Very First Bad Day

3.6K 387 14
                                    

Tahun ajaran baru, semester ganjil, hari baru bagi seluruh pelajar seantero Nusantara. Bulan-bulan kemarin adalah hari sibuk bersaing bagi para pelajar baru entah itu di tingkat Universitas, SMA, SMP dan SD.

Nyatanya sedari kecil pun sudah ikut dihadapkan pada budaya bersaing ini: sesuatu seperti melakukan yang terbaik atau tidak dapat apa-apa; atau masuklah sekolah agar kau berguna. Bukan tentang menuntut lah ilmu sebagai pegangan hidup, yang akan menjagamu, mengarahkanmu, membentuk pribadimu, hingga kebahagiaan datang sendiri padamu. Yah, sesuatu seperti itu—meski sayang ideologi itu terdengar klisé, yah? Katanya ilmu bukan untuk dinikmati, tapi untuk menghasilkan uang. Wah!

Alisa, diterima di sebuah Universitas ternama bersama ketiga sahabatnya yang lain. Penuh perjuangan, doa dan tekad dengan satu tujuan yang terus diingat: untuk memeroleh ilmu. Soal ijazah, yakin akan datang dengan sendirinya.

Alisa pindah ke kota ini sepekan lalu bersama ketiga orang sahabatnya. Mereka berempat memutuskan mengontrak rumah selama masa kuliah ke depan. Hari ini adalah jadwal kuliah perdana baginya, karena itu saat ini dia tengah sibuk berkemas. Suasana kamarnya masih belum rapih betul. Masih ada tumpukan buku yang belum ditata di rak buku lantai bawah, tempat tidur yang masih ditumpuki oleh baju-baju meninggalkan suasana kamar yang masih polos.

Alisa dan ketiga sahabatnya sudah seperti saudara. Lahir di kampung halaman yang sama, bahasa daerah yang sama, kompleks yang sama, serta menghabiskan seluruh jenjang pendidikan pun sama. Rumah kontrakan sederhana berlantai dua ini sudah seperti menjadikan mereka keluarga kecil. Mereka berempat sudah saling tahu tentang baik buruk pribadi masing-masing: Alisa yang terbiasa jujur tanpa peduli perasaan orang lain; Sonya yang sudah seperti Ibu di antara mereka berempat, yang paling berpikiran dewasa dan paling rajin; Nini yang keras dan tegas layaknya Ayah; dan Mawar yang lembut. Mereka berbeda, tentu. Tapi apa asyiknya berteman dengan orang-orang yang semua sifatnya sama. Jika semuanya dewasa, tidak akan pekerjaan bagi si memberi nasehat, jika semuanya selalu benar, maka tidak ada tempat untuk mengenal dan memperbaiki kesalahan. Hidup ini seperti yang diatur Allah, adalah penuh dengan hikmah.

“Berangkat, Alisa!” seru Sonya pada Alisa terdengar samar dari lantai bawah.

Tapi selain semua perbedaan tadi, ada satu lagi perbedaan yang cukup penting, Alisa diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Matematika, sedangkan ketiga temannya berada di jurusan Sastra Indonesia. Perbedaan yang jauh.

Fakta yang harus Alisa terima pagi ini adalah meskipun mereka tinggal di rumah yang sama, dan berkuliah di tempat yang sama, Alisa juga harus menerima kenyataan bahwa kadang mereka tidak bisa berangkat bersama dan pulang bersama.

Jarak rumah dari kampus bisa ditempuh sekitar sepuluh menit perjalanan dengan angkutan umum. Dan saat ini waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Bagi mahasiswa baru yang pertama kalinya akan menghadapi kuliah, menyadari bahwa hadir lebih awal di kampus adalah keharusan. Karenanya sepagi ini, kampus sudah terlihat cukup ramai dengan segala hiruk-pikuknya.

***

Semua seharusnya baik-baik saja hari ini. Alisa berangkat ke kampus dan tiba dengan selamat. Duduk di salah satu kursi bersebelahan dengan Mina teman sekelasnya saat tahun terakhir di sekolah menengah atas. Menikmati setiap materi yang disampaikan dosen dengan penuh khidmat dan mencatat dengan rajin. Semuanya benar-benar sesuai apa yang diinginkan. Hingga saat jam kuliah seluruhnya berakhir menjelang sore saat itu. Ketika Alisa selesai berpamitan pada Mina, saat dia juga memutuskan akan pulang setelah melegakan beberapa sendi yang keram karena seharian duduk dan berkonsentrasi.

Di saat itu, di sudut belakang gedung kampus tempat Alisa berdiri dan menghirup udara segar dari lantai dua gedung Alisa melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihatnya. Gadis itu menjadi saksi akan hal yang selanjutnya berujung panjang baginya. Alisa, di hari pertama kuliah,  memergoki segerombolan mahasiswa tingkat atas sedang berpesta miras. Sial!

***

Jantung Alisa berpacu, nafasnya sekarat dan sekujur tubuhnya gemetaran. Tidak ada satu manusia pun yang berharap akan mengalami kejadian seperti yang dialaminya saat ini. Punggungnya saat ini sedang bersandar pada dinding lembab toilet perempuan. Ini spontanitas. Alisa harus bersembunyi secepat mungkin dari kejaran orang-orang mabuk tadi.

Baiklah, harusnya Alisa hanya perlu memergoki kejadian tidak menyenangkan barusan. Dirinya tidak perlu harus keceplosan berseru ‘astagfirullah’ sehingga harus jadi korban pengejaran seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi dan yang perlu dilakukannya sekarang adalah meraih ponselnya secepat mungkin lalu meminta bantuan kepada teman-temannya.

Itu rencananya, namun sayang sekali gagal. Ponsel yang beberapa detik lalu masih dalam genggaman Alisa, sekarang malah sudah beralih ke tangan seorang mahasiswa laki-laki yang Alisa tidak salah ingat juga ikut dalam pesta miras tadi. diikuti juga oleh beberapa mahasiswa lain yang mulai bermunculan menatap Alisa dengan tatapan menyeramkan yang seumur hidup baru saja disaksikannya hari ini.

Salah satunya malah sudah menarik pergelangan tangan Alisa dengan paksa sambil berteriak di antara sadar dan mabuknya, “Apa yang lu lihat?”

Alisa akan menangis. Sungguh. Tapi dia menguatkan diri saat orang itu tiba-tiba menyentuhnya seperti sekarang dengan sekuat tenaga menghempaskan pegangan itu hingga terlepas sambil ikut berteriak, “Jangan sentuh! Bukan muhrim!”

Kata-kata itu bukan yang seharusnya diucapkan oleh seseorang dalam posisi Alisa sekarang. Seorang yang terpojok, terancam dan tertekan bukan tempatnya untuk ikut berteriak dan melawan. Tindakan itu justru akan memicu tindakan kekerasan fisik bagi korban. Dan sedetik saja itu akan terjadi, jika bukan karena tangan seseorang yang menahan para mahasiswa jahat pemabuk ini sebelum mendarat di wajah Alisa.

Sekujur tubuh Alisa lemas karenanya. Dia tidak memperhatikan saat mahasiswa laki-laki yang tadi mengambil ponselnya telah menyelamatkannya dari pukulan, dan dia juga tidak sadar saat laki-laki itu mencoba menenangkan teman-temannya yang lain. Yang Alisa tahu dia harus pergi dari tempat ini sekarang juga. Jika tidak, dia akan menangis, histeris dan berakhir pingsan.

Satu hal yang bisa ditangkapnya sebelum gerombolan mahasiswa itu memutuskan untuk meninggalkannya adalah laki-laki tadi memperingatkannya untuk tidak memberitahukan kejadian yang dilihatnya hari ini kepada siapapun. Dan Alisa hanya mampu mengangguk lemah, menjatuhkan dirinya ke lantai dan menangis tersedu-sedu.

***

Gue udah pernah nulis konsep tema ini di book oneshot LisaxBoys. Dengan sedikit perubahan supaya bisa lebih fokus ke satu inti cerita saja. Semoga kalian suka.

Kalau banyak yang suka, gue bakal sering update. Insyaa Allah.

13 Maret 2022

SENIOR NYEBELIN BANGET [END] YIBO X LISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang