-01

8 2 8
                                    

"Selesai."

Novel yang sudah selesai dibaca itu Biru letakkan di sebelahnya. Dia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Sejak 30 menit lalu dia membaca novel yang tebalnya mencapai 400 halaman. Tentu saja novel ini tidak habis dibaca dalam waktu sesingkat itu, dia sudah membaca setengahnya sejak dua hari lalu.

Sejenak pandangan Biru jatuh pada cokelat panas di atas meja. Tangannya bergerak mengambil cangkir putih tersebut dan meminum minuman yang menjadi favoritnya.

Membaca novel ditemani segelas cokelat panas adalah kegiatan yang sering Biru lakukan. Dia menghabiskan sore harinya di belakang rumah yang kini disulap menjadi taman mini dan tempat bersantai. Orang tua Biru membelikan satu set kursi kayu dan meja khusus untuk anak semata wayangnya. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah bermacam-macam tanaman. Biru tidak mau tahu jenis tanaman apa saja yang ada, yang penting dia merasa nyaman di sini.

Biru adalah anak tunggal yang sedari kecil sering ditinggal bekerja oleh kedua orangtuanya. Ayah biru memiliki sebuah toko sembako yang cukup besar, sedangkan ibunya bekerja di bank. Biru terbiasa sendiri, tanpa ada siapapun yang menemani. Baginya, selagi dia masih bisa membaca novel, komik, atau menonton anime maka itu sudah cukup. Dia tak perlu banyak bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Jika dengan sendiri saja sudah merasa bahagia, lantas mengapa dia harus berinteraksi dengan banyak orang?

Teman sekelasnya bilang kalau hidup Biru sangat monoton. Pagi berangkat sekolah, sorenya pulang, lalu berdiam diri di rumah hingga pagi lagi. Biru memang jarang ke luar rumah jika tidak penting-penting sekali. Begitu pulang sekolahpun dia bergegas balik ke rumah, andai ada teman yang mengajak bermain pasti langsung Biru tolak. Berada di rumah jauh lebih baik, begitu pikirnya.

Sadar sudah pukul setengah enam, Biru berniat kembali ke kamarnya. Dia tidak lupa membawa novel dan gelas ke dalam. Ada satu kebiasaan Biru sebelum meletakkan novelnya ke dalam lemari, yaitu mengecek keberadaan pembatas novel. Dia tidak mau pembatasnya sampai hilang.

Biru segera kembali ke taman untuk mencari benda tersebut. Begitu sampai Biru dikagetkan dengan kehadiran perempuan yang berada lima meter di depannya. Dia tidak bisa melihat wajah perempuan tersebut karena tubuhnya membelakangi sinar matahari.

"Siapa kamu? Maling ya?" Biru refleks mundur satu langkah. Dia menoleh kanan kiri untuk mencari sesuatu, diambilnya cangkul yang berada tak jauh.

"Eh aku bukan maling!" Perempuan itu mendekat, Biru semakin bergerak mundur.

"Pasti pembunuh? Iya kan?"

Gadis itu melotot dan menggeleng. "Enak saja, aku ini bukan maling apalagi pembunuh!"

"Bukannya kamu yang pembunuh? Segala cangkul dipegang!" Dia kembali berseru sambil merengut.

Kini giliran Biru yang melotot tak terima.

"Ini namanya jaga-jaga kalau kamu menyerang aku," kata Biru tanpa mau melepaskan cangkul dari tangannya.

Gadis yang mengenakan gaun putih selutut itu tampak menghela nafas.

"Turunkan cangkulmu dan bicaralah baik-baik denganku," katanya yang membuat Biru perlahan menurunkan cangkulnya.

Mulanya Biru langsung mencecar banyak pertanyaan, tapi gadis itu meminta untuk duduk di kursi kayu agar bisa mengobrol dengan santai. Biru pun menuruti permintaannya, dia tak mau berdebat lebih lama lagi.

"Jadi sebenarnya kamu ini siapa?" tanya Biru masih disertai rasa takut.

"Namaku Sea, aku ini ... Ya manusia sama sepertimu."

Biru membuang napas kasar. Jawaban yang diberikan Sea hampir membuatnya tersulut emosi.

"Aku juga tahu, tapi masalahnya kenapa kamu bisa ada di rumahku? Jalan mana yang kamu lewati sampai bisa ada di sini?"

Biru yakin gadis bernama Sea ini tidak mungkin masuk melalui depan, pasalnya dia telah mengunci pintu sehingga siapapun tidak bisa masuk kecuali orang tuanya-karena mereka punya kunci cadangan. Di taman ini memang ada pintu yang langsung mengarah ke jalan, tapi tidak mungkin juga karena pintu tersebut telah dikunci. Sea mustahil memanjat tembok yang sangat tinggi itu, kalaupun bisa pasti dia sudah ketahuan orang-orang.

"Sepertinya aku menggunakan portal sampai akhirnya sampai di sini. Beberapa menit lalu aku berada di rumah, dan sekarang aku berada di rumahmu. Bukankah aku melalui portal untuk berpindah tempat." Suara Sea agak memelan di akhir kalimat, dia khawatir ditertawakan oleh cowok di depannya.

"Portal yang ada di cerita-cerita fantasi maksudmu?" tanya Biru.

Sea mengangguk dibarengi perasaan lega karena ternyata Biru tidak menertawakannya. Bagaimanapun sulit untuk memercayai hal ini.

"Lalu dari banyaknya tempat, kenapa kamu memilih rumahku?" Biru bertanya lagi.

"Karena tujuanku memang bertemu denganmu."

***

Temporer bakal update lebih sering!

[100622]

Temporer | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang