Julian mengamati Gadisnya lamat-lamat, belum yakin dengan kondisinya, meski belakangan terlihat sudah membaik.
Tiga bulan setelah badai, Eliana Albert berhasil menyelesaikan studinya. Artinya, Ia akan segera pergi, sendirian, mencari impian dan kehidupan ideal versi dirinya.
Satu-persatu pakaian dikeluarkan dari lemari, dilipat, lalu dimasukkan ke dalam benda persegi panjang berukuran besar.
"Aaahh" Gadis itu berbaring di atas kasur, mengeluh kelelahan.
Sudah hampir empat jam Julian menemani Eliana berkemas, bukan, lebih tepatnya mengamati. Pria itu hanya duduk di atas karpet, bersandar pada kasur, selagi sibuk membaca dokumen di tabletnya sambil sesekali mencuri pandang.
Gadis itu mulai menyesal karena menolak diberi bantuan oleh Ibunya, apalagi pekerja di rumah. Dengan hal kecil seperti ini, Ia ingin menunjukkan bahwa Ia sudah bisa mandiri.
"Bukannya koper itu terlalu besar? Kenapa dari tadi tidak penuh?" keluhnya.
Julian menoleh ke arah koper terbuka yang sudah setengah penuh dengan berbagai jenis pakaian untuk menghadapi berbagai jenis musim. Di samping pintu yang terbuka sudah berdiri koper lainnya yang berukuran sedang, berisi berbagai macam sepatu dan benda-benda kesukaan Gadis itu seperti buku, laptop, dan sebagainya.
"Cepat selesaikan, kita harus pergi ke suatu tempat" ucapnya.
"Kemana?" tanyanya dengan mata terpejam.
Pria itu bangkit, duduk di pinggir kasur, lalu meletakkan dua tiket ditangan Gadisnya.
Ia membuka mata, mengangkat telapak tangan dan melihat dua tiket pertandingan sepak bola yang akan diselenggarakan pukul empat sore.
Detik itu, dadanya menyerngit perih. Kenangan akan dirinya dan Sergio berputar, bersamaan dengan munculnya perasaan itu ke permukaan. Perasaan yang harusnya sudah dibuang, perasaan yang minta dilepaskan, perih.
"Julian, Aku sudah tidak suka bola" ucapnya.
Pengaruhnya terlalu kuat, Ia adalah alasannya terjun ke dunia sepak bola. Berkelut dibidang ini hanya akan menyulitkan dirinya.
Meski hanya sepersekian detik, Julian bisa menangkapnya. Tatapan yang tiba-tiba sendu dan berair, serta ekspresi yang muram.
Ia mengambil kembali dua tiket itu, lalu meletakkannya ke dalam saku. "Ada tempat yang mau kamu kunjungi?" tanyanya.
Gadis itu duduk, menatap kaca jendela dengan pandangan yang kosong. "Sepertinya.. tidak ada" ucapnya.
Hening, Gadis itu masih menimbang-nimbang. Sementara, Julian dengan sabar menunggu selagi sibuk merekam dan menyimpan ekspresi dan tingkah laku Gadis di depannya sebelum benar-benar pergi.
Rambut hitam panjang, pipi merona, bibir tipis, mata bulat, serta kening dan alis yang sesekali berkerut karena bingung. Tiap-tiap sudut, tiap-tiap sisi, dipotret dan disimpan dengan baik.
Kala Julian sibuk mengamati, Gadis itu tiba-tiba menoleh. "Taman" ucapnya. Senyum terpatri di wajah kala Gadis itu melanjutkan, "Ayo, ke taman tempat kita main bola".
Melihat itu, Julian tersenyum dan mengangguk. Keduanya bangkit, bergegeas pergi, meninggalkan koper yang terbuka dan barang-barang yang berantakan.
"Mau kemana?" tanya Ibu di dapur, sedang mengemas makanan kesukaan Eliana.
Eliana dan Julian menghampiri, "Ke taman" ucap Eliana selagi berpamitan.
"Sudah selesai beres-beres?" tanyanya.
Netra bergerak kesana-kemari, bingung, "Harusnya sih.. sudah" jawabnya ragu.
Sang Ibu hanya tersenyum, "Yasudah, biar Ibu yang cek".
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMBIRU
RomanceEliana berencana menyimpan perasaannya hingga akhir, tapi keadaan memaksanya untuk mengungkapkan bahkan memaksa untuk dilepaskan. Di tengah kekalutan hati, Julian hadir. Ia berusaha mengambil alih perhatian gadis itu. Membuat Eliana luluh dengan car...