Tragedi Malam Minggu

21 7 19
                                        

Rasa peduli mu apa mampu menghancurkan tembok benci yang sudah terbangun tinggi?

~I Hate You~

"Astaga... anjir!"

Zea mengumpat ntah sudah keberapa kali. Dia memukul stir mobilnya, meluapkan rasa kesalnya. Dia menatap ke sekelilingnya, hanya gelap gulita yang ia lihat. Sepi, tidak ada kendaraan yang lewat.

"Kenapa, sih, mobil... lo harus selalu bikin ulah di waktu yang tidak tepat?" kesal Zea, lagi-lagi memukul stir mobilnya. "Waktu itu gue mau berangkat sekolah, terus sekarang malah di tempat sepi. Lo mau celakain gue, ya?" omel Zea, meremas stir mobilnya dengan kuat.

"Gue telpon Papa aja, deh," ujar Zea, mengambil ponselnya yang di letak di bangku penumpang di sebelahnya. "Ah...shit!" umpat Zea, melihat Hp-nya padam. "Cobaan apa lagi ini, ya, Tuhan?!" lirih Zea, mencari-cari powerbank yang berharap ada di mobil, tetapi nihil,  Zea sama sekali tidak menemukan alat yang bisa membantunya.

Zea menidurkan kepalanya di stir mobilnya, frustasi. Tidak tau bagaimana cara untuk mengatasinya malam ini. Ingin keluar dan melihat ke adaan mobilnya, Zea pun tidak berani. Jalanan ini benar-benar sepi dan sangat gelap.

Tok...tok...tok...

Jantung Zea berdetak cepat. Dia tidak berani mengangkat kepalanya dan malah menutup rapat-rapat matanya, takut untuk melihat siapa yang mengetuk pintu jendela mobilnya itu. Apa itu orang jahat? Apa itu makhluk halus? Kepala Zea mendadak di penuhi pikiran negatif. Nggak! Gue nggak usah buka! Zea ayo berdoa Zea! Hanya Tuhan yang bisa membantu mu saat ini, ujar Zea dalam hati.

"WOY, ZELALATAN! BUKA!"

Zea membuka matanya, tetapi tidak mengangkat kepalanya. Dia tau persis suara ini. Ah, tidak! Lebih tepatnya Zea tau persis panggilan ini. Dia langsung mengangkat kepalanya dan menatap ke kaca mobilnya.

"Alva?" ujar Zea, melihat Alva berdiri di luar mobilnya dan mengintip lewat kaca mobil.

"BUKAIN MONYET!"

Zea langsung membuka mobilnya. "Lo kok bisa ada di sini?" tanya Zea, saat keduanya sudah berdiri berhadap-hadapan.

Alva memutar bola matanya, malas. "Gue mau liburan ke ancol!" jawab Alva asal. "Ya gue mau pulang, lah!"

Zea ber-oh ria. "Terus ngapain lo berhenti di sini? Lo udah tinggal di hutan? Oh, atau jangan-jangan lo emang monyet?!" tanya Zea, menutup mulutnya, layaknya seseorang beraksi kaget.

"Harusnya gue yang tanya sama, lo. Lo ngapain di sini? Mau open BO?" tanya Alva dengan wajah datar, yang langsung di geplak Zea.

"Ngomong sembarangan lagi, lo, gue cakar-cakar, lo!" ancam Zea, menatap Alva dengan melotot.

Keduanya malah saling melotot di bawah gelapnya langit malam. Tidak peduli di sekitar mereka saat ini tidak ada orang, tidak peduli akan gelapnya malam, seolah yang lebih penting adalah pertikaian yang harus di selesaikan. Bahkan Zea sampai lupa kalau mobilnya sedang tidak baik saat ini.

"Mending gue pulang, deh," ucap Alva, bergegas meninggalkan Zea.

Zea membulatkan matanya, tersadar bahwa mobilnya sedang rusak. Aduh Zea, kenapa lo malah adu bacot sama Alva? Padahal lo butuh bantuan dia sekarang," batin Zea merutuki. "Mobil gue lagi rusak. Gue nggak bisa pulang,"cicit Zea, yang dapat di dengar Alva.

Alva berhenti. Dia tau kalimat yang baru saja Zea keluarkan itu adalah kalimat permohonan supaya di bantu yang di ucapkan dengan gengsi. Mau minta tolong aja gengsinya minta ampun, cibir Alva menggeleng. Dia berbalik dan kembali mendekat ke arah Zea.

I HATE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang