Ngetik ini, mendadak keinget kehidupan nyata.
Ingat keluarga.
Kangen gebetan.
Kangen temen-temen.Btw, jangan lupa vomment ya.
Happy Reading
Manteman*
Gelap dan pengap. Itulah yang Elrin rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki ke ruang kunjungan di lembaga pemasyarakatan yang dia datangi siang itu setelah keluarga Nando bertolak. Cukup sering datang ke sana belum bisa membuat Elrin terbiasa.
Mata Elrin berbinar mengiringi senyuman yang langsung pudar tatkala dia mendapati Ayah muncul dengan keadaan kacau. Tubuhnya kian kurus, wajahnya pucat dan banyak luka, rambut hitamnya berantakan serta lebih panjang semenjak terakhir kali Elrin mengunjunginya.
"Ayah." Bahu Elrin bergetar, namun berhasil untuk tidak menangis.
"Putri Ayah yang mana dulu ini?"
"Elrin, ih." Gadis itu menggerutu.
Ayah langsung menampilkan tawanya. Manis. Elrin rindu. "Bercanda," katanya sembari menghampiri Elrin, memberi dekapan erat lalu menepuk punggungnya lembut. "Putri raja."
"Aku kangen Ayah."
"Ayah nggak."
Elrin cemberut.
"Nggak mungkin nggak kangen kamu."
Elrin mengerucutkan bibir, memukul pelan lengan Ayah karena tidak bisa menghentikan leluconnya. Namun itulah hal yang Elrin sukai. Sebab ada kehangatan yang Elrin dapati. Kehangatan yang selalu dia harapkan hadir setiap hari, namun mustahil.
"Ada apa?" tanya Ayah tatkala mereka duduk berhadapan.
"Yah." Elrin menggenggam tangan Ayah kuat. "Kalau aku cerita, jangan marah ya."
"Kenapa? Iya, iya Ayah nggak akan marah. Tapi kenapa, sayang?"
"Aku harus... tunangan sama Nando."
"Nan—anak Pak Revando?!"
Elrin mengangguk lemah seiring Ayah menarik kedua tangannya, memijat pelipisnya yang berdenyut. Lalu berdecak keras.
"Ayah, Ayah jangan marah. Aku bisa jelasin kenapa ini bisa terjadi. Aku.. aku waktu itu—arghh! Sialan! Ini bukan kemauan aku, Yah."
"Elrin, sayang, Ayah nggak marah. Tenang ya." Ayah mencondongkan badan. Menatap Elrin intens. "Jelasin pelan-pelan."
"Ada tur wisata waktu itu. Tepat di hari kedua. Waktu pagi... Posisinya kamar aku lagi rame, Yah. Aku bangun karena berisik. Tapi ada orang yang ikut bangun di samping aku. Suaranya berat, dia laki-laki. Aku liat dia dan baru sadar bahwa... Aku tidur sama Nando, Ayah. " Suara Elrin bergetar. Ketara jika dia menahan tangis. Sejujurnya dia juga tidak ingin menceritakan kejadian itu pada Ayah sebab takut. "Tadi dia sama keluarganya datang. Buat melamar. Yang terpaksa aku terima."
"Karena Bunda?"
Elrin bergeming untuk beberapa saat sebelum dia mengangguk tanpa berani menatap Ayah.
Ayah mengepalkan tangan. Kembali meraih jemari putrinya sembari dengan bibir bergetar, beliau berkata. "Maaf."
Elrin menggeleng. "Kenapa Ayah minta maaf?"
"Seandainya Ayah ada di sana. Ayah nggak akan biarin kamu begini."
Andai Ayah di dekat aku, andai Abang masih ada, aku nggak akan seperti ini dibuat Bunda. Elrin membatin, menggigit bibir kuat-kuat sampai Ayah harus bertindak untuk menghentikannya. "Lebih baik aku ikut Ayah masuk penjara—"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARVANDO: Eleven
Ngẫu nhiên[The Case Universe 1] Masa SMA harusnya menjadi kesempatan bagi siswa-siswi mencari jati diri. Menekuni minat dan bakat yang dimiliki, meningkatkan kualitas belajar, menggapai cita-cita, menguatkan pertemanan, menemukan cinta sejati, membentuk kepr...