17: Tak Kasat Mata

5 1 0
                                    

Dengan ego yang melekat pada diri, hubungan antar manusia tidaklah mudah. Pertikaian, beda pendapat, dan kebiasaan yang berbeda bisa menjadi pemicu.

Aku tidak tahu hubungan Sergio dan kekasihnya sudah berlangsung sejak kapan atau bertahan sejauh mana. Sudah berapa banyak gelombang ego yang mereka lalui bersama, ada berapa banyak ego yang dibiarkan menguap, dan berapa ego yang tertahan menjadi gumpalan dendam.

Akan ada saatnya mereka merasa lelah, marah, bahkan benci. Awalnya saling mengerti, semakin lama semakin dipenuhi keluh hingga gumpalan itu memaksa diri untuk dimuntahkan. Kemudian, muntahan itu menjadi pemantik pertikaian. Membiarkan ego mengambil alih diri mereka masing-masing, lalu tanpa sadar mengucap perpisahan.

Di sini, Aku dengan egoku berharap mereka akan melalui itu. Begitu sulit sampai genggaman itu lepas, pandangan teralihkan, tutur kata terabaikan, serta hati yang koma akibat tidak mampu lagi menampung goresan luka. Sampai keduanya tidak sanggup lagi bertahan. Aku harap.
- Eliana

Gadis itu sedang duduk di perpustakaan menatap terik matahari yang menusuk benda di luar sana. Itu adalah alasannya duduk di perpustakaan, di bawah penyejuk ruangan dengan novel ditangann dan ponsel di sisi kiri, mendinginkan diri.

Sejak lima belas menit lalu gadis itu kehilangan minat membaca. Ia gelisah akibat menunggu pesan balasan yang tidak kunjung datang.

Harusnya Ia tidak perlu gelisah, janji adalah janji. Tawaran itu sudah terlanjur terucap dan Pria itu tidak punya alasan untuk menolak permintaannya.

Pukul dua belas lewat lima menit, ponselnya bergetar tanda pesan masuk. Ia membuka ponsel, melihat nama pengirim, lalu menghela napas panjang.

"Pukul 4 sore di cafe hijau" begitu isi pesan balasan itu. Pesan yang hanya dijawab dua huruf oleh Eliana, 'Ok'.

Jemarinya yang gesit membuka ruang obrolan lain dan menuliskan pesan pada Sergio, "El harus diskusi kelompok, mungkin selesai pukul 7 malam".

Setelah merasa tenang, gadis itu kembali membuka halaman yang ditandai, mulai membaca susunan kata demi mengikis waktu.

Kegiatan perkuliahan usai, Ia sampai lebih awal di Cafe Hijau. Dengan pemandangan dan suasana berbeda, Ia kembali sibuk dengan novelnya. Lagi, membaca, membaca, dan membaca.

Tanpa menoleh, gadis itu menutup novel begitu merasa diperhatikan. Ia memasukkan bukunya ke dalam tas dan beralih pada Pria yang sudah duduk di depannya, entah sejak kapan.

"Kenapa ngga menegurku?" tanyanya.

Pria itu tersenyum, "Aku ngga mau ganggu" jawabnya.

Bagaimana bisa Pria itu mengganggu seorang Gadis yang terlihat sedang menikmati hidupnya. Gadis itu terlalu larut sampai mengabaikan sekelilingnya, membiarkan tulisan itu membawanya lari dari semesta ini untuk bersenang-senang dalam semesta ciptaan sang penulis.

"Bagaimana kabarmu?" tanya sang Pria.

Gadis itu menangkap netranya, "Ngga perlu basa-basi" ucapnya ketus.

Pria itu melipat kedua tangan di depan dada, kemudian menyandarkan tubuh pada sandaran kursi.

Ia mengeluarkan ponsel dari saku, kemudian mengarahkannya pada sang Putri.

Sang Putri menerima dan membaca perlahan. Ada empat poin yang diberi garis bawah oleh sang Putri, nama Vanessa Diamora, usia sama dengan Sergio, 24 tahun, bekerja sebagai dokter gigi, telah menjabat sebagai ketua komunitas jersey merah selama tiga tahun.

Usai membaca empat poin utama, netranya bergerak membaca keterangan pada poin terakhir. Keterangan berisi lokasi dan jadwal komunitas itu berkumpul.

Sang Putri bangkit dari duduknya, "Terima kasih" ucapnya sebelum melenggang pergi.

MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang