14.

11.6K 414 177
                                    


Vio melap air matanya yang tidak ia sadari kapan jatuh saat Dias kembali memasuki mobil. Pria itu tidak berkata apa-apa, bahkan melirik Vio pun tidak. Ia kembali menghidupkan kendaraan dan melaju meninggalkan Elang yang masih terpaku di belakang.

Suasana hening, Vio tak ingin memikirkan apa yang ada di pikiran Dias saat ini. Karna jauh lebih penting untuk menahan gejolak rasa sakit yang terus meremas hatinya sejak tadi.

Vio merasa sangat terhina, ia sakit, ia hancur. Meskipun tidak ada yang salah dari ucapan Dias, tapi ia tak habis pikir bagaimana bisa pria itu dengan mudah mengatakan itu pada Elang? Ia sudah mempermalukan Vio.

"Om...." Vio memutuskan untuk buka suara. "Kenapa Om lakuin itu? Perjanjiannya nggak boleh ada yang tau selain kita."

Dias yang masih menyetir melirik Vio sekilas, kemudian kembali fokus ke jalan. "Saya tidak memberi tahu apa-apa," ucapnya datar.

"Tapi ucapan Om tadi bisa menggiring opini di kepala Kak Elang. Dia pasti bisa nyimpulin kalau aku—"

"Lalu kenapa? Kamu takut dia menjauhimu?"

Vio menghela nafas mendengar tuduhan Dias. "Bukan itu. Tapi bagaimanapun kami satu kampus, dan dia juga berteman baik dengan Cleo. Bagaimana kalau Kak Elang ngasi tau Cleo?"

"Nggak akan." Diaz mengatakannya seolah sangat yakin. Sementara Vio tetap merasa gelisah.

"Aku takut, Om," cicitnya.

Namun kekeh sinis terukir di wajah Diaz. "Kalau takut harusnya sejak awal kamu tidak jual diri."

Deg....

Vio merasakan hatinya kembali diremas-remas mendengar tanggapan pria itu. Ia menelan saliva, menatap Dias dengan sorot terluka.

"Kalau bisa memilih, aku juga nggak mau melakukannya," ucapnya dengan suara bergetar. Air mata kembali lolos di wajahnya. Diaz terdiam.

Vio mengalihkan wajah ke arah kaca, melap air matanya. Suasana kembali hening, tidak ada yang bersuara lagi. Hingga Vio tiba di apartemen dan Dias memutuskan untuk langsung pergi—tidak mampir seperti biasanya.

——

"Pah, liat deh siapa yang datang." Cleo menghampiri Dias yang baru saja memasuki rumah dengan wajah bersemangat.

Dias menoleh, kemudian tersenyum tipis saat menemukan sosok cantik itu di sana. Rinjani Akasena, partner kerja sekaligus mantan juniornya di kampus dulu.

"Rin, udah lama?" Tanya Dias seraya mendekati Rinjani. Mereka memang ada janji untuk bertemu hari ini. Tapi seingat Dias masih satu jam lagi, dan itupun di kantor, bukan rumahnya.

"Ah, nggak kok. Lagian aku yang kecepatan datangnya."

"Kok nggak ke kantor aja?" Dias mendudukkan diri di depan wanita itu.

"Tadi aku ketemu Cleo di depan kampus. Sekalian aja aku tawarin anter pulang."

"Oh..." Diaz mangguk-mangguk. "Makasih ya."

Rinjani membalas dengan senyuman manisnya. "Kamu dari mana? Tumben jam segini nggak di kantor," tanyanya.

Dias menggedikkan bahu. Tiba-tiba pikirannya terbayang kembali pada Vio. Yah, hanya gadis itu yang bisa membuatnya meninggalkan pekerjaan penting dan beralih profesi menjadi supir untuk menjemputnya di kampus. Bodoh sekali, tapi itu adalah kebodohan yang akan terus ia ulang.

"Meeting di luar," jawabnya singkat.

"Oh.. terus kenapa nggak kembali ke kantor?"

Dias juga tidak tau jawabannya. Hanya saja, setelah perdebatan kecil dengan Vio tadi—yang membuat ia harus menyaksikan bagaimana mata gadis itu berair karenanya, Dias merasa ia sangat brengsek dan jahat. Perasaannya buruk, ia tidak ingin melakukan apapun selain pulang dan menenangkan diri.

"Ada berkas yang mau diambil dulu." Lagi-lagi berbohong. Dan syukur setelah itu Rinjani tidak kepo terlalu jauh lagi. Wanita itu hanya mangguk-mangguk sambil tersenyum canggung.

"Eemm... Aku nggak papa kan datang ke rumah kamu gini? Aku takut kamu merasa nggak nyaman."

Dias menggeleng. Baru saja ia ingin menjawab, suara Cleo menginterupsi terlebih dahulu. "Nggak papa dong, Tante. Kedepannya juga akan sering datang ke sini kan?" Gadis itu mendudukkan diri di samping Dias setelah menghidangkan minuman dan makanan ringan di atas meja.

Rinjani tersenyum malu-malu. Sementara Dias hanya mengernyit. Bingung.

"Pah, sebenarnya kedatangan Tante Rinjani ini ada maksud lain juga loh." Cleo menatap Dias dengan antusias yang tidak berkurang sedikitpun sedari tadi.

"Maksud apa?" Tanya Dias.

"Eemm gini..." Rinjani berdehem  gugup. "Aku mau menyampaikan undangan dari Papa buat kamu. Minggu depan pesta anniversary pernikahan Papa dan Mama yang ke-30. Papa mau kamu hadir di sana." Wajah wanita itu tampak merona setelah mengatakannya. Dias tidak mengerti, apa AC dalam rumahnya kurang dingin? Tapi ia mengangguk saja.

"Sampaikan ke Om Wira, aku akan datang."

Wajah Cleo dan Rinjani seketika sumringah bersamaan. Sore yang Dias rancang ingin tidur sejenak untuk menenangkan diri itu, terpaksa harus dilupakan.


———



*Grup* 20.30 Pm.

Vio
Guys, bantuin aku cari kerjaan.

Cleo
Loh, bukannya kamu lagi kerja?

Nia
Oke.


———



"Vi, aku ada lowongan nih dari temen aku. Kerjanya bantu-bantu jadi EO gitu. Kebetulan sebentar lagi mereka mau nanganin acara yang lumayan besar, jadi mereka kekurangan tenaga. Lu mau nggak masuk di sana?"

Vio berbinar antusias mendengar penawaran Nia. "Mau dong, Ni... Mau banget." Ia bahkan hampir meneteskan air mata mendengarnya. Tak menyangka ia bisa mendapatkan pekerjaan secepat ini, di waktu yang juga tepat.

Yah, setelah kejadian kemarin, Vio memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan laknatnya. Semalaman ia berpikir, menghabiskan jam tidurnya hanya untuk menguatkan hati mengambil keputusan ini. Ia ingin mencari pekerjaan yang normal, pekerjaan yang meskipun gajinya tidak akan sanggup membuat Vio tinggal di apartemen mahal, atau bahkan tidak cukup untuk keperluan sehariannya, tapi pekerjaan itu tidak merendahkan harga dirinya.

"Oke. Nanti gue kasi nomor temen gue itu ke lo. Hubungi sendiri aja ya."

Vio mengangguk-angguk. Nia pun menatap Vio sembari tersenyum. Namun beberapa saat kemudian, senyuman gadis itu perlahan memudar, berganti jadi tatapan prihatin. Ia menggenggam tangan Vio, membuat Vio menatapnya dengan sorot bertanya-tanya.

"Berat ya, Vi?" Vio terdiam. Hanya pertanyaan singkat tidak berujung, tapi entah mengapa berhasil membuat dadanya diliputi segenap rasa sesak. "Tapi gue tau lo kuat. Makasih ya udah bertahan sejauh ini."

Air mata Vio menetes begitu saja. Ia tidak tau mengapa, tapi perlahan ia memeluk Nia dan menumpahkan tangisannya di sana.

Yah, ini berat... Sangat berat.

MSD (My Sugar Daddy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang