Semester Baru

127 75 147
                                    

Jangan terlalu benci. Benci dan cinta itu beda tipis. Nanti benci-benci, ujungnya malah jatuh cinta.

I Hate you

Jari lentik Zea menari di atas kertas yang tertempel di mading. Ia sedang mencari namanya di sana. Dan, yahhh... ketemu! Dia berada di kelas 11 ips1. Kelas unggulan dari daftar anak IPS. Lalu jarinya kembali menari di kertas itu, mencari nama seseorang. Bukan seseorang yang ia harapkan, melainkan seseorang yang sangat ingin ia musnahkan dari bumi ini. Siapa lagi kalau bukan Alvaro, musuh bebuyutannya.

Sambilan tangannya mencari, mulut Zea terus komat-kamit tanpa menimbulkan suara. "Pokoknya jangan sampai ia. Pokoknya gue gak mau kalau beneran ia. Pokoknya gak mau-gak mau-gak mau!" kata Zea dalam hati.

Dan...

Sial! Zea hampir saja mengumpat. Ternyata takdir berkata lain. Apa yang dia inginkan, tidak sesuai dengan yang terjadi pada saat ini. Lagi? Kenapa harus lagi? batin Zea, meringis.

“Woahh... Kita berempat sekelas!” seru tiga gadis yang berdiri di sebelah Zea. Ketiganya adalah sahabat Zea.

Yang pertama ada Rizka. Rizka Sabrina, cantik, putih pucat, rambut tebal, wajah bulat, tinggi setara dengan Zea,  memiliki lesung pipi di kedua pipinya, serta mengenakan kaca mata.

Dan yang kedua ada Rapina Aginta, sering disapa Pina. Gadis yang lebih tinggi dari ke tiga temannya, memiliki badan yang ideal, rambut panjang yang lurus, serta kulit yang tidak terlalu putih, dan jangan lupa gigi gingsul nya yang membuatnya sangat manis jika tersenyum.

Dan yang terakhir ada Milkita Camellia, gadis manis berambut pendek. Milki adalah sosok paling dewasa diantara ketiga temannya, maka tidak heran Milki selalu menjadi penengah ketiga temannya itu.

Sebenarnya Zea baru mengenal ketiga temannya setahun lalu, tepatnya saat ia baru menginjak SMA Bintang ini. Tapi meski begitu, Zea sudah menganggap ketiga temannya itu adalah sahabat bahkan saudara. Bagi Zea ketiga temannya adalah rumah kedua untuknya.

“Heh! Lo nggak senang kita sekelas lagi?” Rizka menepuk bahu Zea. Dia melihat ekspresi Zea berbeda dengan mereka, gadis itu malah terlihat kesal.

Zea berdecak. “Suudzon, lo,” katanya, memutar bola mata malas.

“Terus, kenapa muka lo kusut banget?” kali ini Pina yang bertanya.

“Gue kesal. Lagi-lagi sekelas sama dia." Zea menyorotkan pandangannya pada daftar kelas di papan mading, membuat ketiga temannya ikut melihat arah pandang Zea.

"Alva?" tanya ketiganya, serempak.

“Itu tau,” jawab Michelle, malas.

“Ya ampun, Zea. Lo harusnya senang, di kelas kita banyak cogannya. Jadi pas belajar, ada pemandangan indah yang bisa di tatap.”

Zea bergidik jijik, mendengar perkataan Pina. “Lo nggak salah bilang cowok tengil itu ganteng? Gue malah mau muntah dengarnya,” kata Zea, berlagak ingin muntah.

“Ya ampun, Zea. Kita nggak bisa memungkiri itu. Alva memang ganteng,” kata Rizka, malah membenarkan ucapan Pina tadi.

“Heh! Dengar ya! Cowok kayak mereka itu, cuman tebar ketampanan. Yang pada akhirnya, wajah sok ketampanan mereka di gunain buat nyakitin.”

“Nyakitin gimana, sih, Zea?” tanya Pina, tidak mengerti dengan ucapan Zea. “Lagian lo dari kelas 1, kenapa kelihatan nggak suka sama Alva?”

“Ralat. Bukan cuman Zea, tapi Alva juga. Alva juga kelihatan nggak suka Zea,” koreksi  Rizka.

I HATE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang