°°°
"Kakak... adek... bangun yuk!"
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Usai terbangun satu jam lebih awal, tugas Salman ketika bangun di jam sahur bukan sekedar melanjutkan ayat dalam mushaf saja. Di hari pertama memasuki bulan Ramadhan ini, tugasnya menjadi ganda, berperan sebagai ibu sekaligus yang menyiapkan menu sahur untuk orang-orang di rumah.
"Anak-anak ayo bangun, waktunya sahur!"
"Ayo... kakak... adek!"
"Sahur dulu yuk, keburu imsak sayang!"
"Adek... adek bangun yuk, katanya tahun ini adek mau belajar puasa sampe full?!"
Salman ada di kamar si bungsu, tempo hari Zidan bilang kalau mulai tahun ini ia ingin mencoba untuk bisa menamatkan puasanya sampai matahari tenggelam nanti. "Ayo bangun dek, kita sahur dulu biar puasanya kuat!" Karena usia Zidan masih muda dan belum baligh untuk menjalankan puasa, sebagai proses latihan Salman mengajarkannya terbiasa bangun sahur - memastikan si anak bungsu mendapat nutrisi dan tenaga yang cukup untuk menahan rasa lapar dan dahaga di siang hari nanti.
"Nnggh... adek masih ngantuk hoamhhh..."
"Aduh sayang, jadi kamu gak jadi belajar puasanya?"
"Mau tapi masih ngantuk ayah hoamh..."
"Ayo cuci muka dulu, kita makan sama ayah sama kakak ya sayang!"
"Ayo!"
Kalau Zidan dibiarkan tidur terus nanti jadi gagal latihan puasanya. Salman memutuskan untuk menggendong si bontot agar meninggalkan kasur empuknya. "Ayo... cuci muka dulu, biar seger mukanya!" Zidan diantar ke kamar mandi. Wajah bocah kecil itu diusapkan air agar kantuknya mereda berubah segar bugar dan siap untuk santap sahur.
"Kita makan sahur sama apa yah?"
"Yaaah... adanya cuma telor mata sapi, ayah gak terlalu bisa masak."
"Huuh..."
Zidan sedikit berkeluh, "Coba kalo ada bunda, pasti kalo sahur masaknya tetep macem-macem." Si bontot tiba-tiba manyun kala Salman hanya menyajikan tiga butir telur ayan yang disulap menjadi telur mata sapi.
"Heh... hush.. jangan bilang gitu!"
Si anak tertua menginjak pelan kaki Zidan dari bawah meja. Memang sedikit 'nyes' masuk di hati Salman, walau begitu ayah dua anak ini tetap berusaha untuk tersenyum ramah di depan kedua anaknya. Salman usap kepala si anak bontot dengan lembut, "Maaf ya sayang, bulan ramadhan tahun ini semuanya memang terlihat berbeda."
"Kalian udah tambah gede, dan mulai sekarang bunda udah gak sama kita lagi."
"Walaupun kita semua merasa kehilangan, ada baiknya kalau kita tidak berlarut-larut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Halal (Ramadhan Series) [SUDAH DITERBITKAN]
FanfictionTentang Salman dan Yumna yang percaya bahwa suatu hari nanti akan datang seorang manusia yang telah disuratkan Sang Maha Kuasa untuk menjadi teman hidup sampai ke surga nanti [Sebagain bab sudah dihilangkan untuk kepentingan penerbitan versi cetak]