SII - XLIV - Anak-anak Werewolf Cannock Chase

47 7 6
                                    

Rodney!

Aku menghirup napas dalam, langsung terduduk dan mengamati sekeliling. Rumah kayu bergaya otentik ini ....

"Sudah sadar?"

Tubuhku otomatis beringsut menjauh ketika Glenda masuk dan duduk di ujung ranjang. Bukannya aku mencoba bersikap tidak tahu diri pada pemilik rumah, tetapi Shane berhasil membuatku berpikir dua kali untuk memercayai seseorang.

Glenda tersenyum. "Ini bukan rendaman Biston Betularia, minumlah."

Sekali lagi, aku tidak bermaksud kurang ajar dan tidak tahu sopan santun, tapi benarkah tidak ada sesuatu yang dimasukkannya ke dalam sana? Barangkali obat tidur dan selanjutnya dia akan menyerahkanku pada kakaknya?

"Blyhte, aku tidak memintamu percaya padaku," ujar Glenda tiba-tiba. Aku lupa dia bisa melihat apa yang telah kulalui. "Tapi aku tidak bermaksud mencelakaimu."

"Rodney?" tanyaku. Prasangkaku memburuk karena tidak melihatnya di seisi ruangan. Seharusnya aku bisa melihatnya begitu terbangun. Ini membuat jantungku berdetak kencang. "Ada di mana?"

Glenda mengulurkan tangannya. "Ayo, akan kutunjukkan."

Kendati rasa takut mulai menyergapku ketika menyambut uluran tangan Glenda, aku tetap mengikutinya. Dia membawaku melewati pintu belakang. Begitu pintu itu terbuka, suara tawa anak-anak menyambut. Riang gembira yang kudapati dari wajah-wajah ceria anak yang tingginya tidak lebih dari setengah kaki Rodney. Mereka mengitari Rodney, bermain dengannya. Aku mengerjapkan mata, benarkah? Benarkah yang kulihat bahwa dia baik-baik saja?

Rodney menyadari keberadaanku, dia yang awalnya terduduk di antara segerombol anak kecil yang berpakaian seadanya itu segera berdiri menghampiriku.

"Blyhte," ujarnya, menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Maaf, maaf karena aku tidak bisa menjemputmu, maaf karena lagi-lagi aku tidak berguna." Dia tersenyum, manis sekali, iris hijaunya yang menatapku begitu lembut.

Hatiku mencelus. Aku tidak pernah menganggapnya tidak berguna, sekalipun kemampuan menembaknya memang payah, tetapi Rodney adalah temanku. Dan aku lebih mengharapkan keselamatannya dibandingkan diriku sendiri. Kendati demikian, yang dapat kulakukan hanya menggelengkan kepala, lidahku kelu begitu dapat menjumpainya setelah sekian lama. Aku menunduk, menyembunyikan air mata yang memalukan ini. Banyak pasang mata anak-anak yang sedang menatap kami.

Rodney tidak melanjutkan kalimatnya, dia membawaku dalam dekapannya, membuatku nyaman setelah melalui ketakutan yang menggerogoti relung hatiku.

Dehaman Glenda membuat kami memisahkan diri. "Aku bisa mengerti, tapi anak-anak ini tidak, sepertinya kau harus mengenalkan dirimu, Blyhte."

Aku menatap mereka yang menyembunyikan diri di belakang Glenda, menatapku dalam diamnya. Entah mengapa perasaan yang kurasakan ketika melihat mereka cukup mirip dengan ....

"Hai," sapaku, melambaikan tangan. Sial, aku tidak dekat dengan anak-anak. Berkat dorongan Rodney, aku maju beberapa langkah mendekati mereka dan berjongkok. "Namaku Blyhte."

Salah satu anak laki-laki yang kulitnya berwarna kecokelatan mendekatiku, alih-alih menyambut uluran tanganku, dia menyentuh wajahku dengan tangan mungilnya, meraba mata, hidung, dan rambutku. "Blyhte?" Senyumnya terkembang. "Blyhte! Blyhte!" tunjuknya ke arahku.

Anak lainnya mulai maju, menatapku dengan mata lebar mereka. Mereka menyentuhku dan mengendusku, rasanya malu mengingat aku belum mandi sejak kabur dari Shane.

"Mereka anak-anak werewolf hutan Cannock Chase," tutur Glenda.

"Aku tidak melihat mereka saat kita mengunjungi tempat itu?" tanyaku. Pantas saja pakaian mereka terlalu sederhana dan lusuh untuk ukuran anak yang tinggal di wilayah ini.

"Disembunyikan," jawab Glenda, "Phils tidak ingin mereka melihatmu."

Lantas, sekarang dia membiarkan anak-anak ini berkeliaran di luar pack dan melihatku?

"Mereka dibawa seseorang, Blyhte," ujar Glenda seolah mengetahui pikiranku, "yang mungkin ingin kau temui."

Saat Glenda membawaku ke ruang pribadinya, aku langsung tahu bahwa remaja laki-laki tunanetra itu lah orang yang akan kutemui. Glenda meninggalkanku berdua bersamanya. Kecanggungan yang kentara kutampakkan ketika laki-laki itu membungkukkan badannya dengan tangan di dada, menyapaku yang duduk di depannya.

"Lama tidak berjumpa, Luna," sapanya.

Aku tersenyum tipis. "Bisa kau memanggilku Blyhte saja?" Panggilan itu tidak pantas untukku.

"Tidak." Jawaban singkat yang membuatku mati kutu. "Sudah sepantasnya demikian," ujarnya.

"Apa ... kau yang membawa anak-anak itu kemari?"

Dia mengangguk. "Sudah seharusnya mereka mengenal anda."

"Eh ... begini, apa kau tidak kedinginan? Apa anak-anak itu tidak kedinginan menggunakan pakaian setipis itu?"

Gelengannya membuatku terheran. "Werewolf cukup tahan pada udara dingin, anak-anak itu sudah beradaptasi."

Aku hanya mengangguk menanggapi perkataannya. Kalau benar demikian, maka kekhawatiranku tidak berarti. Melihat mereka berlarian di atas salju dengan pakaian setipis itu membuat tulangku ngilu sendiri membayangkannya. "Omong-omong, boleh aku tahu namamu?"

Iris abu-abunya terbuka lebar. Dia menunduk. "Suatu kehormatan, nama saya Ian."

"Baiklah, Ian."

Keheningan di antara kami berlangsung cukup lama. Aku sesekali mencuri pandang pada iris matanya yang berwarna abu-abu. Kalau benar laki-laki ini buta, bagaimana dia bertahan hidup di packnya?

"Luna," panggilnya. Ujung jarinya memilin satu sama lain. "Seandainya, alpha Warden masih hidup," Ian menjeda, "apa anda mau tinggal bersama kami?"

Apakah Ian merindukan sosok alphanya? Tetapi tinggal bersama mereka, bukankah itu tidak mungkin? Status darahku pasti membuat mereka tidak nyaman. Lagipula siapa yang mau menampung keturunan musuh bebuyutan mereka di dalam pack? Seperti menyimpan duri dalam daging. Melihat wajahnya, aku tidak sanggup mengatakannya. Aku khawatir akan menyakitinya.

"Tinggal bersama ataupun tidak bukankah sama saja, Ian?" ujarku, "kau tetap bisa menemuiku kapan pun." Sepertinya aku mulai melantur.

Ian diam cukup lama, apa aku menyakitinya? Matanya terpejam erat. Aku sempat mengira dia muak pada jawabanku. Namun, setelahnya laki-laki itu kembali membuka matanya.

"Baiklah, saya akan mengubah pertanyaannya. Jika alpha Warden masih hidup, apakah anda bersedia menjadi luna kami meskipun tidak tinggal bersama kami?" Ian membuka mulutnya lagi. "Bersediakah anda menjadi pasangan alpha Warden?"

"Maksudmu?"

Ian tersenyum. "Tidak segala hal berarti sama dengan apa yang terlihat. Jangan menelannya bulat-bulat, Luna."

A/N

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/N

Sudah lama banget sejak terakhir kali cerita ini update, sekitar empat bulan lalu. Terima kasih untuk yang sudah berkenan membaca sampai sini, juga untuk kalian yang bersedia menunggu kelanjutan cerita ini. Maaf karena baru update sekarang, aku kurang bisa membagi waktu antara akademik dan hobiku ini. Senang sekali liat banyak yang ngasih vote, bahkan nambahin cerita "Hunting the Were
wolf" ke reading list, rasanya seperti dihargai sebagai seorang pengarang.

Cerita ini kupersembahkan untuk diriku dan untuk kalian yang bersedia meluangkan waktu untuk membacanya. 💛

Blackatzu

Hunting the Werewolf [2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang