuk area patroli." Rodney mengusap tengkuk leher. Dia memandang satu per satu anggota perburuan kali ini yang sama persis saat terakhir kali kami masuk ke hutan bersama.

"Aku tidak yakin," bantahku, "ini seperti sesuatu meredam suara di dalam hutan dari dunia luar."

Rodney menoleh ke belakang, tidak, hampir seluruh dari kami menoleh ke sumber suara yang baru tiba. Ketika aku mengikuti arah pandang mereka, Cordelia berdiri di sana, penyedia senjata api itu turun dari mobilnya, bergerak ke arah bagasi diikuti oleh seluruh orang di sini.

"Cukup malam untuk kembali beraktivitas. Apa kabar, kawan-kawan?" Cordelia menutup bagasi setelah semua orang mendapatkan senjata mereka masing-masing.

Rodney telah mendapat peluru peraknya dan aku kini memegang senapan serbu yang telah diisi peluru perak kembali. Bagaimana wanita ini mendapatkannya masih menjadi tanda tanya bagiku. Kami mengikuti Cordelia yang memimpin masuk ke dalam hutan dengan ceria, seakan kami akan melakukan tur tanpa memacu adrenalin di dalam kegelapan hutan. Aku mendongak, memandang bulan yang tertutup awan. Kuharap malam ini tidak turun hujan atau semuanya akan kacau.

"Oh, kau, yang memegang pistol di belakang sana." Cordelia berhenti melangkah, menoleh ke belakang diikuti orang-orang di depanku dan Rodney. "Sebaiknya kau berhati-hati. Pegang pistolmu erat-erat, tampan," ujarnya kembali berbalik setelah tersenyum dan kembali melangkah.

Aku melirik Rodney dari sudut mata. Tidak ada perubahan raut wajah, akan tetapi dia memutar bola mata.

Tidak ada serangan. Detik-detik yang kunanti seperti saat itu tidak kunjung datang. Tidak ada gemerisik daun yang bergesekan dengan sesuatu selain kami yang berjalan sebisa mungkin tanpa mengeluarkan suara, tidak ada lolong dan geraman asing, tidak ada ancaman bagi kami seperti hari itu.

Sekelebat sesuatu tertangkap melalui sudut mataku, berasal dari kiri. Jantungku berdegup kencang, apa yang baru saja tertangkap pengelihatanku bukanlah sesosok hewan buas ataupun seekor manusia serigala.

Aku menggenggam erat senapan dengan kedua tangan, moncong senapanku terarah pada datangnya angin, di titik tempat dimana sosok itu berdiri di antara pepohonan, menyatu dalam rimbun hutan. Pelatuk bukanlah tujuanku dalam mengangkat senapan, bukan untuk membidik, melainkan melihat lebih jelas sosok itu melalui pisir.

Rodney menyadari pergerakanku yang berlawanan dengan rombongan, dia menepuk pundakku pelan. Kuangkat jari telunjuk ke depan bibir dan melepas satu tangan dari pegangan senapan untuk sementara. Sosok itu masih di sana, berdiri seolah memerhatikan kami.

"Apa itu manusia?" bisik Rodney, bergidik.

Aku melirik sejenak, kami terpisah cukup jauh dari rombongan, sekumpulan orang itu terus bergerak maju melawan tekanan pepohonan yang seakan tidak menerima keberadaan kami di sini.

Rodney menahan pundakku ketika aku melangkah maju mengikuti insting, mendekati apa yang membuat rasa penasaran dalam dada membuncah sebegitu kuat hingga aku menolak bergabung bersama rombongan kembali. Laki-laki itu menggeleng, melarang tegas untukku berjalan mendekati sumber yang dianggapnya sebagai ancaman.

Meskipun kenyataannya bahwa hutan ini tidak memberi jaminan keselamatan pada kami atas segala kemisteriusannya, akan tetapi aku terlalu keras kepala. Insting menuntun langkahku perlahan menyibak rerumputan kecil.

Suara langkah Rodney terdengar mengikuti dari belakang, entah merasa takut hingga terpaksa ikut atau ia juga penasaran sama sepertiku. Ketika jarak di antara kami semakin terkikis dengan aku yang mempercepat langkah, sosok laki-laki dengan tubuh jangkung dan kaus hitam misterius itu berlari menjauhi kami, sosoknya yang hilang ditelan gelap sontak membuatku berlari menyusul. Tidak ada teriakan Rodney, tapi dari apa yang kudengar, dia sepertinya turut berlari.

Aku bersusah payah berlari mengejar sosok itu dengan mengandalkan kemampuan lari yang dapat dibanggakan jika seseorang bertanya mengenai kelebihanku. Sosok itu tidak berlari lurus seperti sebelumnya, ia kini memilih berbelok setelah beberapa lama berlari.

Aku berusaha mengingat bagaimana rute yang kutempuh dalam mengejarnya, kanan-kiri-lurus-kiri-kanan lagi. Di tengah rasa lelah menggerogoti, kecepatan lariku berkurang dan langkah Rodney tidak lagi terdengar. Ini terasa seperti sebuah jebakan, karena aku kini berada di tengah pepohonan pinus yang menjulang tinggi, ditemani kukur burung hantu yang bagaikan melodi.

Aku hilang arah. Kujulurkan tangan untuk mengenali arah angin, sedikit tenang mendapati awan mendung bergeser perlahan, membuka tirai kegelapan, dan memberi jalan pada seberkas sinar rembulan yang tak sabar untuk memancarkan keindahannya.

Kecewa mulai menyelimutiku dikala angin tak berniat memberitahu arah. Alih-alih mengembuskan napas kuat-kuat untuk segala lelah yang merangkul erat, napasku tertahan kala sebuah telapak tangan besar menggenggam pergelangan tanganku yang masih terangkat tiba-tiba.

Tubuhnya yang terbalut kaus hitam lebih tinggi dua kepala, rambut putihnya membingkai wajah dengan garis rahang tegas layaknya pohon quebracho.

Laki-laki itu bukan Rodney.

Laki-laki itu bukan Rodney

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hunting the Werewolf [2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang