Rumor (part 3)

3.2K 184 4
                                    

PART 3
Rumor

Selepas ashar, beberapa ibu-ibu bertamu ke rumah kami dengan maksud menjenguk lbu. Termasuk, ibu pemilik warung yang bernama Bu Yeyen dan juga ibu yang berpenampilan wah, lbu Sari.

Kami yang menerima kedatangan itu, agak terkejut. Bingung juga dengan kondisi lbu saat ini. Ada rasa malu dan penasaran, apa yang sebenarnya terjadi.

"Asalamualaikum ...." Para ibu-ibu itu serempak mengucapkan salam.

"Wa alaikumsalam ....” Kami menjawab dari dalam.

“Mari ibu-ibu, masuk."
Mereka pun masuk dan duduk di lantai ruang tengah. Tepat di depan kamar lbu.

"Ibumu sakit, ya, Bay?"

"Katanya ibumu ikut ke kota?"

"Iya, nih, udah lama enggak ketemu. Lagian, sekalian mau nagih utang."

Begitu banyak pertanyaan ibu-ibu yang membuat Bang Bayu tidak bisa menjawab. Dia hanya menggaruk kepala sekaligus cengengesan.

"Di mana ibumu, Bayu? Kami ke sini mau menjenguknya."

Bang Bayu membuka pintu kamar dan mempersilakan mereka untuk bertemu lbu.
Saat pintu terbuka, pemandangan yang tak lazim terlihat. Ada sedikit malu terpancar dari wajah Bang Bayu dan kedua adiknya.

Para ibu-ibu yang melihat pun terkejut. Mata melotot dan mulut melongo. Sedetik kemudian, mereka beristigfar.

"Astaghfirullah .... " Mereka mengucapkan istigfar bersama.

"Kenapa bisa begini?" tanya salah satu di antara mereka.

"Sudah berapa hari seperti ini?"

"Kok bisa begini?"

Kami hanya bisa terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Karena memang tidak mengerti mengapa Ibu bisa menjadi seperti sekarang.

Mereka masuk secara bergilir untuk melihat keadaan lbu Mertua. Terus terang, aku juga merasa ngeri melihat kondisi lbu.

"Santiii ... Ibu mau makan. Laper ...." Suara serak lbu membuyarkan lamunanku.

"San, ayo cepat. Ambil makan buat lbu," pintaku pada Santi.

Ini adalah kedelapan kali lbu makan. Santi membawakan sepiring besar dan penuh untuk beliau. Terlihat sedikit ada rasa kikuk di diri Santi saat berada di tengah ibu-ibu itu.

Mereka melihat cara makan lbu. Sebagian bergidik ngeri melihatnya. Tak berapa lama, ibu-ibu itu pulang. Terlihat mereka berbisik-bisik satu dengan yang lain.

***
Setelah kedatangan ibu-ibu ke rumah kami, kini tersebarlah rumor bahwa lbu adalah Sandah. Aku masih tidak mengerti. Apa itu Sandah?

Mau bertanya pun, aku malu.

"Yang, tadi waktu aku ke warung, ibu-ibu bilang kalo lbu jadi Sandah. Sandah itu apa sih, Yang?"

Bang Bayu hanya diam dan mengusap kasar wajahnya.

"Yang ... jelasin, dong. Aku, kan, orang baru dan enggak ngerti apa itu Sandah," rengekku lagi.

"Yang, dengar sini." Bang Bayu memintaku duduk di sampingnya. "Kata nenekku dulu, Sandah itu sejenis kunti. Cuma bedanya, wajah agak lebar dan seperti meleleh."

"Iya, sih. Seperti lbu sekarang." Aku semakin bergidik dan merapatkan kursi ke sampingnya.

"Tapi, aku enggak tahu kalau lbu juga seperti itu. Yang kutahu, dulu Nenek bilang, Sandah itu sudah meninggal. Makanya, aku ragu karena lbu masih hidup."

"Ish, Yang ... aku jadi parno, nih! Pulang, yuk!" rengekku.

"Enggak apa, enggak usah takut, Yang. Ibu, kan, enggak ganggu kita."

Bang Bayu tidak tahu saja, kalau aku sudah pernah dikerjain lbu. Itu membuatku semakin bergidik.

***
Malam menjelang. Sebelum tidur, kami sudah memberi makan lbu dan memintanya tidur lebih awal. Ibu menurut. Sebenarnya, ada rasa kasihan melihat kondisi beliau. Dia menderita sebelum ajalnya tiba.

"Bu, cepat tidur, ya. Nanti lbu capek." Aku memberanikan diri mendekati lbu.

"Terima kasih, Mir. Tapi lbu laper, ingin makan."

Entahlah sudah berapa kali, tetapi aku tetap memberinya makan. Kasihan. Segera mengambil makanan untuk lbu, sepiring besar penuh dan seteko air mineral. Lalu, mendampingi ibu mertuaku makan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Makanan yang kuberikan pada lbu, tidak habis. Bahkan, masih tersisa banyak.

"Udah, ya, Bu?"

"Iya, Mir, terima kasih. Ibu mau tidur dulu."

Aku meninggalkan lbu sendiri di kamar. Membiarkannya istirahat dengan tenang dan kembali menuju kamarku yang berada di samping kamar lbu.

"Yang, tadi lbu minta makan, aku kasih seperti biasa. Tapi, enggak habis. Masih banyak, tuh, sisanya. Aku taruh dalam tudung saji," kataku pada Bang Bayu.

"Ya, sudah, ayo kita tidur, udah jam sembilan ini."

Kami pun terlelap dalam malam yang sepi dan sunyi.

***
Saat terbangun, kulirik jam yang ada di dinding kamar, menunjukkan pukul dua dini hari. Langsung pergi ke belakang karena kebelet pipis. Setelah kembali dari toilet, aku melihat pintu kamar lbu sedikit terbuka. Berniat untuk menutupnya, aku mendekat.

Namun, saat ingin menutup, kulihat lbu tidak ada di ranjangnya. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke kamar lbu, memastikan keberadaannya.

Benar, lbu tidak ada di dalam. Segera mengecek pintu luar, kalau-kalau lbu keluar tanpa izin.

Saat ingin membuka pintu, ternyata masih terkunci. Kuperiksa lagi seluruh sudut dan ruangan, tetapi lbu tetap tak terlihat. Aku bergidik. Ke mana lbu?

Segera berlari ke kamar dan membangunkan Bang Bayu. "Yang, bangun! Ibu tak ada di kamar!" Kugoyang-goyang tubuhnya.

"Ada apa sih, Yang?" Bang Bayu mengucek mata.

"Ibu enggak ada di kamar, Yang."

"Ah, masa? Ibu kan enggak bisa jalan."

"Iya, Yang. Tadi aku kebelet pipis, tapi pas balik dari toilet, kamar lbu kebuka sedikit. Jadi, aku mau tutup pintunya. Tapi, enggak ada!" jelasku panjang lebar pada Bang Bayu.

"Salah lihat mungkin kamu, Yang."

"Enggak, Yang. Aku sudah periksa kamar lbu, tapi dia enggak ada," ucapku masih dengan nada cemas dan takut.

"Ya sudah, kita periksa kamar lbu," ajaknya. Kami pun menuju kamar lbu. Ternyata ....

Mertuaku SandahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang