Perhaps

445 102 6
                                    

"Negatif."

Jeff meneguk ludahnya kasar. Sedih, jelas. Ia terlalu berharap tinggi. Tapi melihat Dinda jauh lebih terpukul, sepertinya ini bukan waktunya untuk mengeluh. Laki-laki itu merengkuh tubuh yang terasa sangat dingin dan ringan dalam lengannya. Seolah pelukan Jeff menghantarkan hangat, Dinda melemas di dalamnya. Membiarkan segala kesedihannya tumpah begitu saja.

Lusa kemarin, Dinda iseng mengetes dirinya sendiri dan hasilnya positif. Dan hari ini, untuk memastikan, Dinda mencoba tes kedua kalinya. Tapi entah apakah alatnya yang salah, hasilnya berbeda dari yang mereka harapkan.

"Mau ke dokter nggak? Hm?"

Dinda menggeleng sebagai jawaban, "Aku nggak mau kecewa kedua kalinya. Ini aja."

"Tapi ini bisa aja salah–"

"Mending aku sedih karena aku yang salah daripada orang lain yang bilang kalau semua yang kita harapkan itu salah, bang."

Jeff mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia tidak ingin mendebat lebih jauh hanya untuk memicu pertengkaran yang nggak diinginkan. Kalau ditanya apa Jeff menunggu hal yang sama; tentu.

Saat mendengar Aldo dan istrinya sebentar lagi akan menggendong anak pertama, Jeffrian diam-diam berdoa semoga ia dan Dinda mendapat rezeki yang sama. Rasa iri itu tentu saja ada. Tapi nggak akan ada habisnya kalau ia menuruti ego. Toh, dia juga sedang berusaha.

"Mungkin gue nggak akan relate sama rasa kecewa Dinda, tapi besok gue kesana sama istri gue. Nggak bawa anak-anak."

"Thanks, bang. Jujur, gue bingung. Dinda diem aja daritadi and I won't bother her."

"Kehadiran lo sama sekali nggak ganggu dia, Jeff. Temenin aja. She needs a company. Dia butuh waktu buat sendiri, tapi jangan ditinggal Dinda nya."

"Nggak, bang. Thank you. See you tomorrow."

Jeff mematikan telepon. Kembali mencuri pandang ke arah Dinda yang sibuk menyiram tanaman di pekarangan tapi Jeff jelas tahu pikiran Dinda sedang tidak di tempat ini. Saat ini. Manik mata itu kosong, mengembara jauh entah kemana Jeff tidak bisa mengiranya.

Selama manusia hidup, selalu ada saja yang kita inginkan – yang kita harapkan. Tidak akan pernah putus segala ingin dan harap demi memenuhi kepuasan diri. Punya anak bukan kebutuhan ataupun keinginan – rasa-rasanya kata itu sangat tidak menggambarkan suatu harapan yang kehadirannya lebih dari memenuhi kepuasan diri.

Kata orang, pernikahan tidak lengkap tanpa anak. Sejak menikah, Jeffrian coba menelaah arti kalimat itu. Apakah ia tidak cukup hanya dengan memiliki Dinda? Apakah ia sangat serakah menginginkan orang lain dalam pernikahan mereka – seorang anak?

Bukan Jeff yang akan mengandung selama 9 bulan. Bukan ia yang akan merasakan morning sickness – mual, muntah, begah, dan tubuh yang lama-lama membesar dari ukuran awal. Bukan ia yang akan mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan manusia lain ke dunia.

Dinda.

Wanita yang ia nikahi ini yang akan menderita demi mendapatkan seorang anak. Membayangkan rasa sakitnya saja, Jeff tidak bisa. Melihat Dinda harus meringkuk sehari-dua hari karena menstruasi saja membuatnya mual dan sakit sendiri. Lalu harus membayangkan rasa sakit yang lebih dari itu, Jeff khawatir.

Dinda tidak pernah menolak memiliki anak, juga tidak ingin terburu-buru. Keduanya sama-sama ingin mengikuti alur yang ada. Kalau diberi rezeki dan kepercayaan itu, ya bersyukur. Kalau tidak pun, mungkin Tuhan akan memberi rezeki yang lain.

Jeff nggak pernah memperkirakan rasa kecewa yang sebesar ini.

"Mau makan apa malem ini? Aku yang masak" Jeff mengelus punggung tangan Dinda sembari wanita itu menonton series di TV. "Yang nggak ribet aja, bang. Yang gampang-gampang aja biar abang nggak repot."

"Masakin istri sendiri mah nggak bakal repot, sayang. Ayooo mau apa? Tantang chef ini dengan masakan yang ribet" Jeff menepuk dadanya congkak.

"Masakin rendang..."

Jeff melongo, "Sayang... Masak rendang lama loh keburu kamu busung lapar..."

"Ya tadiiii katanya suruh nantang chef Jeffriannnn gimana siiih"

"Yaaa maksudnya nggak rendang juga dong, sayaaaaaaang"

Ini kalo bisa digambar sekarang muka Jeffrian kaya emoji nangis air terjun soalnya request Dinda nggak main-main.

"Hehehehe ya udah deh..." Dinda mengerutkan kening, berpikir. "bisa masakin ayam kecap aja nggak, bang? Kaya punya Bunda..."

"Yes, My Lady!"

Dinda tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di dapur ketika Jeff sibuk memasak. Laki-laki itu memasang perbatasan kasat mata antara ruang makan dan dapur – Dinda hanya bisa mengambah bagian ruang makan untuk menyaksikan live cooking Jeffrian Ashari Mandira yang sekarang sibuk jadi ninja di dapur.

Wangi bawang putih semerbak memenuhi dapur dan ruang makan. Keduanya suka menambahkan ekstra bawang putih tiap kali memasak, jadi tidak heran kalau tiap kali memasak selalu wangi bawang putih yang tercium paling tajam.

"Padahal aku cuma minta ayam kecap..." Dinda takjub melihat kecepatan tangan Jeff dalam memasak, dimana dalam 2 jam, laki-laki itu bisa membuat ayam kecap, sapo tahu dan juga tumis sayur untuk makan malam mereka.

"Enak?" Jeff agak was-was sebenarnya. Dia sudah mengikuti resep sesuai dengan buatan Bunda nya Dinda. Tapi pastinya beda tangan beda rasa. "Enak!" Senyum yang terulas di bibir Dinda membuat Jeff menghela napas lega.

Senyum pertama yang ia lihat hari ini. Jeff sudah sangat bersyukur untuk itu.

"Sorry for today..." Dinda membuka percakapan ketika keduanya sibuk mencuci piring. "aku nggak bermaksud diemin abang. It's not your fault, anyway– "

"Not yours too." Potong Jeffrian, "Bukan salah kamu juga, Adinda. Kita udah sama-sama usaha dan berdoa. Hasilnya cuma Tuhan yang tahu. Don't blame yourself for that, okay?"

"I'm lucky to have you."

Dinda menyandarkan dahinya di pundak Jeffrian. Petang yang datang menandakan hari hendak usai. Lelah yang dirasa sehari penuh sudah waktunya diluruhkan perlahan. Buat Dinda, pundak dan pemiliknya ini mungkin punya segudang sihir yang bisa mengenyahkan ragu dan sedih.

Senang punya tempat pulang.

"Bisa diterima kamu jadi rumah kaya sekarang, bisa ada buat kamu setiap saat, itu sudah jadi kehormatan tertinggi buat aku, Dinda. Thank you for choosing me."

Jeff mengeratkan pelukan. Menyarangkan satu kecupan ringan di puncak kepala Dinda.

"Di kehidupan lainnya, aku tetep mau jadi Jeffrian buat ketemu sama Adinda lagi. Jadi kita lagi."

Rumah Cemara 25Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang