00. tujuh

139 54 77
                                    

"Hubungan kita sampai di sini."

Adalah kalimat yang keluar dari seorang Nao Yudhistira Arfaneza malam itu ketika Shulvia merasa bahagia saat sosok pemuda tinggi berambut hitam agak panjang di sampingnya mau menghabiskan waktu untuknya. Dan setelah Shulvia pertama kali mengenakan baju merah muda dipadu rok hitam di atas lutut pemberian pemuda itu, serta setelah Yudhistira memakaikan sebuah liontin ke leher jenjangnya.

Shulvia kontan berdiri. "Kamu kasih kebahagiaan waktu kamu rencanain kesedihan?"

Yudhistira geming. Tangannya gemetar menuangkan bir pada gelas Shulvia yang akhirnya ditepis kuat hingga pecah ke lantai.

Shulvia tak pernah menduga hal itu datang dari sosok yang sudah lama menjalin hubungan dengannya, bahkan menjadi orang yang paling dia percaya. Kalau tahu begitu akhirnya, Shulvia tidak akan repot-repot memastikan adik laki-lakinya tidak ada di rumah karena sifat posesifnya selalu jadi hambatan.

"Aku nggak mau terintimidasi terus sama adik kamu. Dan aku nggak mau keluarga aku jadi taruhannya. Ini demi kebaikan-"

"Kebaikan apa?! Aku nggak merasakan kebaikan yang kamu sebutin. Itu cuma asumsi kamu doang!" Shulvia lantas beranjak. Menyambar tas selempang seraya melangkah cepat mencipta bunyi kelotak dari high heels-nya.

"Vi, dengar dulu!"

Seruan Yudhistira membuat Shulvia risi. Risi karena perasaan kecewanya maupun perasaan malu sebab banyak mata tertuju padanya.

"Dengar apa lagi, Nao?" Shulvia berbalik tatkala sampai di beranda kafe bar.

Yudhistira mengambil langkah perlahan mendekati Shulvia. Gadis itu terpaksa ikut mundur hingga gerakannya terkunci oleh kedua lengan Yudhistira. Wajah pemuda itu mendekat, menatap pada satu objek yang dilapisi liptint merah muda yang Shulvia pakai. Membuat gadis itu memejamkan mata.

Satu detik, dua detik, bahkan lima detik Shulvia menghitung, nyatanya tak ada yang terjadi.

Dan benar saja, kala membuka mata, sosok Yudhistira hilang dari pandangannya.

Maaf, Via. Yudhistira membatin disela langkahnya menjauhi kafe bar milik keluarga Shulvia. Membiarkan deras air hujan menerpa tubuhnya.

Pemuda itu terus berjalan dengan niat menemui seseorang yang dia minta untuk menjemputnya. Lantas menyebrang jalanan yang cukup lengang malam itu hingga suatu pemandangan familier dari seberang pun tampak sangat jelas.

Pemandangan Titrayatra dengan motornya.

Pemandangan yang mampu membuat degup jantung Yudhistira berpacu lebih cepat, mencipta matanya bergerak gelisah, mencoba menetralkan kegugupan sampai-sampai tak menghiraukan suara mesin motor yang melintas kencang dari arah kanannya sehingga tepat sedetik kemudian, lemas langsung menjalar ke seluruh tubuh pemuda itu setelah hantaman keras menyambar perutnya.

Nahas, kepalanya turut membentur pembatas trotoar hingga darah segar mengalir dari sana.

Bukan hanya itu, tangannya yang tergeletak, dilibas begitu saja oleh si pengendara hingga jari-jarinya patah.

Pandangan Yudhistira mengabur, hanya manik hitam Titrayatra yang menusuk jelas netranya. Melihat itu, kedua sudut bibir Yudhistira terangkat getir.

"Bang Yune! Bang Yune bangun! Bang! Tolong!"

Mata Yudhistira membelalak. "N-nando?" Tangannya terangkat meraih kedua kerah jaket pemuda di hadapannya sebelum lebih dulu kesadarannya terenggut.

Di sebrang sana, sebuah payung mendarat di aspal tak lama setelah seorang pemuda datang. Dia harus melihat Yudhistira, yang semestinya dia temui untuk diantarnya pulang, malah tergeletak dengan genangan darah di jalanan.

ARVANDO: ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang