SII - XLVII - Saudara Satu Darah

32 6 2
                                    

Ayah mengundang rekan kerjanya ke rumah, jadi aku melarikan diri. Separuh wajahku kusembunyikan di balik syal merah yang melingkari leher. Sepi sekali, biasanya di musim panas, taman yang dekat dengan rumah Rodney ini dipenuhi anak-anak kecil. Kendati demikian, keheningan ini membuatku merasa damai.

Kuluruskan kaki sebelum mendorong ayunan yang kududuki ke belakang. Derit besinya membuatku mengernyit. Sepertinya sudah harus dilumuri oli.

"Hei, Blyhte, menunggu lama?"

Ya ... walaupun keheningan itu baru saja berakhir setelah Rodney tiba.

Rodney berdiri di depanku, mengulurkan minuman hangat yang baru dibelinya. Aku mengikutinya masuk ke dalam mobil yang diparkir di sisi jalan. Dahiku mengernyit, mengendus aroma dari gelas cup yang diberikan Rodney. Setelah mencicipinya, aku baru tau apa yang laki-laki itu pesankan untukku. "Earl grey."

Rodney mengangguk, dia masih menyeruput minuman miliknya. Kusandarkan punggung pada kursi, memandang lurus ke depan. Dibandingkan membeku di taman, memang lebih nyaman dan hangat di dalam mobil karena suhu dari pemanas ruang.

"Tiba-tiba, bukan?" celetuknya.

Laki-laki itu ikut menoleh ketika aku menatapnya dari samping. "Ned dan Galechka."

Dia sedang membahas undangan pernikahan Ned dan Galechka yang baru kami terima tadi pagi.

Rodney lagi-lagi berceletuk, "kukira Ned ... kau tahu? Tidak akan menikahinya." Aku mengerti maksudnya. Rodney melanjutkan, "dia terkenal main-main dengan wanita."

Hening menyelinap di antara kami berdua setelahnya. Aku menyeruput teh di tanganku, diam-diam membenarkan ucapannya.

"Kalau kau?" ujarnya yang membuatku menoleh, "bagaimana?"

"Apa yang bagaimana, Rodney?" ulangku.

Aku tidak tahu mengapa, Rodney terlihat tidak tenang, rona merah muncul di pipinya. Oh, apa karena membelikan teh ini untukku dia jadi kedinginan?

"Pulang saja," putusku. Kalau lama-lama di luar hanya untuk menemaniku dia bisa sakit.

"Pulang?" Rodney membeo. Sorot matanya seolah baru saja memprotes ucapanku yang terdengar abstrak untuknya.

"Kau kedinginan, wajahmu memerah," balasku, "aku akan turun di sini, tidak perlu menemaniku."

Dia menahan tanganku yang hendak membuka pintu mobil. Rodney mengernyit. "Begini, aku bosan di rumah. Jadi, kupikir aku ingin menikmati segelas earl grey di musim dingin dengan seseorang?"

Terdengar melantur. Lihat, ronanya mulai merebak hingga ke telinga. Dasar keras kepala, aku urung membuka pintu mobil. "Keras kepala sekali, jangan salahkan aku kalau kau sakit."

Rodney tersenyum. "Sepertimu. Mungkin aku melakukan copy-paste sifat-sifatmu tanpa kusengaja."

"Boleh kalau kulanjutkan percakapan kita tadi?" ujarnya kemudian menjeda, seolah menungguku.

Aku mengangguk, menatapnya yang tampak gugup seperti hendak maju untuk audisi.

"Kalau menurutmu, bagaimana dengan ...," Rodney mengusap tengkuknya, "pernikahan?"

Aku mengangkat bahu. "Tidak ada yang mengajakku menikah, jadi tidak bisa kubayangkan sedikit pun ... hey!" Kutepuk pipinya, hawa dingin di luar masih terasa di  kulitnya. "Sebaiknya segera pulang! wajahmu sudah seperti apel merah!"

***

Sibuk berkutat dengan gaun selutut yang kukenakan, aku tidak menyadari ibu berdiri di daun pintu, tanpa sepatah kata.

Hunting the Werewolf [2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang