23. sharing

12 3 6
                                    

"Tapi setelah lihat dan tahu perbuatan aku salah satunya bisa diakibatkan sama kurangnya apresiasi dan sering dibanding-bandingin, Mama Papa mulai sayang sama aku. Mereka mengaku salah bahkan minta maaf. Dan kalau ingat itu, aku nyesel banget karena bikin Arkana trauma."

"Kamu berhasil mengembalikan keadaan. Sekarang jangan mikirin kejadian itu terus. Jadiin semua itu pelajaran hidup dan hal yang nggak akan kamu ulang lagi," pungkas Mezty.

Elrin dan Fani langsung dibuat saling bertatapan heran untuk ke sekian kalinya.

Seperti biasa, sesi akhir pertemuan klub kepenulisan diisi sharing. Dan Nugraha jadi satu-satunya anggota yang ditunjuk Pak Naren hari itu. Beberapa menit yang lalu Nugraha menceritakan penyebab dari semua hukuman yang harus dia terima saat berada di fase beranjak remaja. Semuanya berawal karena perlakuan orang tuanya yang sering membanding-bandingkannya dengan sang saudara kembar, Arkana.

Dibanding Arkana, Nugraha tertinggal amat jauh dalam bidang akademik. Nugraha tak suka belajar apalagi hitung-hitungan, dia punya kesukaan sendiri yang jauh lebih menyenangkan yaitu literasi dan futsal. Makanya dia memutuskan untuk mengikuti kedua klub itu. Katanya, hanya di sana dia merasa berharga dan berguna.

Elrin dibuat merenung. Beruntung sedikitpun dia tak pernah berniat untuk melukai Yudhistira bisa dibilang, Yudhistira adalah alasan Elrin mendapat perlakuan kasar Bunda.

Hingga tak sadar, renungan itu mengaburkan perkataan demi perkataan berisi berbagai opini yang dilontarkan Pak Naren dan murid lainnya.

"Naufal." Pak Naren memanggil lagi. "Mau bercerita?"

Naufal yang ditunjuk pun tersenyum kikuk sambil menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Duh, malu, Pak."

"Kita semua pasti pernah melakukan kesalahan. Entah itu kecil atau besar. Entah itu disengaja atau tidak. Kami semua tidak akan menghakimi kamu."

"Aku cerita ya, Pak," pungkasnya mencipta hening merambat seketika. Mereka siap pasang telinga mendengarkan ceritanya. "Ini sih kesalahan terbesar yang aku lakuin. Ikut-ikutan orang lain gabung organisasi buat gaya-gayaan dan ternyata sampai kelewat batas. Kayak ngelakuin aksi pembegalan sama pembobolan ATM." Naufal mengembuskan napas panjang. "Ini gila sih. Aku sendiri nggak percaya ternyata begitu besar musibah yang aku buat. Aku baru sadar waktu ketemu Mama sama Bapa di kantor polisi. Akan aku pastikan, semua itu nggak akan terjadi lagi."

"Kamu hebat. Karena kamu tahu dan mengakui bahwa yang kamu lakukan itu salah. Bahkan kamu nggak lari dari masalah."

"Dan semua orang yang ada di sini nggak akan berhenti jadi teman lo. Bisa dipastikan kalau kita justru bakal menuntun lo supaya nggak tersesat lagi," timpal Max.

"Makasih semuanya. Terkhusus anggota klub literasi yang mau tulus temenan sama gue. Dan mau jadi pendengar yang baik. Makasih Pak Naren."

*

"Haduh nggak terasa sudah sore ya anak-anak. Kalau gitu, bapak cukupkan perjumpaan kita hari ini. Sampai jumpa di lain waktu dan jangan lupa persiapkan diri untuk proyek." Pak Naren bangkit dari duduknya. "Saya permisi. Yang pulang, langsung pulang ke rumah. Yang masih main kabari orang tua."

"Iya Pak." Semua menyahut kompak.

Elrin mendongak di sela kesibukannya memasukkan buku ke dalam tas. Menatap Fani yang ternyata menunggunya. Gadis itu beranjak, lantas merangkul Fani keluar dari ruang literasi.

"Oi, Irin!"

Dari seberang, Erlan melangkah, tangannya terangkat, melambai pada Elrin. Sementara dari lorong, Radit datang sembari memainkan gantungan kunci motornya, dan tentu disambut Fani yang mendadak memalingkan wajah.

ARVANDO: ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang