Aku akhirnya bungkam, setelah mendapat tatapan tajam dari Ibu Mertua. Namun, aku masih penasaran, apa penyebab dia seperti itu.
Menjelang tengah hari, Mak Ijah izin pulang. Bersama suami dan para tetangga kampung yang datang bersamanya.
“Miiirrrr ....”
Suara serak Ibu memanggil. Langkahku terhenti saat ingin mengantar Mak Ijah ke depan pintu. Ada rasa takut dan cemas mendera. Aku berbalik arah, melangkah mendekatinya. “Iya, Bu, ada apa?”
“Mau makan.”
“San, bawakan makanan buat Ibu. Ibu ingin makan!" teriakku dari dalam kamar.
“Iya, Kak!” Santi menyahut dari arah dapur.
Namun, Ibu menyela. “Ibu ingin kamu yang mengambilkan, Mir.” Suara Ibu yang serak, membuatku tambah merinding.
“Iya, Bu.” Mau tidak mau, harus menurut. Aku pun beranjak menuju dapur.
“Mir, Ibu ingin kamu yang menyuapi Ibu." Permintaan Ibu membuat langkah terhenti dan aku hanya mengangguk. Setelah itu, aku berlalu.
“Sini, San, makanan buat Ibu.” Aku mengambil alih sepiring nasi dan seteko air yang ada di tangan Santi.
“Lho, Kak?” Santi mungkin heran melihatku mengambil alih.
“Ibu memintaku untuk menyuapinya,” sahutku dan berlalu untuk kembali menuju kamar Ibu.
Di kamar, Ibu yang sedang menunggu, menatapku tajam. Bergidik rasanya tengkukku melihat tatapan itu.
Namun, tetap aku beranikan untuk mendekat. “Bu, yuk, makan dulu.”
Ibu mengangguk, tetapi tatapan itu terasa menghunjam jantung. Kudekati beliau dan berusaha tetap tenang. Walau memang ada sedikit gentar dan gemetaran.
Sepiring nasi penuh di tanganku, kini berada di pangkuannya. Seteko air kuletakkan di atas nakas dekat ranjang.
Perlahan, aku menyuapi Ibu sesendok demi sesendok. Ya, hari ini cara makan Ibu tidak seperti sebelumnya, dan makan pun tak lagi banyak.
"Mir, jaga suamimu dan jangan pernah melawannya."
Lalu, ibu mertuaku tersenyum. Walau wajahnya tampak ngeri dan tidak seperti manusia normal lain, tetapi aku merasa senyum itu sangat tulus. Itulah senyum Ibu pertama dan terakhir yang kulihat.
Tak berapa lama, Bang Bayu masuk dengan membawa sebotol air mineral. “Ini, air untuk Ibu dari Mak Ijah.”
Kuterima air itu dan menuangnya di gelas untuk diminumkan pada Ibu.
“Bu, minum air dari Mak Ijah, ya ....” Ibu hanya mengangguk dan meminum air itu.
“Makan lagi, Bu?” Ibu menggeleng.
Sisa nasi masih terlihat banyak di piring. Hari ini, Ibu hanya makan beberapa sendok. Aku pun membawa sisa makan Ibu ke dapur.
"Yang, jaga Ibu sebentar, ya. Aku mau menaruh piring bekas makan ke dapur."
"Iya, Yang."
Aku berlalu menuju dapur.
"Enggak habis lagi, Kak?" tanya Nanda yang kebetulan ada di meja makan bersama Santi.
"Iya, Ibu makan beberapa sendok aja," jawabku dan meletakkan bekas makan Ibu di tempat pembasuhan.
“Mirna ... Santi ... Nanda ..., cepat kemari!" Bang Bayu berteriak dari arah kamar Ibu.
Bergegas kami ke sana. Santi dan Nanda menghentikan aktivitas makan mereka.
Karena merasa khawatir, kami terburu-buru masuk ke dalam. Namun, dari ujung mataku, sekilas terlihat ada Ibu sedang berjongkok di tempat pembasuhan piring kotor. Siapa dia?
Setelah sampai kamar, aku terkejut. Ibu bersama Bang Bayu. Jadi, yang di dapur tadi itu ... siapa?
“Santi, cepat panggilkan Mak Ijah dan Pak Rohmat!” Terlihat kecemasan di wajahnya.
Mata Ibu melotot dan mulut terbuka lebar. Kuhampiri Bang Bayu yang ada di samping ranjang.
"Yang, bimbing Ibu mengucap syahadat." Aku mengingatkannya.
"”Laa ilaaha illallah ....” Bang Bayu mencoba membimbing Ibu. Namun, tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Krroookkk ... krroookkk ....” Hanya itu yang keluar dari mulut Ibu.
Aku pun merasa cemas. Apalagi, sekarang hari sudah mulai sore. Lima belas menit sudah, Santi belum juga datang memanggil Mak Ijah. Aku semakin gelisah, karena mata Ibu melotot dan mendelik ke sana kemari.
Mak Ijah dan Pak Rohmat, akhirnya tiba juga. Ada sedikit kelegaan. Aku mundur ke belakang Bang Bayu, memberi ruang kepada Pak Rohmat. Sedangkan Mak Ijah, berada di sisi lainnya.
Mak Ijah mengusap air yang dia bawa dan Pak Rohmat membimbing Ibu mengucapkan syahadat.
Mata Ibu terus melotot dan mendelik. Suara yang keluar dari mulutnya pun tetap sama, seperti tertahan di kerongkongan. Lalu, proses yang cukup lama itu akhirnya berakhir.
Ibu terdiam dengan mulut terbuka lebar dan mata melotot tajam. Mata melotot itu memandang ke arahku. Tentu saja, aku bergidik ngeri. Apa maksud dari pelototan matanya?
"Innalillahi wa innalillahi rojiun ...." Kini, Ibu telah berpulang.
Tangis pun pecah. Santi dan Nanda memeluk jasad ibunya dengan tangisan. Aku yang menyaksikannya pun ikut berlinang air mata.
Hal ganjil terjadi. Mata Ibu yang melotot, tidak bisa ditutup. Berapa kali usaha Pak Rohmat dan Mak Ijah untuk menutupnya, tetap tak berhasil.
Takut menjadi aib keluarga, mata Ibu ditutup memakai isolasi. Dari kelopak, ditarik ke bawah mata. Sedangkan mulutnya sudah mulai bisa terkatup, walau tak sepenuhnya tertutup.
Meninggalnya Ibu diumumkan di surau desa. Para pelayat satu per satu datang dan memenuhi rumah.
Aku merasa heran. Hari sudah sore, apakah Ibu harus dimakamkan malam ini juga? Karena penasaran, aku bertanya pada Mak Ijah.
“Mak, apakah Ibu harus malam ini juga dikebumikan?”
“Iya, Nak. Kita tidak bisa menunggu sampai besok, karena ada yang dikhawatirkan.”
“Apa itu, Mak?” Aku semakin penasaran.
"Sudahlah, nanti saja. Kita harus segera memproses pemakaman ibu mertuamu."
Aku hanya bisa menuruti apa kata Mak Ijah. Para anggota “Fardu Kifayah” yang ada di kampung, telah mempersiapkan tempat pemandian jenazah dan juga kafan untuk Ibu.
Sedangkan ibu-ibu yang lain, membantu di dapur, menyediakan makanan untuk acara tahlilan setelah penguburan nanti.
Di kampung ini, kebersamaan dalam tolong-menolong, sangat cepat. Terbukti dari begitu cepatnya mereka hadir memenuhi rumah dan halaman, setelah pengumuman Ibu meninggal disiarkan.
Sedangkan keluarga Bang Bayu yang lain, tidak akan bisa hadir hari ini. Mereka semua ada di kota. Mengingat jarak kota ke kampung, memakan waktu lebih dari delapan jam perjalanan.
Ibu merupakan anak tunggal dari kakek dan neneknya Bang Bayu. Sedangkan ayah Bang Bayu, anak pertama dari tiga bersaudara. Itulah kenapa, mereka tidak begitu banyak memiliki kerabat. Hanya orang-orang kampung inilah, yang menjadi kerabat keluarga Bang Bayu.
Proses pemandian segera dimulai. Mak Ijah yang akan memimpin. Anak-anak Ibu pun dipanggil untuk ikut dalam proses pemandian itu, termasuk aku. Ada dua orang ibu lainnya yang ikut memandikan.
Saat jenazah Ibu dibawa ke dapur tempat proses pemandian, bapak-bapak yang menggotongnya, melewati para pelayat di ruang tengah. Namun, terjadi hal yang sangat mengejutkan, kain penutup wajah Ibu tersingkap.
__________________________
Maaf sebelumnya kalau part-nya tidak berurutan. Karena dulu ada plagiat dan harus dihapus untuk beberapa part.Sekarang, cerita ini sudah ada buku cetaknya. Jadi, saya sudah bisa tenang kalau seandainya ada yg memplagiat, saya bisa menuntutnya.
Nikmati terus, ya, cerita horor Kalimantan dari karya-karyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertuaku Sandah
TerrorDi larang keras memPLGIAT cerita ini. Dan dilarang juga membawakan ceritanya ke youtube tanpa izin. Kalau ketahuan, akan di tuntut. Sandah adalah hantu kalimantan yang bentuknya hampir mirip seperti miss kunti. hanya bedanya, sandah berwajah besar d...