Alva suka Zea?

30 23 11
                                        

"Hari ini perasaan itu mungkin belum bisa menjelaskan maksudnya, tetapi mungkin nanti bisa. Bisa menjelaskan seberapa aku sangat mencintai kamu."

~I Hate You~

Ting!

Milki yang sedang mencatat absen di bangkunya, merogoh hp di saku kemeja sekolahnya saat ada notifikasi masuk. Dia mengernyit, saat melihat pesan yang ternyata adalah dari Zea.

Zea Clar
||Gue izin nggak masuk, kaki gue terkilir.

Lah, kok bisa?

||Kepeleset di kamar mandi.


Milki menutup ponselnya, lalu menghadap ke belakang, tepatnya ke bangku Rizka dan Pina. "Milki, nggak masuk," kata Pina, memberitahu kedua temannya.

Rizka yang sedang membenarkan lipstiknya, menoleh. "Kenapa?" tanyanya.

"Terkilir."

"Lah, kok sabi?" tanya Pina, yang tadi sedang sibuk mengukir garis matannya dengan eyeliner.

"Katanya kepeleset di kamar mandi," jelas Milki.

"Yah..." terdengar nada sedih dari keduanya, tapi setelahnya mereka sibuk dengan kegiatan mereka yang sempat terhenti tadi.

Milki hanya menggeleng melihat kelakuan kedua temannya. Setiap hari kerjaan mereka hanya seperti itu, salon dadakan di kelas. Milki jadi merasa sepi tidak ada Zea, biasanya gadis itu paling berisik di sini. Tidak ada kegiatannya yang lain selain mengoceh. Tapi hari ini gadis itu tidak hadir.

Milki balik membenarkan duduknya, lalu melanjutkan pekerjaannya tadi untuk mengisi absen. "Cuman Zea yang nggak hadir hari ini," katanya, melihat buku absen.

"Eh, Mil!"

Milki mengangkat pandangannya, melihat orang yang baru saja memanggilnya. "Kenapa, Al?" tanya Milki, saat Alva berdiri tepat di depan mejanya.

"Nenek lampir kemana?" tanya Alva.

"Zea?"

Alva mengangguk.

"Kakinya lagi sakit, makanya nggak masuk."

"Emang kenapa kakinya?" tanya Alva, kepo.

"Wah...wah...ada apa gerangan, nih, Al, sampai lo tanya-tanya Zea?" Rizka menatap curiga Alva.

"Jangan-jangan..." Pina juga ikut-ikutan menatap Alva memicing.

"LO SUKA ZEA?" tanya Rizka dan Pina bersamaan, membuat perhatian orang di kelas jadi mengarah pada Alva.

"Jangan sembarangan ngomong, lo, berdua! Nggak mungkin gue suka sama, tuh, nenek lampir!" sangkal Alva.

"Nggak mungkin apa nggak mungkin?" goda Rizka dengan tertawa geli bersama Pina.

Sementara Milki, dia hanya menghembuskan napas berat melihat kelakuan Alva dan kedua temannya. Biasanya Zea, tetapi nggak ada gadis itu, malah Rizka dan Pina.

"Sinting lo berdua! Jadi ketularan Zea lo!" ujar Alva, berjalan pergi kebangkunya.

"AWAS LOH, AL! BIASANYA KALAU UDAH NYARI-NYARI GITU, PASTI ADA RASA RINDU DI BALIKNYA. DAN DARI RASA RINDU ITU PASTI AKAN ADA CINTA YANG TUMBUH," teriak Pina menggema di kelas 11 IPS1 yang memang masih belum ada guru.

Alva mengabaikan teriakan Pina. Ia memilih duduk di bangkunya bersama Diki yang hari ini duduk di sebelahnya. 

"Kenapa, lo, Al? Kecut banget, tuh, muka?" tanya Diki.

"Kagak ada Ayang Zea," Sabas menyambar, menggantikan Alva menjawab.

"Ayang Zea emang kemana? Kan babang Alva jadi lemes," ujar Wildan sambil tertawa.

"Lemes karena nggak ada ayang." Diki ikut menggoda dan tertawa.

Alva hanya menatap malas ketiga temannya, lalu ia menidurkan kepalanya di atas tasnya. Sepertinya ia akan menghabiskan waktu untuk tidur saja hari ini. Tidak ada semangat rasanya untuk mengikuti pelajaran.

"Katanya benci, tapi orangnya nggak ada, eh tenaga hilang," sindir Sabas, yang di abaikan Alva.

"Benci maksudnya benar-benar cinta kali," ucap Wildan, lalu mereka tertawa.

"Berisik lo bertiga!"

~I Hate You

"Zea?"

Zea yang sedang duduk dan bersandar di headboard, menoleh ke arah pintu kamar, yang dimana Mamanya sedang berdiri di sana.

"Gimana, kaki kamu masih sakit?" tanya Rina Yuningsih—Mama Zea, sambil berjalan mendekati Zea

Zea menggeleng. "Cuman sakit sedikit lagi kok, Ma," jawab Zea.

Rina mengangguk. "Oh iya, sayang. Mama ada arisan, kamu nggak papa mama tinggal?" tanya wanita paruh baya berambut sebahu itu.

"Nggak papa kok, Ma. Pergi aja."

"Beneran?"

Zea tersenyum. "Iya. Lagian Zea juga udah nggak papa," kata Zea meyakinkan Mamanya.

Rina mengangguk dan mengusap rambut putrinya. "Ya udah, mama berangkat dulu, ya?" pamit Rina, mencium kening putri pertamanya.

"Hati-hati di jalan, Ma!" seru Zea, melambaikan tangannya.

Zea menghembuskan napas berat. Rumahnya jadi sepi sekarang. Papanya sedang pergi ke kantor, Mamanya baru saja pergi arisan, adik perempuannya masih berada di sekolah. Zea memutuskan mengambil laptop dengan melangkah pelan ke arah meja belajar, lalu ia balik ke tempat tidurnya. Dia berencana menghabiskan waktu untuk nonton drakor saja hari ini.

Tet...tet...tet...

Zea tersentak, saat bel rumahnya berbunyi. "Siapa, sih, yang datang pagi-pagi gini?" gerutu Zea. Dia melihat jam di ponselnya yang berada di atas kasurnya, "what? Udah setengah dua?" Zea kaget.

Dia bangkit berdiri, keluar dari kamar dan turun ke bawah untuk melihat siapa orang yang membunyikan bel itu. "Awas aja kalau sampai Zia yang ngerjain gue," ujar Zea kesal. Dia berjalan dengan susah payah karena kakinya masih sakit.

Tet...tet...tet...

"Ya Allah, nggak sabaran banget, sih," gerutu Zea. Dia mempercepat sedikit langkahnya, mengakibatkan dia hampir saja terjatuh. "Selamat gue," katanya, mengusap dadanya.

Zea kaget nauzubillah, saat membuka pintu dan melihat siapa yang tengah berdiri di depan pagar rumahnya. Dia membulatkan matanya sempurna, tubuhnya juga jadi kaku.

Astaga!!!!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"WOY ZEA! NGAPAIN LO MALAH NGELAMUN?! BUKAIN WOY! PANAS!"

Zea berdecak dan berjalan super cepat, walau berulang-ulang ia hampir jatuh. Tetapi dia tidak mempedulikan kakinya yang sakit lagi. Ini tidak bisa di biarkan.

Tidak bisa!!!

"Lo pada ngapain di sini?" tanya Zea dengan suara panik, sambil membuka cepat pintu gerbangnya.

"Lah, emang kenapa? Nggak boleh?"

"Nggak boleh!"

-----

Next ?

I HATE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang