"Cas, masih sama Dinda?"
Pria jangkung itu melirik ke kanan, "Masih, ini anaknya lagi beli es krim. Kenapa bang? Udah balik kantor?" ia melihat arloji di jam tangan, masih satu jam lebih awal dari jam pulang kantor normal.
"Gue masih ada meeting," terdengar suara denting lift disana "kalo bisa cepet balikin bini gue ke rumah."
"Lah masalahnya doi nggak mau balik, gue kudu gimana?"
Di seberang sana, Jeffrian memijat pangkal hidungnya pelan. Masih ada setumpuk berkas yang belum ia sentuh sejak siang tadi karena rentetan pertemuan yang harus dihadiri. Belum lagi macetnya jalan yang harus diarungi.
"Ya udah, nanti kabarin kalo mau balik. Gue jemput aja."
Si lesung pipi memutus telepon sepihak, menyandarkan punggung yang sudah meronta minta diistirahatkan. Belum lagi perutnya yang belum terisi makanan dengan benar, tapi selera makannya hilang sudah sejak masuk ke dalam ruangan.
Dinda mengambil cuti, tapi bukan untuk istirahat – malah membuat janji dengan Lucas. Alasannya ingin mengetahui kabar anak pertama Danindira yang baru putus dengan Doy, tapi ini sudah seharian. Bahkan Dinda tidak mengangkat telepon atau membalas pesannya sejak pagi tadi.
"Pak, mau saya pesankan makan siang apa?"
Suara Sekar, sekretaris Jeffrian, menginterupsi setelah mengetuk pintu tiga kali.
"Apa aja. Tapi jangan yang ada kacangnya atau bumbu kacangnya, ya"
"Baik, pak."
"Sama satu lagi, tolong bawakan kopi."
Jeffrian melepas jas dan menyampirkan ke punggung kursi sebelum menghadap pekerjaan kembali. Hendak mengirim pesan ke Dinda tapi takutnya berakhir tanpa balasan lagi.
Sementara yang dikhawatirkan sejak tadi sedang asyik memilih-milih rasa es krim yang hendak dibawa pulang. Dinda masih bingung apakah membeli mango sorbet, salted caramel, atau varian black forest seperti rasa cake ulang tahunnya dulu.
"Semua aja sih" Lucas mengantongi ponselnya "bill on me. Mbak tiga rasa tadi ya, ukuran yang medium." Ucapnya.
"Thank you!" Dinda berseru sembari mencubit pipi pemuda di sampingnya.
Sejujurnya, Lucas sudah mempertanyakan sikap Dinda sejak ia menjemputnya di rumah. Seperti déjà vu, Janna Adinda Prakasita yang ia hadapi sekarang sama seperti Dinda versi SMA yang masih memakai seragam putih abu-abu.
"Nda, kejedot dimana pala lu? Atau lagi sakit ya? Kepikiran apa? Cerita dong, beb!"
"Apa sih??? Gue nggak apa-apa, nggak sakit juga!"
"Lu ngerasa lu aneh nggak sih?"
Pertanyaan barusan menghentikan Dinda dari kegiatannya memandangi deretan rasa es krim di etalase, "Menurut lo, gue aneh? Gitu?"
"Ng-nggak aneh yang gimana-gimana, cuma kaya beda aja??? Paham nggak sih?"
"Nggak."
Yang awalnya wajah berhias lesung pipi itu terlihat berseri, mendadak datar dan langsung dingin. Memberi sensasi aneh di Lucas – bulu kuduknya meremang seolah sedang melihat setan. Perubahan emosi Dinda sangat di luar perkiraan.
"Lagi dapet ya?" tanya Lucas hati-hati. Ia takut membuat gadis di depannya lebih murka lagi. "Nggak kaaaak, gue tuh nggak kenapa-kenapa! Apa sih lo kok curiga banget?"
Percakapan keduanya terhenti begitu pesanan Dinda selesai dibuat. Lucas menenteng semua belanjaan anak bungsu Januar Prakasita itu – 5 jam berada di dalam mall, Lucas yakin Dinda bisa membeli seluruh isinya kalau tidak ditemani.