Dihirup udara pagi itu dalam-dalam berharap dapat membantu menguatkan diri. Suara daun dan rantai yang bergesekan diabaikan, berusaha fokus dengan jawaban yang akan dikatakan Julian.
"Kamu tahu?" tanyanya tanpa menghentikan kaki, gugup.
Julian menoleh ke arah gadisnya, "Tahu apa?" tanyanya.
Pandangan gadis itu kosong, menembus pemandangan di depannya. "Rencana itu.." ucapnya, tidak berniat melanjutkan.
Beruntung Julian segera paham. Pria itu tersenyum, ikut memandang kosong layar biru yang terbentang di atas kepalanya, lalu tertawa pahit. "Hah" Ia menghela napas gusar. "Malu mengakuinya, tapi memang begitu kenyataannya.. Aku juga korban" lanjutnya.
Gerak kaki terhenti, Ia menoleh ke arah Julian, terkejut dengan jawabannya. Kala netra keduanya bertemu, Eliana bisa menangkap itu. Rasa kecewa yang sama, seperti yang Ia rasakan beberapa hari terakhir. Jawaban itu membuatnya sedih sekaligus merasa sedikit lebih tenang karena Ia merasa setidaknya masih ada yang bisa dipercaya dan Ia tidak bodoh sendirian.
"Aku tidak tahu apapun, sampai Maxim menjelaskan semuanya empat hari lalu" tatapannya berusaha mengatakan kalau Ia tidak berbohong, Ia berusaha meyakinkan, membuat gadis itu percaya.
Eliana mengalihkan pandangan, kakinya kembali bergerak. Membiarkan rantai itu gemericik, seiring dengan gerak tubuhnya, maju, lalu mundur. "Apa kamu membenci Ibumu?" tanyanya.
Hening. Julian bisa saja menjawab tidak. Berpura-pura demi membawa pengaruh baik untuk gadisnya. Tapi, Ia ingin tahu perasaan Eliana. Apa yang dipikirkan? Sebesar apa rasa sakitnya? Jika Julian ingin tahu, maka Ia juga harus terbuka.
"Tentu" jawaban itu membuat gadis itu lagi-lagi menoleh dengan rasa ingin tahu, tanpa menghentikan kaki.
"Bagaimana dengan Maxim?"
Ia teringat pukulan yang dilayangkan diperut Maxim, "Sedikit".
Kakinya berhenti, keningnya berkerut, netranya mengecil. "Kok berbeda?" tanyanya.
Julian menatap gadisnya dan menjawab dengan jawaban yang sederhana, "Karena Maxim menjelaskan, tidak seperti mereka yang hanya mengulang kata maaf.. dan maaf..". Maxim membuatnya mengerti, berbeda dengan mereka yang hanya ingin dimaafkan tanpa mengakui kesalahannya.
"Bagaimana denganmu?" ucapnya kala Eliana lagi-lagi memalingkan wajah. Ia bangkit dari ayunan, melangkah menuju pagar pembatas, dan bersandar di sana.
Julian mengikuti, ikut bersandar tepat di sampingnya. "Aku baik-baik saja.." jawabnya. Julian bisa merasakan keraguan dalam nada bicaranya.
"Mungkin juga tidak" lanjutnya selang beberapa detik, meski setengah berbisik, Julian masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Siapa yang paling kamu benci?" tanya Julian.
Gadis itu tersenyum pahit, "Aku tidak benci sipapun".
"Ha.. Aku tidak mengerti. Memangnya apa yang kamu lakukan sampai benci itu bisa hilang?" kening berkerut, ingin tahu.
"Memaafkan" jawabnya singkat.
"Hanya itu?" tanyanya masih tidak percaya.
Eliana mengangguk. "Bukannya kamu juga melakukan itu?" tanyanya selagi menoleh.
Pria itu mengendikkan bahu, "Mungkin setelah sepuluh kali memukul Maxim dan marah di hadapan Ibu".
"Marah.. Aku juga ingin marah" ucapnya selagi memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. "Tapi, ngga tahu pada siapa".
"Mereka ngga akan sejauh itu kalau Aku ngga egois" netranya menatap jauh, entah kemana. Di sampingnya, Julian sudah siap mendengarkan.
"Harusnya Aku lebih perhatian pada mereka". Ibu yang mungkin frustasi karena kencan buta tidak kunjung membuahkan hasil. Skyla yang mungkin muak mendengarkan keluh kesahnya tentang Sergio. Lalu, Sergio yang mungkin terbebani dengan perasaannya sejak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMBIRU
RomanceEliana berencana menyimpan perasaannya hingga akhir, tapi keadaan memaksanya untuk mengungkapkan bahkan memaksa untuk dilepaskan. Di tengah kekalutan hati, Julian hadir. Ia berusaha mengambil alih perhatian gadis itu. Membuat Eliana luluh dengan car...