18: Siaga Satu

3 2 0
                                    

Seorang gadis mengenakan dress putih yang berhenti tepat di lutut, riasan wajah sederhana, rambut dikepang rapih, sepatu hak tinggi, tak lupa tas kecil yang menggantung di bahu. Gadis itu duduk di cafe langganan, ditemani segelas ice cream matcha dan Pria tampan yang sedang duduk di depannya.

"Bukannya kamu harus menjemput?" ucap sang gadis.

Pria itu hanya tersenyum singkat selagi menjawab, "Tidak perlu, lagipula dia tahu tempat ini".

Sang gadis hanya mengangguk dan kembali melahap ice cream matcha.

Setelah berteman dengan ketua komunitas, hari ini gadis itu akan berkenalan dengan kekasih temannya. Artinya, Ia akan semakin mengenal Pria di depannya demi menghapus dinding yang beberapa tahun belakangan disusun entah oleh siapa.

Baginya teman Sergio adalah temannya. Kekasih Sergio adalah teman dekatnya. Siapapun yang berkaitan dengan Sergionya, harus diberi tanda bahkan diberi pengait untuk dikaitkan dengan dirinya.

Cara gadis itu menghindari perpisahan adalah menyelam semakin jauh ke dalam dunianya. Semakin dalam, semakin kuat ikatan. Menjadi orang yang paling tahu, paling mengenal, dan paling mengerti. Tujuannya, supaya Sergio merasa demikian. Supaya Pria itu merasa kemanapun Ia pergi, maka akan ada gadis itu. Supaya Sergio tidak lupa dengan rumahnya, tempat Ia pulang.

Selang beberapa menit, seorang perempuan melangkah ke arah mereka. Sosok itu berhasil mengambil alih perhatian Sergio dan Eliana.

Sergio tersenyum manis, menyapa perempuan di depannya. Sedangkan, Eliana tercekat. Ia berusaha menyangkal seluruh pikiran sampai ketiganya saling menyapa dan berkenalan.

"Vanes, ini temanku, Eliana" ucap Sergio selagi lengannya bergerak meraih pinggul perempuan itu, membawanya mendekat.

"Eliana, ini kekasihku, Vanes" ucap Sergio kali ini ke arah Eliana.

Kedua perempuan itu saling menjabat tangan. Bibirnya terbuka, mengucap dua patah kata "Salam kenal".

Eliana tersenyum manis, masih berusaha menepis pikirannya. "Aku teman Sergio sejak sekolah dasar" ucapnya berusaha mencairkan suasana.

Sergio melihat ekspresi Vanes yang gugup dan canggung. Ia memanggil salah seorang pelayan supaya Vanes bisa pesan sesuatu untuk membuatnya sedikit lebih tenang.

"Jadi.. sudah berapa lama?" ucap Eliana yang sudah tidak sabar.

Keduanya saling menatap netra masing-masing, "Hampir satu tahun-" "Belum lama-" ucap keduanya bersamaan.

Eliana terkekeh, "Satu tahun itu cukup lama, Vanes" ucapnya.

Vanes hanya mengangguk dan tersenyum kaku.

"Bagaimana kalian bertemu?" tanya Eliana.

Kali ini Vanes diam, membiarkan Sergio mengambil alih. "Saat masa orientasi siswa, kita satu kelompok" jawab Sergio.

Eliana mengangguk, perhatiannya teralihkan pada kalung yang menggantung dileher Vanes yang terlihat cantik dengan liontin swarowski berwarna biru. Kalung yang Ia lihat malam itu, pemberian Sergio. Tanpa sadar, tangannya bergerak, mengenggam kalung dilehernya.

Sejak kapan, Gio..
Akan sejauh apa..

"Nona..?! Eliana?!" suara Sergio membuyarkan lamunan.

Eliana tersenyum pahit, "Hentikan panggilan Nona.. Nona itu! Hari ini Aku datang sebagai teman, bukan Nona Albert".

Pria itu menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, "Ah.. Baik.." ucapnya.

Ketiganya kembali berbincang. Eliana tidak tahu mengapa Vanes bergabung dalam permainannya, mengapa perempuan itu berpura-pura tidak mengenalnya usai mengatakan bahwa Ia tidak punya kekasih dan sekarang mengatakan sebaliknya.

MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang