"Kehidupan itu nggak pernah adil, ya. Di saat kita ingin bersama seseorang, tetapi itu tidak terwujud. Tetapi di saat kita ingin menghindari seseorang, eh malah di di dekatkan. Ternyata kehidupan sebecanda itu."
-----
“Apa?”
Bughh
“Haduh!”
Buku akuntansi yang tadi ada di atas meja Zea sudah mendarat mulus mengenai kepala Alva, membuat Alva mengaduh ke sakitan dengan memegangi kepalanya. Sementara sang pelaku, tersenyum puas di tempatnya.
“Lo!” Alva menunjuk dengan kesal Zea.
“Apa?!” tantang Zea. Dia bangkit dari duduknya dan menatap Alva dengan bersedekap dada.
“HUH! Untung cewek lo,” geram Alva.
“Emang kalau cewek kenapa? Nggak berani lo?” tantang Zea, menatap sepele ke arah Alva.
Alva berjalan semakin dekat ke arah meja Zea, meletakkan tangannya di atas meja. Hal itu juga di lakukan Zea, membuat wajah keduanya hanya berjarak dua kepalan tangan.
“Bencong! Beraninya sama cewek,” cibir Zea, tepat di depan wajah Alva.
Alva memperlihatkan senyum liciknya. “Banci! Sok jagoan,” balasnya tak kalah sengit.
Keduanya menjadi pusat perhatian di kelas. Hal ini sebenarnya sudah biasa bagi mereka yang berasal dari kelas yang sama dengan Zea dan Alva sewaktu kelas 10. Tapi bagi mereka yang baru masuk kelas ini dan baru mengenal Zea dan Alva, mereka memandang dengan sorotan bingung.
“ZEA! ALVA!”
Perhatian semua orang langsung berpusat pada sumber suara. Seorang guru laki-laki dengan tubuh yang sangat besar berada tepat di ambang pintu kelas. Dia memandang galak ke arah Alva dan Zea.
“Kalian berdua ini, pagi-pagi sudah ribut aja. Mau kalian berjodoh nanti?” omel guru itu dengan berjalan ke bangku guru.
“AMIT-AMIT TUJUH TURUNAN!” Zea langsung memukul gantian kening dan meja di depannya.
“AMIT-AMIT SERIBU TURUNAN!” kata Azka, ikut melakukan yang Zea lakukan.
“Hah! Udah-udah! Duduk ke bangku kamu Alva!” suruh pak guru gemuk itu. “Nama saya Pak Zulfan Toufik, guru Sosiologi dan juga sekalian wali kelas di kelas ini,” jelas Pak Zulfan saat murid-muridnya telah duduk rapi.
“Pak!” Sabas mengangkat tangannya.
“Iya ada apa?” tanya Pak Zul.
Sabas bangkit berdiri, “Salam dari Sabas Zega. Murid paling tampan di kelas ini,” kata Sabas dengan pedenya, membuat sorakan-sorakan histeris langsung keluar dari mulut manis teman-temannya.
“Huuu!!!”
“Norak!”
“Najis!”
“Mau muntah!”
“Iri? Bilang, bos!” kata Sabas, memegang kerah bajunya dan duduk kembali.
Pak Zul sendiri hanya bisa terkekeh dan menggeleng melihat kelakuan anak didiknya. “Sudah-sudah. Maklumin aja, dia nggak ada yang muji,” kata Pak Zul, membuat semua orang jadi tertawa terbahak-bahak.
Sementara Sabas, dia hanya tersenyum sok imut di tempat duduknya. “Orang sabar di sayang cewek cantik,” katanya mengusap dadanya sendiri.
“Hari ini kita akan memilih perangkat kelas. Dan saya sudah menetapkan ketua dan wakil kelas.”
“Nggak pemilihan, Pak?” tanya Pina.
“Nggak! Saya yang akan memilih,” kata Pak Zul. “Okey, saya pilih ketua...” Pak Zul menjeda kalimatnya, menatap gantian Alva dan Zea.
Sementara kedua orang yang di tatap juga sama-sama saling tatap, tapi tatapannya sama-sama melemparkan ke tidak sukaan.
“ALVA KETUA. ZEA WAKIL.”
“Hah?!” Zea membulatkan bola matanya dan langsung berdiri. “Nggak-nggak. Nggak mau pak!” tolak Zea.
Sementara Alva, dia melipat tangannya di depan dada dan tersenyum serta menaik-naikkan alisnya. “Nggak usah protes! Udah keputusan,” ucapnya santai.
“Iya, Zea. Bapak nggak terima penolakan,” kata Pak Zul.
“Tapi kenapa saya harus jadi wakil? Kenapa bukan saya yang jadi ketua?” tanya Zea, tidak terima.
“Karena cewek itu harus selalu di belakang, nggak boleh di depan. Yang jadi pemimpin harus cowok,” jelas Alva, menggantikan Pak Zul.
Zea mendengus. Pernyataan macam apa itu? Emang dia pikir, perempuan akan selalu tertinggal begitu? Dasar cowok! Selalu saja menyepelekan perempuan. Dan ini, adalah salah satu alasan Zea tidak suka memiliki wali kelas laki-laki.
“Sudah, lah, Ze. Tugas kalian itu sama, kok. Kalian sama-sama bertugas buat jaga kelas ini,” kata Pak Zul memeberi nasihat.
“Tapi, Pak... Mending saya nggak jadi apa-apa, deh,” putus Zea, prustasi.
“Nah, mantap, tuh. Nggak jadi manusia juga,” sambar Alva, lalu ia tertawa puas.
“Keputusan bapak tidak dapat di ganggu gugat! Oh iya, yang jadi sekertaris kamu Milki. Dan yang jadi bendahara kamu Diki.”
“HAH? SAYA PAK?” tanya Diki langsung kaget di tempatnya.
“Pak... Jangan Diki.” Sabas memohon dengan menyatukan kedua tangannya di depan dada.
“Loh, kenapa Sabas? Dia teman kamu, kan?” tanya pak Zul.
“Teman sih teman, Pak. Tapi dia perhitungannya nauzubillah...” Sabas menggeleng sambil memegangi kepalanya sendiri.
“Setuju, Pak! Nggak usah Diki. Bisa-bisa, habis uang jajan gue,” kata Wildan ikut-ikutan menolak Diki.
“Keputusan bapak tidak dapat di ganggu gugat. Sekian dan terima kasih! Bapak keluar dulu,” kata Pak Zul dan pergi dari kelas.
“Buset, dah... Itu wali kelas kayak paham aja sama sipat-sipat muridnya. Si pelit kayak Diki di jadiin bendahara,” kata Sabas di angguki Wildan yang duduk di sebelahnya.
~I hate you~
“Gue nggak mau jadi wakil Alvanjing itu!!!”
Sejak tadi, ntah sudah berapa kali kalimat itu keluar dari mulut Zea. Bahkan, telinga teman-temannya sudah ingin meledak mendengarnya. Bahkan sekarang, di saat mereka tengah duduk di meja kantin pun, kalimat itu yang terus keluar dari mulut kecil itu.
“Ya kalau lo nggak mau, kita harus goyang dumang gitu?” tanya Pina, sama sekali tidak nyambung.
“Atau goyang itik ala Zaskia gotik?” tambah Rizka. Lalu kedua orang itu tertawa terbahak-bahak, membuat wajah kesal Zea jadi bertambah berkali-kali lipat.
Sementara Milki hanya menggeleng melihat kelakukan kedua temannya itu. “Lo terima aja, Ze. Lagian pak Zul nggak akan terima kalau pun lo nolak,” kata Milki, mencoba memberi nasihat.
“Ya tapi, Milki... auh!”
Kalimat Zea terpaksa terputus karena sebuah karet mengenai jidatnya. Dia membulatkan matanya sempurna, jantungnya juga berdetak dengan cepat. Bukan karena terpana jatuh cinta, tapi Zea takut karet itu hampir mengenai matanya.
Dia menatap ke arah sang pelaku yang melambai-lambai dari tempat duduknya dengan sumringah. Ingin rasanya Zea menampar wajah sok imut itu dengan telapak sepatunya.
“Hello Zelalatan!”
-----
Udah bisa tebak itu ulah siapa, nggak?
Jangan lupa kasih bintang dan juga kasih saran ya bestie 😊

KAMU SEDANG MEMBACA
I HATE YOU
Novela JuvenilI Hate You. Tiga kata, delapan huruf, dan satu arti. Sesimple itu di ucapkan, namun semenyakitkan itu di dengar. Tapi tidak bagi Zea dan Alva. Kata-kata itu seperti sudah biasa untuk keduanya. Biasa untuk di lontarkan, dan biasa untuk di dengar. "Ap...