"Sebuah masa lalu yang cuman sia-sia buat di ingat ulang. Karena pada nyatanya, sejarah itu hanya akan tinggal kenangan. Nggak akan bisa di ulang lagi."
-----
“Hello Zelalatan!”
Zea bangkit berdiri. Mendatangi Alva yang sedang duduk bersama ketiga temannya. Wajahnya memerah, menahan amarah yang siap meledak kapan saja.
Sementara ketiga teman Zea, hanya bisa menepuk jidat masing-masing. Sudah dapat menebak apa yang akan terjadi setelahnya. Bahkan bukan hanya teman-temannya, tapi semua orang di kantin sudah dapat menebak.
"Maksud lo apa, hah?!" Zea memukul meja kantin, tepat di depan wajah Alva.
Alva memundurkan sedikit wajahnya, "wih... Santai dong mak lampir! Ngegas aja kayak bajai!"
"Lo jangan sembarang ganti-ganti nama gue, ya!" Zea menunjuk-nunjuk wajah Alva.
Alva tersenyum sumringah, lalu ia bangkit berdiri dan menatap Zea yang tingginya hanya sampai bahunya itu. "Udah lah, Mak Lampir! Muka lo itu udah seram, nggak usah diseram-seramin lagi!"
Bugh!
"Ach...!" Alva memegangi lututnya yang baru saja di tendang dengan sengaja oleh Zea. "Zeaaa! Dasar anak monyet, lo!" umpat Alva, di tengah ringisannya.
Zea melipat tangannya di depan dada, lalu ia tertawa puas. "Rasain! Makanya, jangan tengil jadi orang," ujarnya, memelet ke arah Alva. Lalu ia berbalik dan berjalan kembali ke meja yang tadi dia tempati dengan teman-temannya.
"DASAR PEREMPUAN JADI-JADIAN LO!" teriak Alva dan duduk kembali, sambil tangannya masih memegang lututnya.
"Berantem mulu lo! Jadian mampus!" Sabas geleng-geleng.
"Mampus kenapa, Bas? Kan Zea cantik buanget!" tanya Wildan dengan kekehan.
Sabas mendekatkan tubuhnya ke arah Wildan yang duduk di sebelahnya, lalu ia menumpu sikunya pada bahu Wildan. "Cantik, sih, bro... Tapi sayang, galaknya nauzubillah!" ujar Sabas, dengan menguatkan suaranya pada kalimat terakhir.
"Sabas!!! Jangan sampai garpu gue ini melayang ke jidat lo, ya!"
Sabas meneguk salivanya mendengar ancaman dari Zea. Dia langsung membenarkan duduknya. "Baru juga gue bilang," ujarnya lirih.
Alva tertawa renyah. "Takut lo, Bas?" tanya Alva, di saat melihat wajah Sabas yang langsung panik. "Ya wajar sih lo takut. Kan manusia kayak kita nggak seharusnya lawan dedemit kayak dia!"
"Gue dengar, ya, Alvanjing!!!"
~I hate you~
Alva menguap panjang. Matanya sayu, menahan kantuk. Sejak tadi, dia sama sekali tidak fokus mendengarkan Bu Rahayu—guru sejarah yang menerangkan didepan. Ntah kenapa, pelajaran sejarah begitu membosankan untuk nya.
Berbeda dengan Alva, Zea yang berada di bangku depan malah terlihat begitu semangat mendengarkan guru itu. Pandangannya terus memperhatikan guru itu menerangkan dan tangannya sibuk mencatat hal yang penting ke buku catatannya.
"Apa yang kalian ketahui tentang sejarah indonesia?" tanya Bu Rahayu, menatap murid-muridnya.
"Bu!" Sabas mengangkat tangan kanannya.
Semua orang menoleh pada Sabas. Bahkan Alva yang tadi sudah setengah sadar, jadi cerah kembali. Pasalnya, tumben Sabas semangat menjawab pertanyaan dari guru. Biasanya, lelaki itu adalah orang pertama yang akan menghindari pertanyaan.
![](https://img.wattpad.com/cover/264133769-288-k65471.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I HATE YOU
Fiksi RemajaI Hate You. Tiga kata, delapan huruf, dan satu arti. Sesimple itu di ucapkan, namun semenyakitkan itu di dengar. Tapi tidak bagi Zea dan Alva. Kata-kata itu seperti sudah biasa untuk keduanya. Biasa untuk di lontarkan, dan biasa untuk di dengar. "Ap...