"Maaf"
Begitulah isi kartu ucapan itu. Satu kata yang ditulis besar-besar.
Gadis itu merebahkan diri di atas kasur, lelah. Tiap kali berdebat dengan kedua orang tuanya, Ia merasa ingin pergi jauh, meninggalkan rumah, kesehariannya, bahkan meninggalkan sosok Eliana dengan segala citra indahnya.
Ia membuka ponselnya, menekan beberapa tombol hingga terhubung dengan seseorang.
"Ada yang bisa Saya bantu?" gadis itu tersenyum begitu mendengar suara di seberang ponsel.
"Gunung atau pantai?" tanya Eliana.
"Pantai" jawabnya tanpa mengulur waktu.
"Ok! Bulan ini kemah di pantai!" ucap Eliana tidak bisa menahan gairahnya.
"Baik, Nona" jawabnya singkat seakan sudah mengerti.
Usai menyatakan keperluannya, gadis itu memutus sambungan telfon dan larut dengan novelnya.
Tidak ada yang berubah setelah kencan butanya bersama Julian. Kedua orang tua gadis itu tetap membuat janji temu, Eliana menghadiri kencan buta, lalu diakhiri dengan akhir yang sama sampai sabtu terakhir.
Hari yang ditunggu-tunggu selama satu bulan penuh. Hari yang membuat gadis itu bergairah dengan perasaan yang tenang dan nyaman.
Gadis itu berlari di sepanjang bibir pantai, menyapu pasir dengan kaki telanjang, sesekali berhenti membentuk pola di atas pasir menggunakan ranting.
Langkahnya terhenti di dekat tebing, Ia menatap sepasang Pria dan Wanita yang sedang berusaha memanjat mencapai puncak, berfoto dengan tongkat, kemudian turun dengan aman.
Melihat itu membuatnya penasaran. Gadis itu memanjat dengan langkah yang sama. Menginjak batu demi batu sesuai ingatannya. Tidak sabar mencapai puncak untuk menikmati hembusan angin dan melihat deburan ombak yang luas.
Baru setengah jalan, lengannya digenggam. Ia menoleh, bertemu netra dengan sosok itu.
"Nona.. bahaya" ucapnya.
Suaranya terdengar tegas dan jelas, netranya memohon, mimiknya penuh rasa khawatir.
Tanpa mengatakan apapun, Eliana turun. Membiarkan sosok itu menggenggam lengannya, menuntunnya sampai kaki kembali berpijak pada pasir.
Pria itu menatap kaki telanjang sang gadis, memeriksanya dengan seksama sebelum menghela napas panjang begitu tidak menemukan luka.
Eliana tersenyum simpul dan merentangkan tangannya, "Gio.. gendong".
Sergio tidak mengelak, Ia berbalik, membiarkan gadis itu bersandar di punggungnya.
"El mau foto di sana" ucap gadis itu setelah menemukan posisi ternyamannya.
"Besok Saya siapkan" ucapnya.
"Foto sama Gio"
"Iyaa" jawabnya Sergio yang mulai mengurangi formalitasnya.
Sergio menurunkan gadis itu di depan tenda dan membiarkan gadis itu duduk di kursi kemah.
Alih-alih berdiam diri, gadis itu membuka kotak makanan, mengeluarkan roti, selai, dan mentega serta menyalakan kompor.
Selagi sibuk mengoleskan mentega dan selai, Sergio sudah siap dengan peralatan memanggang.
Kerja sama keduanya bisa dibilang sangat baik, Eliana menyiapkan empat pasang roti dan Sergio bertugas memanggang.
"Gio suka Point?" tanya gadis itu selagi menunggu.
"Tidak" jawabnya singkat.
"Tapi, kemarin nonton konsernya?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMBIRU
RomanceEliana berencana menyimpan perasaannya hingga akhir, tapi keadaan memaksanya untuk mengungkapkan bahkan memaksa untuk dilepaskan. Di tengah kekalutan hati, Julian hadir. Ia berusaha mengambil alih perhatian gadis itu. Membuat Eliana luluh dengan car...