Jika orang dengan jaket Argons yang terdapat satu nama di punggung jaket tersebut biasanya adalah sebuah khayalan belaka yang tak absen datang ke mimpi Nando, untuk kali ini tidak. Sebab dia nyata.
Posturnya tinggi. Rambut hitamnya agak panjang. Persis seperti sosok yang dia bayang-bayangkan selama ini. Sialnya, huruf yang bisa Nando baca selalu satu huruf bagian belakang namanya. Meski kali ini dia tidak memakai syal, masih ada ransel yang menutupi punggungnya.
N.
Dan itu huruf yang terus menghantui Nando agar dia selalu ingat. Ingat penderitaannya. Juga ingat penderitaan semua orang terdekatnya akibat satu nama tak dikenal itu.
"Jalanan sedang sepi. bahkan cuma ada dua pengendara yang melesat dengan kecepatan tinggi. Salah satu dari mereka saya yakin adalah pelaku. Saya bahkan ingat pelat nomor kendaraan itu." Nando mendadak mengingat keterangan yang dia lontarkan satu tahun lalu pada petugas polisi yang menangani kasus Yudhistira. Ada beberapa hal yang tidak Nando ungkapkan pada mereka sebagai saksi. Bahwa dia juga ingat detail pakaian serta kendaraan pelaku. Entah karena apa dia menyembunyikannya.
Hingga akhirnya pemuda itu berhasil menuruni anak tangga terakhir, berjalan mengendap-endap, seraya terbirit serta cekatan mengangkat tangan. Berniat meraih bahu orang itu.
Sayang, niatnya langsung terkubur begitu saja saat sosok itu justru langsung mengelak dan menangkis tinjuan yang Nando cadangkan saat merasa ada pergerakan di belakangnya.
Nando cekatan merunduk meraih tubuh orang itu, hendak membantingnya namun gagal. Orang itu berhasil menahan tubuhnya untuk melawan balik kekuatan Nando seraya menendang perut Nando berkali-kali dengan lututnya.
Tanpa berniat untuk protes atau marah, orang itu buru-buru menaiki motor. Memakai helm, lantas melajukan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Sehingga mau tak mau Nando berlari ke parkiran. Dengan pandangan tajam yang mengikuti kemana arah kendaraan tadi melintas, Nando turut menaiki motornya. Dan tanpa memakai helm, dia membuntuti orang itu.
"Bajingan!"
Jalanan sudah amat sepi malam itu. Hanya diisi semilir angin. Sehingga suara Nando yang tidak terhalang apapun seperti biasanya kini terdengar jauh lebih keras.
"Ngapain lo lari?!" serunya lagi. "Lo pasti punya dosa besar sama gue sampai-sampai lo kabur, 'kan?!"
Sosok itu tak menjawab. Fokusnya tak teralihkan sedikitpun, tetap pada jalanan meski tengah lengang. Dengan kecepatan yang semakin bertambah. Berbeda dengan Nando yang justru kalang kabut karena dikepung emosi.
"Woi bajingan!"
Nando lagi-lagi berteriak. Seakan hal itu jadi perantara semua kesulitannya selama ini.
"Berhenti!" Suara Nando bahkan sampai serak. Sesak yang baru reda, kini terasa menderanya lagi. Fokusnya buyar hingga nyaris hilang kendali kalau saja ponsel di saku celananya tidak berulang kali bergetar.
Setelah berusaha merogoh saku dengan sebelah tangannya, lantas mendapati Elrin disusul Erlan meneleponnya secara berurutan, Nando akhirnya menyerah. Terpaksa mengurangi kecepatan kendaraannya hingga lambat lain menepi di persimpangan jalan.
Elrin kembali menelepon.
Tanpa ragu, Nando menggeser ikon untuk menerima panggilan. "Kenapa? Ada masalah?"
Hening sesaat. Elrin tak menjawab. Dan itu sukses membikin Nando kalut akan cemas. "Elrin Maharani—"
"Di mana?"
"Ha?"
"G-gue mau ikut lo."
"Rin, really?" Nando memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVANDO: Eleven
Diversos[The Case Universe 1] Masa SMA harusnya menjadi kesempatan bagi siswa-siswi mencari jati diri. Menekuni minat dan bakat yang dimiliki, meningkatkan kualitas belajar, menggapai cita-cita, menguatkan pertemanan, menemukan cinta sejati, membentuk kepr...