10. goodkillds

37 31 14
                                    

Apa nih judulnya tiba-tiba enggress

Penasaran? Baca baca!

Tapi sebelum itu, coba kasih vomment dulu.

Happy Reading
Manteman

*

Tangan Elrin pasti sudah menggapai kenop kalau saja pintu tidak lebih dulu terkuak lebar, yang mana membuat Elrin refleks membekap mulutnya sendiri. "Bunda."

Bunda menatap tajam sambil menggerakkan pandangannya ke belakang. Perintah agar Elrin kembali. Sementara pintu kamar ditutup secara brutal. Membentur dinding hingga mencipta sedikit retakan.

"Mau kemana?" Bunda melihat Elrin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kaus hitam dengan jaket kulit berwarna senada sebagai luaran dipadu celana jeans robek-robek membalut tubuhnya. Ketara sekali kalau Elrin akan pergi hari itu.

"Aku ng-nggak—"

Belum sempat memberi alasan, Elrin telah dibungkam lebih dulu dengan sebuah tamparan keras yang membuatnya terhuyung hampir membentur ujung meja belajar. "Apa?! Mau keluyuran lagi?!" Bunda mencengkram dagu Elrin. "Dengar ya, kamu nggak boleh keluar rumah! Sekarang siap-siap. Pakai pakaian yang rapih, jangan malu-maluin."

"Kenapa?"

"Keluarga Pak Revando bakal kesini. Mau membicarakan tentang kejadian malam itu sekaligus lamar kamu."

"Apa—"

"Nggak usah banyak ngomong lagi. Buruan!"

"Nggak!"

Mendengar itu, Bunda melangkah maju. Menggertakkan giginya seiring urat-urat di lehernya menegang. Matanya hampir keluar kalau saja tidak tertahan oleh tangannya yang mulai mencekik leher Elrin. "Bilang apa?! Ayo bilang sekali lagi!"

"Bunda nggak ingat siapa Arvando? Bang Nao—"

Suara benturan antara meja dan lantai menggema. Membungkam perkataan Elrin.

"Jangan coba sebut nama anak saya pakai mulut kotor kamu! Dasar nggak tahu diuntung. Belum puas kamu mempermalukan saya karena tindakan biadab kamu selama bebas dari pantauan saya, ha?!" Bunda berkacak pinggang. "Oke... kalau belum puas, maka saya juga nggak akan pernah puas hukum kamu. Sekali lagi menolak perintah saya, siap-siap digerogoti tikus dan serangga di ruang bawah tanah. Siap-siap mati kelaparan. Saya akan pastikan kematian kamu nggak akan diketahui siapa-siapa. Saya... juga akan keluarkan kamu dari sekolah. Satu lagi, saya tidak akan membiarkan kamu menemui Hadrian lagi setelah ini."

Mendengar kalimat terakhir, Elrin melotot dan sontak menggelengkan kepala. Tidak. Tidak untuk Ayah. Elrin langsung terduduk, memeluk salah satu tungkai Bunda hanya untuk berderai air mata. "Jangan, Bun. Aku nggak mau pisah sama Ayah."

"Kalau gitu, nurut apa kata saya! Setujui lamaran anaknya Pak Revando. Dan nggak usah nangis! Tangisan kamu nggak berarti apa-apa, cuma bikin saya muak. Nangis berarti lemah!"

Sejenak Elrin merasa tercekat. Tenggorokannya kering. Lidahnya juga kelu.

"Buruan! Waktu saya nggak banyak."

Dengan terpaksa, Elrin berkata, "aku... bakal menyetujui lamaran itu."

Potongan ingatan itu tertutup seraya memudar dibawa udara dan terganti dengan pemandangan jalanan komplek yang Elrin lihat detik selanjutnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kesedihan. Hanya dengan itu, sekat yang mengepungnya terasa terlepas walau sedikit.

ARVANDO: ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang