36: Jalan Lain

1 2 0
                                    

Maxim memilih kamar dengan fasilitas kelas dua. Hanya ada satu kasur di dalam, lengkap dengan kamar mandi dalam, sofa, meja, lemari di sudut ruang, ac, dan televisi. Tidak luas, tapi fasilitasnya lebih dari cukup.

"Tetangga apartemennya di rampok. Ketika satpam mengejar perampok itu, kebetulan Eliana di sana. Mereka berpapasan di tangga" ucap Maxim begitu perawat keluar ruang.

"Perampok panik, Eliana dipukul dengan kayu, lalu jatuh" Ia berusaha menjelaskan, berharap supaya setidaknya dapat menjawab satu dari belasan pertanyaan di benak sahabatnya.

Julian memejamkan mata selagi mendengarkan, Ia menelan emosinya. Berusaha tetap berpikir jernih dan tenang.

"Perampoknya sudah ditangkap" lanjut Maxim.

Selagi mendengar penjelasan itu, pikirannya berhasil menjadi jernih dan tenang. Ia siap mendengar penjelasan selanjutnya.

Maxim mendekat hingga berdiri tepat di sampig sahabatnya. Alasannya, supaya tidak perlu berbicara keras. "Lukanya cukup dalam dan pendarahannya banyak. Saat ini kondisinya belum stabil, tapi statusnya masih positif. Probabilitasnya tinggi" ucap Maxim.

Ia mencuri pandang ke arah sahabatnya yang terlihat lebih tenang. Maxim menepuk bahu Julian dua kali, "Eliana kuat. Pasti bisa sehat lagi" ucapnya.

Julian masih mematung, tidak bergerak dari posisinya. Menatap gadis itu hingga nanar, hingga matanya pedih dan berair. Tidak ingin lengah untuk yang kesekian kalinya.

Melihat Julian yang tidak bergerak, Maxim terpaksa mendorongnya hingga sofa. Memaksa Julian untuk duduk di sana. "Besok dokter, polisi, dan pemilik apartemen datang. Mereka akan menjelaskan detailnya" lanjut Maxim yang ternyata belum selesai.

"Semua barang sudah di apartemen. Sebagian mau dipindahkan ke sini?" tanya Maxim.

Tidak ada jawaban. Tatapannya tertuju pada satu titik, mimiknya serius, netranya sendu, jemari masih ditautkan dan digerakkan gelisah. Sepertinya, Julian tidak peduli tentang barangnya. Tentu saja yang ada dipikirannya saat ini hanyalah gadisnya.

"Kita harus menghubungi orang tuanya" ucap Maxim yang lebih memilih untuk lanjut ke tahap berikutnya.

"Aku yang bilang" suaranya serak, seakan tertahan. Tapi, Ia hanya diam tidak bergerak dari tampatnya, tidak pula merogoh ponsel.

Melihat Julian yang belum juga begerak, Maxim kembali membuka mulut. "Sekarang. Gua harus diskusi sama Mile" ucapnya. Maxim tidak punya waktu banyak, Ia harus berdiskusi tentang proses hukuman di negara asing itu bersama Mile, pengacara keluarga Albert. Segera, sebelum polisi datang di pagi hari.

Julian mengusap wajahnya gusar. Ia menunduk, lengan di letakkan di kening, dijadikan sebagai tumpuan. Hening beberapa menit, sebelum akhirnya Julian bangkit dan menekan tombol di ponsel. Lalu, beranjak keluar ruang, meninggalkan Maxim.

Tidak akan mudah memberi kabar buruk, apalagi kepada orang tuanya. Selagi menunggu, Maxim menyandarkan tubuhnya di sofa dan membenarkan posisi kacamata selagi menulis pesan pada Mile.

Maxim saja tergunjang, apalagi Julian. Pasti dalam dirinya Ia hancur berkeping-keping. Tidak percaya dengan sosok yang terbaring lemah di hadapannya. Dari luar sahabatnya terlihat kuat, padahal Maxim tahu Julian pasti hancur.

Ia meringis mengingat ekspresi Julian selama perjalanan. Belum lama sejak Julian tersenyum dengan netra berbinar, meski tubuhnya sesekali bergerak gelisah tidak sabar. Tapi, senyum itu direnggut dalam sekejap, tanpa aba-aba.

Usai mengirim pesan, Maxim mengamati benda-benda di sekeliling gadis itu. Netranya berhenti pada kantung kertas berwarna hitam di atas kasur.

MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang