I Hate You.
Tiga kata, delapan huruf, dan satu arti. Sesimple itu di ucapkan, namun semenyakitkan itu di dengar.
Tapi tidak bagi Zea dan Alva. Kata-kata itu seperti sudah biasa untuk keduanya. Biasa untuk di lontarkan, dan biasa untuk di dengar.
"Ap...
Cinta itu teka-teki. Nggak ada yang tau kapan datang, bersatu, dan pergi. Jadi tunggu aja, pasti akan ada waktunya tanpa harus mencari.
~I Hate You~
"Ma, Pa? Alva pamit, ya. Nanti Alva sarapan di sekolah aja," kata Alva, di saat ia ingin mengambil kunci mobilnya di atas meja hias ruang tamu.
"Jangan bawa mobil!" titah Renata, membuat tangan Alva jadi mengambang di udara.
Alva berdiri tegap dengan alis yang mengernyit. "Kenapa, Ma?"
Renata menatap Alva dengan dingin. "Itu hukuman buat kamu karena kesalahan kamu semalam," katanya.
Alva berdecak. Semalam ia habis kena omel Mamanya karena kesalahan yang bukan salahnya sepenuhnya. Zea tukang ngadu itu menambah-nambahkan cerita kepada Mamanya. "Ya udah, Alva bawa motor aja," pasrah Alva, bergegas naik keatas mengambil kunci motor di kamarnya.
"Kamu juga nggak boleh bawa motor!" Kinj Delvin—Papanya yang tadi menikmati sarapannya ikut angkat suara, membuat langkah Alva terhenti.
Alva menggeleng, menatap kedua orangtuanya tidak habis pikir. "Terus kalau Alva nggak naik mobil, nggak bawa motor, Alva naik apa?" tanya Alva, tetapi kedua orangtuanya malah tak acuh padanya.
"Okey, fine! Alva jalan kaki aja ke sekolah," ujar Alva, kesal. Dia berjalan keluar dari rumahnya dengan langkah kaki cepat, menahan rasa kesalnya.
Sementara Renata dan Delvin, hanya menatap kepergian Alva dengan sedikit rasa kasian. "Kayaknya Alva marah, Ma," kata Delvin, menatap istrinya.
Renata mengangguk. "Tapi biar, deh, Pa. Biar Alva jangan kayak gitu lagi," katanya, di balas anggukan oleh Delvin.
Alva berdiri di teras rumahnya, menatap kesal ke arah balkon kamar rumah tetangganya yang langsung berhadapan ke depan rumahnya. Ingin sekali rasanya Alva masuk ke dalam kamar itu dan adu gelud dengan sang pemilik kamar itu, tetapi nyatanya Alva hanya bisa menahan rasa kesalnya.
Dia berjalan keluar, membuka gerbang rumahnya. Lagi dan lagi, ternyata ia bersamaan keluar dengan orang yang membuatnya kesal.
"Eh, tetangga!" sapa nya sok ramah dengan senyuman sumringahnya.
Alva menatap jengkel Zea, dalang dari semua masalahnya.
"Kenapa, tuh, muka? Kusut amat kayak pakaian yang belum di setrika," ujar Zea, terkekeh geli.
"Bacot, lo!" kesal Alva, bergegas berjalan pergi.
"Eh, eh! Mobil lo mana?" tanya Zea kepo.
Alva berdecak. Dia berjalan mendekati Zea. "Lo tanya mobil gue dimana?" tanya Alva, yang di balas anggukan oleh Zea. "Gue nggak di bolehin bawa mobil, motor, kesekolah. Puas lo sekarang, kan?!" jelas Alva dengan beribu rasa kesalnya.
1
2
3
"Bhahahaha!!!" tawa Zea menggelegar. "Demi apa?!" tanyanya, masih dengan tawanya. Bahkan gadis itu memegang perutnya, kesakitan akibat tertawa
"Nggak usah ketawa, lo! Semua karena lo tau nggak!" kesal Alva.
Zea memberhentikan tawanya. "Makanya Alvanjing, jangan main-main sama gue!" kata Zea, tersenyum licik.
"Aduh... Kalian ini kebiasaan banget pagi-pagi ribut!" Rina yang memang tadi sedang menyiram tanaman, menghampiri Alva dan Zea.
"Maaf, Tante," kata Alva, merasa tidak enak. Tetapi pandangannya malah menatap Zea sengit.
"Kamu mau berangkat sekolah, Al?" tanya Rina, yang di balas dengan anggukan oleh Alva. "Terus mobil kamu mana?" tanyanya, tidak melihat adanya kendaraan Alva di depan rumah lelaki itu.
"Alva di hukum nggak boleh bawa kendaraan sama Mama, Tan."
"Loh, kenapa?"
"Ada yang ngadu sama mama. Udah gitu yang di adukan malah aduan palsu," jawab Alva, sambil melirik Zea yang juga menatap Alva tajam.
Rina melirik Zea dan Alva bergantian. Dia tau, pasti semua ulah Zea, putri pertamanya itu. "Kalau gitu kamu berangkat bareng Zea aja, Al."
"Ze! Mama tau ini pasti ulah kamu," tebak Rina tepat sasaran. Wanita berambut sebahu dengan mengenakan daster modern ala rumahan itu menatap Zea dengan melotot.
"Apaan, sih, Ma. Kok jadi salah Zea?!"
"Udah. Mama nggak terima penolakan. Yang penting kamu berangkat sama Alva," putus Rina, membuat Alva tersenyum kemenangan.
"Tapi Ma, nanti mobil Zea kena virus Alvacron!"
"Mana ada virus gitu, Zea!"
"Ada!" balas Zea tidak mau kalah.
"Udah-udah! Pokoknya kalian berangkat bareng," putus Rina tidak terbantah. "Masuk, Al. Nggak usah di dengerin Zea-nya!"
"Siap, Tante!" kata Alva sumringah, lalu ia salim ke Rina dan segera masuk kedalam mobil Zea, duduk dibangku samping pengemudi.
Zea berdecak. Lalu ia ikut masuk ke mobilnya. "Lo!!!" Zea menunjuk Alva.
"Apa?" balas Alva, mengangkat sebelah alisnya.
Zea mengepalkan tangannya di depan wajah Alva. "Lelaki menyebalkan yang pernah gue kenal, tau nggak! Benci gue sama lo!"
Alva tersenyum miring. Lalu ia mendekatkan tubuhnya ke arah Zea, membisikkan kalimat tepat di samping telinga Zea. "Tenang aja, perasaan benci lo gue balas kok. Jadi nggak perlu khawatir lo benci sendirian," ucapnya, lalu kembali duduk dengan benar.
Zea menatap wajah Alva dari samping. Ingin sekali Zea mendorong wajah tengil itu ke pintu mobilnya dengan keras. Menjambak rambut hitam yang setiap hari berantakan. Mencolok mata lelaki itu yang selalu memandangnya dengan tatapan sengitnya. Tetapi semua keinginan itu hanya bisa Zea tahan, karena dia bukan psikopat yang bisa melakukan seperti itu.
"Lo mau menatap wajah ganteng gue terus atau berangkat sekolah?" tanya Alva tanpa menoleh.
Zea mendesis. "Najis!" lalu dia melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumahnya menuju sekolahnya dengan kecepatan diatas rata-rata.
"Woy, Zelalatan! Lo kalau mau mati jangan ngajak-ngajak gue!"
~I Hate You~
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.