Selalu ada alasan untuk membenci hari Senin.
Kalau dulu saat sekolah, Jeffrian paling benci hari Senin karena itu artinya ia harus berangkat ke sekolah setelah menghabiskan akhir pekan dengan bersenang-senang, atau hari Senin pertanda ia harus pontang-panting mencari pinjaman dasi atau sabuk karena miliknya selalu hilang, juga hari Senin saat ia selalu apes mendapat presentasi kuliah pertama dibanding teman-temannya.
Sudah berumur sekian pun, ternyata ia selalu punya alasan untuk membenci hari Senin. Bukan karena tumpukan pekerjaan atau pertemuan penting dari sana-sini, kali ini ia harus menghadapi apa yang seharusnya bisa dijalankan dengan damai.
"It's more than a year, Jeffrian. Kamu pasti juga nunggu, kan?"
"Ma," nada Jeff cenderung dingin namun tidak ingin terdengar tidak sopan di depan kedua orangtuanya, "semua ada waktunya. Dan nggak ada salahnya buat nunggu lebih lama"
"Kapan? Kamu sendiri nggak tahu kepastiannya, kan?"
"Menurut Mama dengan melakukan hal itu apa sudah pasti akan berhasil? Dijamin berapa persen? Seratus? Seribu? Nggak ada yang bisa mendahului ketentuan dan kehidupan, Ma. Apa yang pasti untuk aku dan Dinda, pasti ada waktunya."
"What I said before is for your own sake, Jeffrian"
"Aku yang tentuin mana yang terbaik mana yang bukan. Aku bukan anak kecil lagi, Ma. Please."
"Pa– "
"Seperti yang Papa bilang sebelumnya Ma, Papa disini ada di posisi netral. Nggak akan membela siapa-siapa."
Ketiga keluarga Mandira itu saling tatap dengan kepala sarat tanya, tapi mulut enggan bersuara. Mama Jeff kembali menyodorkan selebaran itu, "Pikir lagi, Jeff. Nggak ada salahnya mencoba."
Anak satu-satunya keluarga Mandira itu mengambil selebaran dengan cepat dan berlalu begitu saja tanpa pamit. Satu alasan lain untuk membenci hari Senin.
Rasa-rasanya Jeffrian kembali dibenturkan pada kenangan dimana ia masih umur belasan yang masih belum paham batas dosa dan kebaikan di dunia. Semua terasa abu-abu, garis batas memudar antara ego dan keyakinan.
Tapi sekarang, Jeff sudah cukup dewasa untuk menentukan kemana arah yang akan ia tuju. Mengarahkan mereka yang sudah berada dalam naungannya – di bawah namanya sebagai teman hidup, untuk menentukan apa yang akan dan tidak dilakukan.
Bayi tabung.
Dulu, Jeffrian punya teman yang ternyata hasil bayi tabung. Kalau nggak salah namanya Aubrey. Gadis dengan kulit kuning langsat, berambut ikal hingga sepunggung dan pandai Matematika. Dulu ia sering bertanya-tanya bagaimana manusia bisa menciptakan manusia lain dengan begitu banyak alat. Membuat manusia yang serupa dengan ciptaan Tuhan.
Jeff sama sekali nggak ada masalah dengan program itu, apalagi memang tujuannya membantu mereka yang memang membutuhkan. Tapi Jeff nggak mau menghadapkan Dinda pada pilhan ini, setidaknya belum. Masih ada banyak waktu dan masih banyak usaha yang belum mereka coba.
Jeff nggak mau membebankan DInda dengan kekecewaan, kekurangan, ketidakpastian, dan segala bentuk emosi negatif yang mungkin akan muncul setelah Jeff menunjukkan selebaran ini.
They both okay. Dokter sudah menjamin hal itu, nggak ada yang salah dengan Jeff ataupun Dinda. Ini semua soal waktu dan rezeki. Mungkin Tuhan belum sepenuhnya percaya dengan mereka untuk diberi anugerah sebesar itu. Diam-diam Jeff merutuk dirinya dengan segala dosa-dosa yang pernah ia buat waktu masih belia dan terlalu munafik percaya dengan karma.
"Hi baby"
Satu suara tapi sudah mampu mengangkat penat di pundaknya. Jeff menyambungkan panggilan dengan bluetooth saat ia sibuk memakai sabuk pengaman.
"Hi baby," jawabnya "kamu dimana?"
"Rumah. Tapi aku mau berangkat ke toko buku. Mind to pick me up? Kamu abis makan siang ada meeting lagi nggak?"
"Nggak ada. I'm yours for today. Send me the location and I'll be there in an hour."
Panggilan diputuskan seberang dan Jeff memencet satu nama dari panel sentuh mobilnya. Dering statis terdengar beberapa kali sebelum sebuah suara menyapanya.
"Sekar, meeting hari ini kamu jadwal ulang. Saya ada keperluan dua minggu ke depan. Urgent. Nggak bisa diganggu."
Setelah menutup telepon, Jeffrian mengatur sebuah perjalanan yang direncanakan sebagai liburan selama dua minggu ke depan. Sepertinya pergi sejenak dari realita adalah jalan terbaik untuk saat ini.
Seperti yang dijanjikan sebelumnya, Jeff benar-benar datang dalam satu jam. Menemui Dinda yang sudah membawa satu tas berisi beberapa buku yang tebalnya bisa buat bantal di rumah. This view that Jeffrian treasure the most – the sparks in her eyes. Binar yang suka muncul saat Dinda dikelilingi dengan hal yang ia sukai.
"Hello, gentleman" Dinda mengusap pipi Jeff pelan "kaya hantu deh kamu dateng nggak ada suaranya"
"Me indeed a ghost," Jeff menyodorkan seikat rangkaian bunga lily putih yang sedari tadi bersembunyi di punggungnya "pretty flowers for the prettiest human on Earth"
"Jadi konsepnya aku nikah sama hantu? Mau kaya Edward Bella gitu nikahnya beda dunia?" Dinda tertawa sekilas "but thank you. Indeed, very pretty. The flowers. And you too."
"Well, been a long time since someone called me pretty. Terakhir waktu aku iseng dipakein lipstik sama Mama, katanya aku cantik" Jeff menopang wajahnya dengan kedua tangan yang mirip pose idol Korea.
"Kalo siang Jeffrian, kalo sore jadi Jennifer?"
"Kurang cantik. Mending Jessica"
Dinda memutar matanya malas. Belanja buku itu ditutup dengan Jeffrian yang berakhir membayar semua apa yang diambil nyonya besar dan perhentian selanjutnya ada di sebuah restoran bernama Frangipani yang sejalan dengan arah rumah.
"Aku punya rekomendasi buku yang bagus buat bacaan abang" Dinda menyodorkan satu buku yang membuat laki-laki bersurai hitam itu melengkungkan bibirnya ke atas, "Seriously?"
"Nggak ada salahnya buat baca buku selain koleksi Agatha Christie"
"Silly of you" jawab Jeffrian. Ia mengenal buku puisi dengan sampul bergambar bunga berwarna kuning yang ditulis oleh Rupi Kaur itu. Dahinya cepat mengerut ketika ada sebuah amplop yang membatasi satu halaman di salah satu bagian.
this is the recipe of life
said my mother
as she held me in her arms as I wept
think of those flowers you plant
in the garden each year
they will teach you
that people too
must wilt
fall
root
rise
in order to bloomJeffrian membaca seksama bagian puisi itu sebelum membuka isi amplop yang kini membuatnya tertegun. Senyap meminjam beberapa detik waktunya, juga detak jantung yang berpacu tak beraturan menandakan yang ia rasa kini bukan khayalan, wangi mentega dari makanan yang ia pesan juga selewatan parfum milik Dinda yang menggoda penciumannya.
Selalu ada alasan untuk benci hari Senin,
tapi kini jeffrian punya satu alasan yang jauh lebih kuat untuk mensyukuri awal sebuah minggu yang harus dijalani."Congratulations, soon-to-be Father."