15. cerita akmal

27 26 26
                                    

Alo Manteman

Btw, pengen curhat dulu sebelum kalian baca cerita ini.

Jadi, ya, entah kenapa tiap ngetik dan baca bagian Henry-Elrin, itu jadi hal favorit bagi gue. Gue jadi kesenengan sendiri. Mungkin Henry adalah definisi seseorang yang gue butuhkan sekarang.

Makasih, Hen.

Happy Reading
Manteman

*

Siang di hari Kamis itu telah berganti dengan malam. Bumi bermandikan cahaya Bulan. Menyorot gemerlap cahaya temaram dari lampu gantung dan rangkaian bunga baby breath yang menghiasi gate dekorasi venue. Seolah semua itu sedang merayakan keterpurukan Elrin.

Dari balkon kamar yang disiapkan khusus untuknya, ditemani se-cup kopi, Elrin berdiri sambil berpangku tangan pada birai pembatas, mengamati orang-orang yang datang seraya sesekali memotret pemandangan tersebut sebelum mengetikkan sesuatu.

Elrin beralih pandang. Mengamati gaun hitam yang membalut tubuhnya. Elegan. Elrin suka. Sehingga dia masuk ke kamar untuk melihat kotak pembungkus gaun itu. Gaun yang bukan disiapkan oleh Bunda.

"Dari butik Bu Jeffani." Elrin bergumam. "Kenapa bisa? Apa ini dari Re-"

Elrin merasakan detak jantungnya berkecamuk saat mendadak sebuah tangan menariknya mundur hingga nyaris menabrak dinding kalau saja satu tangan lain tidak menahan punggungnya. Manik gadis itu berkedip berkali-kali saat mendapati seorang pemuda berdiri dalam balutan setelan pramusaji lengkap dengan apron dan... masker hitam.

Tanpa diduga, pemuda itu melepas maskernya hingga tampaklah garis wajah yang membuat Elrin menyeringai. Tak lupa, dia juga mengikat benda favorit Elrin di kepalanya; sebuah headband pemberian gadis itu. Tangan pemuda itu bergerak menyentuh rambut yang jatuh di wajah Elrin, lantas menelusupkannya ke belakang telinga.

"Hen..." Bulu kuduk Elrin meremang.

"Wajah lo emang nggak simetris. Tapi disitulah keunikannya. Disaat lo benci bagian kanan lo, gue justru suka. Kenapa?" Henry mendekatkan wajahnya pada wajah Elrin hingga tersisa satuan senti meter. "Karena... dengan ini gue merasa spesial. Ketika wajah ini tersenyum, rasanya cuma gue yang berhasil mencintai lo. Cuma gue yang berhak tahu kehidupan kelam lo. Cuma gue pula yang bisa jadi penyembuhan atas semua duka lo."

"Hen-"

Henry melekatkan telunjuknya di bibir Elrin. "Sstt... kali ini gue nggak akan izinin lo bicara. Gue mau ngomong panjang lebar." Dia kembali mendekatkan wajah. Menatap lekat bibir Elrin seraya meraih dagunya. Sementara Elrin kini menutup mata.

"First kiss, boleh?"

Elrin mengangguk. Namun lama waktu berlalu, Henry tak kunjung melakukan keinginannya. Sampai Elrin terpaksa membuka mata.

"Kenapa?"

Henry mendengus geli, lalu menggeleng. "Gue cinta sama lo, bukan benci. Gue menjaga, bukan merusak lo."

Kata-kata itu berhasil membuat Elrin tertegun.

"Sayang ya, mulai malam ini bukan cuma gue yang bisa lihat aura tersembunyi lo. Tapi si bangsat juga." Henry terkekeh. "Dua tahun lalu, gue menang buat dapetin lo. Tapi beberapa hari ke belakang, eh... kejebolan."

Elrin menahan tawa.

"Kenapa?"

"Kata-kata lo ambigu, sialan!"

ARVANDO: ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang