Biru kira Sea benar-benar pergi selamanya dan tak akan datang lagi seperti keinginannya, tapi dia salah besar! Besok sorenya Sea berkunjung dengan wajah ceria yang mampu menghadirkan wajah masam Biru.
"Kenapa ke sini lagi?" tanyanya gemas. Dia sudah senang Sea pergi, karena berarti dia punya banyak waktu sendiri.
Sea duduk di ujung kasur Biru sembari cengar-cengir, sama sekali tak merasa bersalah sebab telah mengusik waktu Biru.
"Kalau di rumah tidak ada yang bisa diajak bicara—entah mengapa mereka seakan-akan mengabaikan aku, tapi kalau di sini kan ada kamu yang bisa kuajak ngobrol," ujarnya senang.
"Memangnya aku mau ngobrol sama kamu?" sinis Biru.
Sea berdecak sebal. "Kamu ini terlalu jahat padaku."
Biru tak menjawab, tidak begitu penting untuk ditanggapi.
"Kamu ini harus banyak bersosialisasi dengan banyak orang, Biru." Sea membuka topik baru.
"Buat apa? Itu tidak penting dan hanya membuang waktu saja," ketusnya.
Sea menghela napas panjang, berbicara dengan Biru memang membutuhkan banyak kesabaran dan tidak boleh baper! Biru hobi sekali berkata ketus yang mungkin saja bisa melukai hati seseorang yang bicara padanya.
"Kata siapa tidak penting? Itu penting tahu, karena—"
"Tidak sadarkah kamu kalau semakin sering berinteraksi dengan banyak orang maka kemungkinan sakit hatinya besar?" Kedua remaja tersebut berpandangan, yang satu memberi tatapan sinis, yang satu lagi dengan sorot sayu dan sedih.
"Ada seseorang yang membuatmu sakit hati, Ru?" Biru segera mengalihkan pandangan ketika Sea melontarkan pertanyaan itu.
"Ya," jawabnya singkat.
"Aku tidak tahu kenapa orang-orang bisa berkata seperti itu tanpa berpikir dahulu, maksudku apa mereka tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya?" Biru bertanya keheranan.
Sudah lama Biru ingin menanyakan hal ini, hanya saja dia tidak tahu pada siapa. Dia tidak punya teman dekat yang bisa dijadikan tempat bercerita.
"Jadi itu alasan kamu tidak mau berinteraksi?" Pertanyaan Sea dijawab anggukan oleh Biru.
"Kalau kamu bisa berpikir sejauh itu, lantas kenapa kamu sendiri sering melontarkan kalimat sinis? Bukankah itu sama saja?"
"Sengaja."
"Agar orang-orang tidak mau mengobrol lebih banyak denganmu?" tanya Sea lagi.
"Ya."
"Kalau kamu tahu kalimat seseorang bisa melukai hati orang lain, kenapa kamu juga melakukan hal yang sama? Ketika tahu itu tidak mengenakkan, kenapa kamu memberi luka yang sama? Kenapa?" Sea memandang Biru tanpa berniat mengalihkannya. Dia ingin melihat reaksi yang diberikan Biru.
Cowok itu berdecak, merasa terpojok dengan rentetan pertanyaan Sea.
"Berinteraksi dengan banyak orang tidak seburuk yang kamu kira. Mungkin ada seseorang yang melukai hatimu, tapi tidak berarti semua orang seperti itu. Percayalah padaku." Perkataan Sea yang tulus mampu memberikan efek lain dari Biru. Cowok itu tersenyum tipis pada Sea secara terang-terangan untuk pertama kali.
Percayalah padaku, pertama kalinya ada seseorang yang berkata demikian padaku. Sungguh menyejukkan dan mengesankan. Batin Biru berbicara.
"Biru, apa kamu masih sakit hati karena mereka?" Sea bertanya pelan dan sangat hati-hati.
Biru menautkan alisnya, agak bingung dengan pertanyaan Sea. Ragu-ragu dia menggeleng, tapi sedetik kemudian dia mengangguk.
"Entahlah, ucapan guruku sangat membekas. Meski terdengar seperti candaan, tapi itu cukup membuatku kepikiran," keluh Biru. Untuk pertama kalinya juga Biru menunjukkan ekspresi masygul.
"Memang dia bilang apa?"
"Nilai bahasa Indonesiaku buruk, dan guruku selalu berkata orang Indonesia masa nilai bahasa Indonesianya jelek, dia bilang dengan lantang dan sontak saja murid yang lain tertawa. Aku merasa dipermalukan saat itu juga."
Masih teringat jelas di ingatan Biru bagaimana teman kelasnya tertawa di saat dia mati-matian menahan diri untuk tidak meluapkan emosi. Biru akui nilai bahasa Indonesianya jelek, tapi bukan berarti orang lain bisa sebebas itu menertawakannya. Biru sendiri tidak paham kenapa nilainya bisa jelek, padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin.
"Mau aku bantu agar nilaimu membaik?" Sea menawarkan bantuan.
"Memangnya kamu bisa?" Biru sedikit meragukan Sea, padahal tanpa dia tahu kalau Sea mahir tentang mata pelajaran satu ini. Sea juga sering mengikuti olimpiade bahasa Indonesia dan beberapa kali keluar menjadi juara.
"Wah meremehkan sekali." Sea berujar tak terima.
"Bukan begitu maksudku, banyak orang yang hanya sekadar pintar untuk pribadi saja, tapi jika disuruh menjelaskan dia kesulitan," terang Biru tanpa berniat meremehkan.
Sea ber-oh saja, dugaannya ternyata salah. Dia bangkit dari tempat duduknya untuk memulai pelajaran.
"Ayo Yang mulia introver Biru, mari kita belajar bahasa Indonesia!" serunya bersemangat.
"Baik Baginda ratu ekstover." Biru meniru Sea dengan nada mengejek.
***
Nggak menutup kemungkinan di tengah cerita ini ada plot hole, bakal aku revisi tapi setelah tamat haha.
[250622]
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporer | Tamat
Fantasi。°˖ ✧ ១ 𔘓⠀࣪. ᨳ Sea kembali ke tahun 2020 untuk menemui Biru. Keduanya menghabiskan waktu bersama selama beberapa hari, sampai akhirnya Sea harus balik ke 2022 untuk selamanya. Mereka berjanji untuk bertemu lagi di tahun 2022. Akankah janji itu te...