29: Badai Sepertiga Malam

4 2 0
                                    

Sejak empat hari yang lalu, Julian punya kebiasaan baru sebelum tidur. Membuka aplikasi cctv yang tersambung dengan Cafe Hijau, lalu menatap punggung gadis yang sejak empat hari lalu tidak berpindah tempat barang satu jengkal.

Gadis yang membuat cafe miliknya ditutup selama satu minggu penuh dan terpaksa memindahkan beberapa karyawannya dicabang lain untuk sementara waktu.

Selama dua hari terakhir pula, orang tuanya menghubungi. Dengan suara terisak, lelah, dan khawatir. Memohon untuk diberikan petunjuk atau sekedar meminta Julian kembali demi membantu pencarian.

Jauh dalam dirinya, Ia ingin melakukan itu. Kembali, menghampiri gadis itu, mendekapnya, mengatakan padanya kalau Ia tidak sendiri, kalau Ia di sana, bersamanya.

Kalimat-kalimat yang dituturkan pada gadis itu, bila sudah waktunya Ia lelah atau muak, katakan pada Julian dan Ia akan menjadi pendengar yang baik. Sayangnya, gadis itu belum menghubungi Julian.

Julian bisa saja membeli tiket, lalu terbang menghampiri gadis itu. Tapi, ingatan tentang ikut campur orang tuanya membuatnya ciut. Kalau Ia pergi, artinya rencana mereka berhasil. Artinya, Julian kalah di meda perang.

Di larut malam yang sunyi itu, pikirannya lagi-lagi kalut. Berbanding terbalik dengan suasana malam yang dingin dan nyaman, kepalanya pening dan panas. Belum lagi suara nyaring dering ponsel, yang tiba-tiba membuyarkan lamunan.

Tanpa melihat layar, Ia menerima telfon tersebut. Kalau bukan Maxim, paling-paling Ibunya. "Julian.." suara perempuan mengejutkan dirinya. Bukan, bukan suara Ibu. Bukan pula suara gadisnya.

Ia menyandarkan tubuhnya di atas sandaran kasur, "Ya, Tante?" jawabnya.

"Boleh minta tolong?" suaranya lirih, terdengar lelah dan frustasi.

Jujur saja, kalau terus-menerus seperti ini dirinya juga akan frustasi.

"Tentang apa?" tentu saja tentang gadis itu, Julian. Memangnya apalagi yang dicari dari dirimu oleh keluarga Albert.

"Eliana.." jawabnya. "Tolong kamu ajak pulang". Julian, katanya. Padahal semua juga tahu, pengaruh Julian pada Eliana tidak sebesar pengaruh Sergio pada gadis itu. Kalau Sergio tidak bisa, apalagi dirinya.

"Tante, minta maaf.. untuk semuanya" lanjutnya tanpa menunggu jawaban.

Tiga kali, itu adalah ucapan maaf yang ketiga kalinya dalam minggu ini. Dadanya sesak ingin memuntahkan berbagai macam argumen dan pikiran. "Baik" ucapnya singkat, beruntung Julian masih bisa mengontrol emosinya.

Sambungan telfon terputus, netranya kembali menatap layar benda persegi panjang. Tangannya bergerak, menggeser layar menuju pintu utama, aman, masih terkunci seperti biasa. Pintu yang mengarah ke balkon juga terkunci. Semua ruangan terpantau gelap, tidak ada lampu yang dinyalakan. Ia beralih menuju dapur, tempat yang membuat netranya membulat. Di sana, di atas meja tergeletak pisau, kulit buah, serta potongan buah yang berserakan.

Buru-buru Ia menutup tablet, takut dengan fakta bahwa Ia akan berlari menghampiri gadis itu saat itu juga. Udara dihirup dalam-dalam, lalu dikeluarkan perlahan sebelum akhirnya berbaring dan menutup mata.

Belum sampai sepuluh menit, netranya kembali terbuka. Mungkin Ia terlalu lelah sampai-sampai pikiran dan perbuatannya tidak singkron. Mungkin Ia terlalu kalut sampai-sampai tidak lagi menghiraukan pikirannya.

Ia bangkit, berganti kaus hitam dan celana panjang, meraih ponsel dan dompet, lalu mengetuk kamar di sampingnya.

Bagai mimpi buruk, tidur nyenyak Pria di kamar sebelah diganggu oleh ketukan bertubi-tubi. Baru membuka pintu, Ia diperintahkan untuk bergegas dan membeli tiket pesawat. Detik itu pula, Maxim tahu sahabatnya sudah di luar kendali. Julian hilang kendali atas dirinya sendiri.

MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang