"Cinta itu datang dari terbiasa. Mungkin terbiasa membenci."
~I Hate You~
Alva baru tiba di cafe coffe talk, salah satu cafe yang di penuhi anak muda zaman sekarang. Dia celingak-celinguk memandang satu persatu bangku di sana, mencari ketiga temannya yang tiba-tiba mengajak kumpul malam ini.
"Dimana, sih, tiga kurcaci itu?" tanya Alva pada dirinya sendiri.
Bruk!
"Ah, anjir!" umpat Alva, saat tiba-tiba seseorang menubruk bahunya.
"Opss... Ada orang, ya? Sorry, nggak lihat," kata orang yang baru saja menabrak bahu Alva.
Dahi Alva mengerut mendengar suara itu, terdengar tidak asing di telinganya. Tanpa menunggu lama, Alva memutar kepalanya dan menatap orang yang berdiri di sebelahnya. "LO! NGAPAIN LO DI SINI?!" tanya Alva, heboh melihat orang itu adalah Zea.
Zea memutar bola matanya, malas. "Harusnya gue yang tanya, lo ngapain di sini? Ngintilin gue, lo, ya?" tanya dan tuduh Zea.
Alva mendorong jidat Zea dengan telunjuknya. "Sembarangan, lo! Yang ada, lo yang ngintilin gue. Kan gue duluan yang nyampe sini," cetus Alva.
"Enak aja! Gue nggak ngintilin, lo! Gue di sini karena tiba-tiba di ajak ketemu sama Pina, Rizka, dan Milki," jelas Zea. Matanya sibuk mencari keberadaan teman-temannya di tengah ramainya pengunjung di cafe itu.
"Kok sama?" tanya Alva, membuat Zea jadi menoleh padanya..
Zea mengernyit. "Lo juga di suruh datang sama Pina, Rizka, Milki?" tanya Zea, yang langsung di hadiahi jitakan dari Alva.
"Sakit, Monyet!" umpat Zea, mengusap kepalanya yang terasa sakit.
"Makanya, jangan bego!" cetus Alva, yang membuat Zea melotot padanya. "Gue juga di suruh kesini sama Sabas, Diki, Wildan," jelas Alva.
Zea ber-oh ria. "Terus teman-teman goblok, lo, mana?" tanya Zea.
Alva mendengus, mendengar ucapan Zea yang mengatai ketiga temannya goblok. Tetapi tidak Alva pungkiri, ucapan Zea ada benarnya juga. "Lantas, teman-teman centil, lo, mana?" balas tanya Alva.
Zea melotot dan menginjak kaki Alva yang terbalut sepatu jordan. "Enak aja lo bilang teman-teman gue centil!" sergah Zea.
"Sakit, Anjing!" Alva mengangkat sebelah kakinya yang di pijak sengaja oleh Zea. Sementara Zea hanya mengabaikan, tidak peduli. "Gue sliding juga, lo!" cetus Alva, dengan suara pelan yang tidak di dengar oleh Zea.
"Mas Alva dan Mbak Zea, ya?" tiba-tiba ada waiters yang mendatangi Zea dan Alva.
Zea dan Alva saling tatap, lalu mengangguk bersamaan.
"Oh, mari ikut saya mas, mbak!" ajak waiters itu.
"Eh, tunggu-tunggu!" kata Zea, membuat mbak waiters dan Alva jadi menatap padanya. "Mbak ini kenapa ngajak kita berdua? Saya itu ke sini mau ketemu sama teman saya, Mbak. Terus, nih, Alvanjing, mau ketemu sama teman goblok dia," jelas Zea, sambil melirik ke arah Alva yang juga menatapnya dengan melotot.
Mbak waiters mengangguk. "Iya, mbak. Mejanya udah di sediain," ujar Mbak waiters itu, tersenyum ramah.
Zea menggaruk dahinya. Ini antara dia yang nggak paham atau waiters ini yang bego, sih? Sudah di bilang dia dan Alva itu berbeda tujuan, tetapi tetap saja mengajak keduanya. Mana di katakan meja sudah di sediakan lagi.
"Mbak, Mas?" panggil waiters itu.
"Eh, iya, mbak. Ayo," kata Alva, menarik Zea. "Mungkin teman-teman gue sama lo itu milih satu meja," bisik Alva.

KAMU SEDANG MEMBACA
I HATE YOU
Teen FictionI Hate You. Tiga kata, delapan huruf, dan satu arti. Sesimple itu di ucapkan, namun semenyakitkan itu di dengar. Tapi tidak bagi Zea dan Alva. Kata-kata itu seperti sudah biasa untuk keduanya. Biasa untuk di lontarkan, dan biasa untuk di dengar. "Ap...