XXI - Langit Gelap Birmingham

87 17 4
                                    

Langit menggelap, gemuruh bertalu-talu di angkasa. Burung-burung yang telah bangun dari persembunyiannya ketika musim dingin berterbangan mencari tempat aman. Angin bertiup kencang. Dedaunan gugur terbang terbawa angin melambai pada masing-masing tangkai mereka. Suara embusan angin menjadi peringatan agar para manusia yang hendak pergi keluar berpikir kembali.

Hujan sepertinya akan turun dengan lebat, tetapi masa-masa baginya seharusnya telah usai. Kilatan petir melintas di cakrawala. Dari balik kaca kamar yang menghadap ke halaman depan, semuanya terlihat jelas. Aku belum melihat perkiraan cuaca hari ini. Burung-burung berteriak pada masing-masing kawanan, kepakan sayap mereka melawan arah angin. Di bawah sana, sebuah mobil hitam yang kukenal masuk ke halaman rumah, pengemudinya turun dengan cepat dan mengetuk pintu.

Seseorang menaiki tangga, aku berbalik, mendapati pintu kamar diketuk perlahan. Rodney masuk setelah aku membuka pintu, rambutnya acak-acakan tertiup angin di luar. Pintu kamar terbuka lebar, duduk bersandar di dekat jendela menghadap dunia luar adalah hal menyenangkan. Aku berharap kaca kamar cukup kuat untuk menahan angin karena mereka menyerang membabi buta.

Rodney duduk di ranjang, menatap jendela. "Jadwal kuliah hari ini dibatalkan," ujarnya menghela napas, "cuacanya sangat tidak mendukung. Kau sudah pasti tidak memeriksa grup, ponselmu juga tidak aktif, jadi aku kemari."

"You are very kind, terima kasih." Aku tersenyum, lalu kembali memerhatikan perilaku alam di luar sana. "Menurutmu mengapa tiba-tiba seperti ini, Rodney? Kemarin semua baik-baik saja." Aku mendengar langkah kaki Rodney yang mendekat, dia menarik kursi meja rias untuk duduk di sampingku.

"Manusia tidak dapat menduga hari esok, bukan?" Rodney menyentuh dress selutut putih gading yang kukenakan.

Aroma itu menguar dan tercium jelas di hidungku. Campuran aroma kayu, hujan, dan beberapa aroma lainnya. "Kau ganti parfum?"

"Apa ini membuatmu mual? Lebih suka sebelumnya?" tanya Rodney, mencium badannya sendiri untuk memastikan.

Aku berkedip menatapnya. "Ini tidak buruk. Keduanya sama-sama memiliki campuran aroma hujan, tapi kalau kau bertanya yang mana ... aku lebih suka sebelumnya."

"Baiklah," ujar Rodney.

Kilat lagi-lagi menyambar setelah kemunculan gemuruh besar. Ombak di lautan mungkin mencambuk terumbu karang dan camar berterbangan ke sana-kemari. Namun, air hujan belum juga turun membasahi bunga musim semi.

"Aku ...," aku menatap mata Rodney yang berwarna hijau seperti padang rumput sabana, terlalu luas, tidak tahu satwa mana yang akan datang dari dalam sana ketika kalimat berikutnya meluncur dari mulutku, "mungkin terlibat suatu hal yang berbahaya dan tidak kau sukai. Jangan mengikuti apa yang akan kulakukan ke depannya, Rodney. Kau bisa ikut terluka."

Rodney masih bergeming ketika aku mengalihkan pandangan darinya. "Lalu kau memintaku pergi dan tutup mata? Memang aku setuju?"

Aku menghela napas, berbicara dengan hati-hati agar dia tidak tersinggung dan terjadi salah paham di antara kami. "Aku tahu kau tidak akan suka, jadi sebaiknya jangan--"

"Tidak peduli. Kalau kau belum bisa keluar dari situasi memuakkan ini, aku juga tidak akan pergi. Cukup?" selanya. Dia meraih rambutku yang terurai jatuh ke bahu, tersenyum tanpa tahu apa yang telah terjadi.

 Dia meraih rambutku yang terurai jatuh ke bahu, tersenyum tanpa tahu apa yang telah terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak bisa tidur, Rodney sudah pulang sore tadi. Lampu masih menerangi seisi ruangan. Gemuruh juga masih bersahutan, aku penasaran kapan mereka akan mereda dan berdamai dengan bantuan pelangi. Namun, pelangi tidak muncul di malam hari, gemuruh-gemuruh itu harus berdamai dengan kesadaran mereka sendiri. Satu gemuruh terdengar dan aku spontan teringat Demelza. Amarahnya yang menggebu-gebu, sorot mata tajam, dan perih yang ditinggalkannya.

Luka-luka telah mengering, tetapi kini meninggalkan jejak. Setiap kali berkaca di kamar mandi ataupun di meja rias, tubuhku yang membentur tanah dan pinus-pinus terlihat semakin tinggi di belakang Demelza yang mencekik leherku kembali terbayang. Demelza seolah tidak khawatir lutut dan lengannya menjadi lecet karena pakaian yang ia gunakan.

Seseorang yang menarik Meridia masuk ke dalam hutan besar kemungkinan memang Demelza. Laki-laki yang menyelamatkan Meridia mungkin adalah Warden. Kalau begitu, mengapa Warden selalu muncul di tempat Demelza menyerang orang-orang?

"Seandainya Glenda memberiku nomornya, tapi dia tidak terlihat seperti seseorang yang menggunakan ponsel kecuali untuk menerima pesanan cottage." Glenda terlihat seperti seseorang yang memiliki dunianya sendiri. Aku mengamati langit-langit kamar yang beruntung tidak basah karena hujan lebat di luar. "Dipikir lagi, memang di zaman ini siapa yang tidak menggunakan ponsel?"

Aku membalik badan, jendela telah ditutup tirai. Kondisi terkini Meridia setelah apa yang menimpanya seperti dia tidak pernah bertemu dengan Demelza. Aku tidak tahu jika dia sangat pintar mengendalikan diri. Kuraih ponsel di atas nakas. Dalam posisi berbaring menyamping, kukirimkan pesan menuju nomor Meridia yang kutemukan di grup jurusan.

"Dipikir-pikir juga apa yang Demelza lakukan di hutan malam hari untuk menarik Meridia? Siapa kekasih perempuan itu? Apa yang terjadi pada mereka?" Ponselku tidak dalam mode hening, jadi suara dering pesan itu cukup mengejutkanku dan isinya lebih mengejutkan lagi.

Meridia bukan mengendalikan dirinya dengan sangat baik hingga dapat berlaku normal setelah apa yang dia alami, juga bukan berusaha melupakannya.

Meridia
Perempuan berambut cokelat gelap sepanjang pinggang di hutan? Memangnya kapan aku pernah mengatakan itu? Lagipula apa yang kau katakan terdengar sangat mengerikan. Mungkin kau salah orang, Blyhte.

Meridia tidak pernah ingat kejadian malam itu pernah terjadi padanya.

Meridia tidak pernah ingat kejadian malam itu pernah terjadi padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hunting the Werewolf [2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang