Setelah menghadapi pemecatan, Vio dan Vina duduk di trotoar pinggir jalan dengan wajah lesu. Mereka saling menghela nafas, memikirkan nasib ke depan.
"Habis ini gue bingung deh Vi, harus kerja di mana, lo tau sendiri kan cari kerja itu susah," ucap Vina pada Vio dengan nada sedih.
"Huum, gue juga," sahut Vio tak kalah sedih.
"Mana gue tulang punggung keluarga lagi. Adik-adik gue harus gue kasi makan apa?" Vina kembali mengeluh.
Vio menatapnya prihatin, tapi lebih prihatin lagi pada nasibnya yang harus membayar uang semester yang sudah jatuh tempo dan juga bayar kos yang menunggak tiga bulan. Beberapa hari ini ia sudah dikejar-kejar Ibu kos seperti buronan, Vio harus bersiap kapan saja wanita itu habis kesabaran kemudian mengusirnya secara tak hormat.
Vio mendesah frustrasi. Jujur, ia sedikit menyesali sikap angkuhnya tadi. Seandainya ia mau menurunkan sedikit ego dan harga dirinya, mungkin ia bisa membuat kesepakatan dengan Tessa. Walaupun dengan sedikit pengancaman, yang pasti mereka tak akan dipecat seperti sekarang.
"Lama-lama gue ambil jalan pintas deh, Vi," ucap Vina tiba-tiba membuat Vio menoleh cepat padanya.
"Maksud lo?"
"Gue jadi Sugar Baby aja kali yah?"
Vio membelalakkan matanya. "Hushh.. Lo ngomong apaan sih? Jangan gitu lah, kita masih punya harapan," ucap Vio terdengar munafik. Padahal ia sendiri tau, tak ada harapan saat uang yang dibutuhkan memiliki tenggat waktu.
"Harapan apa?" tanya Vina terkekeh sumbang. "Harapan dapat kerja?"
Vio mengangguk, walau ragu. "Kita kan masih bisa berusaha."
"Ngomong nggak semudah melakukannya, Vi. Kita emang bisa berusaha, tapi kalo keadaan nggak mendukung sama aja bullshit. Apa lo sanggup nunggu sampai dapat kerja yang entah kapan itu terjadi, sementara lo butuh duit setiap kali lo ngembusin nafas?"
Vio terdiam. Yang Vina katakan benar, mau berusaha sekuat apapun, nyatanya mencari kerja sangat susah. Sementara mereka membutuhkan uang dalam waktu cepat.
Ia menunduk, menyembunyikannya wajah di antara kedua kakinya. "Seandainya Ortu gue sedikit peduli," gumam Vio pelan, namun Vina bisa mendengarnya.
"Emangnya lo masih punya Ortu? Bukannya mereka udah meninggal yah?"
Vio terdiam. Yang Vina tau memang seperti itu. Yang orang-orang tau ia sudah tak punya orang tua lagi, dan itu memang tak salah. Sejak kedua orang tuanya bercerai, kehidupan Vio sudah berubah.
Wanita dan pria yang seharusnya ia panggil Mama dan Papa, mereka tak layak disebut orang tua. Bukan Vio kehilangan rasa hormat pada mereka, tapi sikap mereka yang lebih memilih bahagia dengan keluarga baru mereka masing-masing, mengabaikannya seakan tak pernah ada, membuat Vio tak pernah lagi menganggap bahwa ia masih punya orang tua.
"Entahlah," jawab Vio asal. Topik tentang dua orang yang berhasil membuatnya lahir ke dunia ini sekaligus berhasil membuatnya menderita, adalah topik yang paling ia hindari.
Vina menatapnya heran, tapi syukur tak berniat memperpanjang lagi. "Lo mau nyoba juga nggak?" tanyanya.
"Nyoba apa?"
"Jadi Sugar Baby."
Vio menggeleng pelan. "Buat sekarang gue masih mau berusaha nyari kerja."
"Oke, semangat yah. Nanti kalo lo berubah pikiran, kasi tau gue."
____
Vio membaca jadwal ujian yang akan ia hadapi minggu depan, sayangnya ia terancam tak bisa ikut karna belum menyelesaikan administrasi. Padahal ia tak ingin mengulang, karna itu sama artinya dengan memperpanjang masa bebannya. Vio harus cepat-cepat lulus agar bisa segera mencari kerja yang layak. Ia sudah bosan miskin.
KAMU SEDANG MEMBACA
MSD (My Sugar Daddy)
General FictionWarning 🔞 Dedek-dedek Emeshh silakan menjauh. Lapak ini mengandung adegan 1821 yang berbahaya bagi kesehatan otakmu. Diselingkuhi pacar, dipecat dari pekerjaan, pembayaran uang semester jatuh tempo, dan diusir dari kosan karna sudah lama menunggak...