Berbaikan dan Berpelukan

924 193 7
                                    

Pertanyaan Dinda masih belum mendapat jawaban. Rombongan dokter sudah lebih dulu datang untuk kembali memeriksa kondisi Jeff. Beruntung si lesung pipi itu tidak harus melakukan biopsi dan bisa ditangani dengan injeksi dan konsumsi obat-obatan.

"Sementara bisa istirahat disini dulu. Kami harus pantau beberapa hari apakah perlu tindakan biopsi di kemudian hari atau tidak mengingat kondisi bapak Jeffrian yang cukup parah. Tolong jangan terlambat makan ya, pak. Hindari dulu minum kopi, susu, sayur dan buah berserat dan makanan asam atau pedas. Usahakan konsumsi makanan yang disediakan dari rumah sakit saja"

Jeff hanya mengangguk sebagai jawaban dan membiarkan Dinda mengantar dokter hingga ke depan paviliun. Ia jarang sekali sakit, paling cuma batuk dan pilek, atau sinus nya yang mendadak kambuh di tengah musim hujan.

Bisa dibilang ini sakit terparah setelah terakhir mengalami tifus beberapa tahun yang lalu. Perawatnya masih sama, Dinda.

Pertanyaan itu kembali menyeruak, belum sempat terjawab – atau lebih tepatnya, Jeff terlalu takut untuk menjawab.

"Aku nggak suka orang bohong ya, bang." Dinda berkata demikian saat Jeff ketahuan berbohong perihal pendanaan kedai kopi Javanicus, milik Ayah Januar.

Jeffrian memanfaatkan dana pribadi dan tidak mengambil terlalu banyak uang pensiun mertuanya. Namun untuk menghilangkan jejak, Jeff sengaja berkomplot dengan dua anak laki-laki Prakasita.

Dan sekarang ia dihadapkan pada kondisi yang sama. Pilihannya hanya dua: ia jujur saja atau berkelit sebisanya.

Saka dan Aldo sudah kembali ke hotel setelah dipaksa Dinda, ketiganya akan berganti shift menjaga Jeff karena Dinda juga butuh istirahat yang cukup agar tidak ikut jatuh sakit.

"Makan dulu, yuk"

Suara Adinda membuat Jeff berjengit sedetik, namun dengan cepat ia menguasai diri. Melihat menu makan di meja, laki-laki berlesung pipi itu mengerucutkan bibir.

"Nggak ada makanan lain, ya?"

"Nggak ada, abang. Kan tadi denger sendiri dokter bilang apa. Jangan makan sembarangan dulu, makan yang dari rumah sakit aja. Mau sembuh nggak?"

Bibir Jeffrian semakin manyun, semakin maju dan pipinya semakin menggembung. Kalau ada yang lihat, mungkin dikira Dinda sedang menyuapi adiknya yang masih remaja.

Tidak ada yang berbicara, hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring. Kadang terdengar suara tersedak dari Jeffrian atau suara roda-roda brankar yang membelah selasar. Paviliun tempat Jeff dirawat mendadak jadi sangat luas untuk mereka berdua.

"Aku masih nunggu jawabannya, loh"

Dinda berujar setelah membereskan semua peralatan makan Jeff, memastikan laki-laki dengan pipi kemerahan itu sudah meminum semua obat dan terbaring nyaman dengan selimut di tangan.

"Yang mana?"

"Yang tadi"

"Apa sih? Abang lupa"

"Abang"

Hanya dipanggil begitu, Jeff sudah meneguk ludahnya kasar. Mendadak merasa sangat kecil di bawah tatapan Dinda dari seberang. Padahal gede juga badannya daripada si lawan bicara.

"Yaaaa...." Jeff melirik Dinda sekilas lalu kembali menunduk "iya."

Dari sekian panjang penjelasan yang sudah disiapkan matang-matang di kepala hanya keluar jawaban berupa satu kata, lirih pula suaranya. Pecundang juga lu, Jeff.

"Iya apa?" Wanita di samping Jeff juga nggak kalah keras menuntut penjelasan "masa gitu doang?"

"Duh Nda abang pusing– "

"Tadi aku lihat bisa mabar satu jam, masa ngobrol gini doang pusing?"

Laki-laki Aquarius itu menatap nanar istrinya, lalu menghembuskan napas kasar sebelum menyelubungi seluruh wajahnya dengan selimut. Bisa ia rasakan kini wajahnya memerah, panas, seperti terbakar. Lebih tepatnya terbakar malu karena cemburu buta.

Ada tepukan pelan, secara konstan, menyapa kepala Jeff, "Kalo cemburu ya bilang aja kali, bang. Nggak usah sampe nggak percaya gitu sama aku" ujar suara itu.

"Aku tuh seneng kalo abang cemburu. Kan tandanya sayang. Tapi nggak suka kalo kaya gini, nggak percaya sama aku sampe jadi mata-mata ke Bandung. Apalagi sampe nyuruh temen-temen abang ikutan bohong ke aku.

"Bilang aja kalo abang nggak suka sama Biru. Bilang juga kalo abang punya feeling nggak enak soal Biru. Lagian tuh abang mau cemburu sama dia juga percuma. Kan aku sekarang punya abang. Satu aja nggak habis ngapain cari lagi. Iya, nggak?"

Jeff hanya mampu mengangguk di balik selimut. Masih enggan menampakkan diri saking malunya sudah berbuat hal yang terlalu kekanakan. Lebih malu karena setelahnya ia malah jatuh sakit dan merepotkan Dinda.

"Aku anggep Biru cuma sebatas temen dan atasan aku, bang. Nggak lebih. I have no feeling over him, nggak ada tuh rasa-rasa kaya jatuh cinta sama abang."

Perlahan, Jeff menyembulkan kepalanya dari balik selimut, membatasi hanya matanya saja yang terlihat oleh Dinda sementara gadis it uterus berbicara.

"Biru pernah bilang suka aku"

Satu kalimat dan Jeff langsung terduduk di tempat. Wajahnya kembali memerah – namun kali ini bukan karena demamnya datang lagi atau sedang malu, ia marah. Dinda buru-buru menyambung kalimatnya sebelum sang suami menyemburkan protes keras-keras.

"Cuma bilang suka. Nggak lebih. Dia nggak memaksakan perasaannya ke aku, pun aku juga udah menegaskan posisi aku sekarang. Kalo dia mau aneh-aneh ya silahkan, abang juga pasti maju paling depan, kan?"

"Dindaaaa– "

"Cause I do believe you'll always beside me. Apapun yang terjadi, abang bakalan selalu ada buat aku. And there's nothing to worry about, cause I always choose you all over again. Even in another life, I'll choose you."

Dinda nggak pandai berbohong dan Jeffrian pasti akan langsung tahu saat kedua manik mata itu berkata jauh dari kejujuran. Dan kini ia menyelami dalam-dalam ke warna hazel yang selalu ia lihat pertama kali saat pagi datang, tidak ada ruang untuk kebohongan.

"Terus... Biru gimana?" tanya Jeff, bersuara pada akhirnya.

"Ya itu urusan dia. Kalau dia masih mau naksir sama aku then go ahead. Nggak akan ada balasan yang dia terima dari aku. Pun kalau dia mau pergi juga silahkan, aku nggak ada kewajiban untuk menahan. It's about him and his feeling. Urusan Biru sama perasaan dan akal sehatnya."

Penjelasan Dinda sudah cukup sebagai penenang dan menarik Jeffrian menuju kewarasan. Menendang jauh-jauh rasa cemburu dan buruk sangka, kini sepasang lengan kokoh itu merengkuh sosok yang lebih kecil darinya. Memberi banyak kecup di puncak kepala yang berhari-hari ia rindukan keberadaannya.

"And me too, even in the next life, I'll choose you."

Dalam hati pria lesung pipi itu berjanji, nggak ada lagi hari-hari ia merasa kesal sendiri, merasa rendah diri atau mempertanyakan Dinda dan dirinya – cincin yang melingkar di jari manis keduanya adalah bukti, saksi dan bentuk janji yang harus mereka tepati hingga hari nanti.



















"By the way, yang bocorin misi rahasia abang tuh Bang Saka tadi. Saking takutnya abang sakit gara-gara karma misi rahasia, dia cerita panjang lebar. Katanya 'Umur manusia nggak ada yang tahu, Nda. Udah aku jelasin aja dosa-dosa Jeffrian selama di Bandung.' Gitu."

Ingatkan Jeffrian untuk memangkas gaji dan bonus Saka Abrisam Syauqi saat pulang nanti.

Rumah Cemara 25Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang