°° 01 °°

100 13 28
                                    

"Makasih, kak." Pekik bocah kecil perempuan menerima sebuah paperbag dengan mengulas senyuman.

"Sama-sama," jawabnya mengamati bocah itu menjauh darinya. Ia mengulas senyum mengamati teman-temannya.

Disamping kirinya, Ravi terlihat kewalahan dikeroyok anak-anak kecil yang berebut paperbag yang dibawahnya.

Nendra, laki-laki itu justru sibuk bercanda dengan anak-anak yang nge-fans oleh ketampanannya. Terlebih saat dirinya tersenyum, matanya menyipit menjadi khas-nya sendiri.

"Gue duluan, ya," Azelia meninggalkan teman-temannya. Ia kembali ke kelasnya, toh tugasnya sudah selesai.

"Tunggu gue, napa!" Teriak Nendra mengalihkan perhatiannya.

"Woiy, Aze!" Ravi juga ikut meneriakinya.

"Bantuin gue, Ze. Gue dikeroyok, nih." Adu Ravi terdorong kebelakang. Bocah-bocah itu terlalu bar-bar untuk Ravi yang malas-malasan.

Azelia menghiraukan ocehan temannya, ia berlalu seolah tidak mendengarkannya. Ia memutar musik diponsel.

"Asem." Gumamnya Ravi meratapi temannya yang satu ini.

"SABAR! Lo pada gak bisa antri apa?" Tegas Ravi mengeraskan suaranya kepada anak-anak itu.

"ENGGAK!" teriak anak-anak itu bersamaan.

"Dasar warga +62," lirihnya pasrah membagikan paperbag itu.

"Kak! Aku belum." Seru bocah perempuan itu kepada Nendra mengerutkan dahinya tidak senang.

"Eh, iya, ketinggalan satu, nih." Seulas senyum terbit dibibir gadis kecil itu.

"Makasih, Kak. Dadahh," ia mengayunkan tangannya dengan gembira. Nendra membalasnya, lalu bersiap kembali ke kelasnya.

Sekilas melirik Ravi yang terlihat emosi dengan anak bar-bar itu.

***

"Si caper, nih," Azelia menghentikan langkahnya, ia memutar matanya malas.

"Dari mana Lo? Sekamar sama om-om, ya," ujar Nadi disertai tawa antek-anteknya.

"Lo gak capek ngerusuhin urusan gue? Gabut banget kayaknya," ia malas mendengarkan ocehan Nida.

"Minggir." Azelia berlalu kembali memutar musik yang sempat ia pause.

"Sial," sengitnya memperhatikan Azelia.

"Cabut," ia pergi bersama antek-anteknya dengan dongkol.

"Aze!"

Azelia membalikkan badannya dengan geram. "Apa lagi?!" Serunya penuh penekanan.

"Santai kali,"

"Eh sory, gue kira orang lain," ujar Aze saat melihat Nendra mengejarnya.

"Hoo, hoo," Ravi berjalan lunglai mengatur napasnya.

"Lo-cepet banget-" ia menarik napasnya dalam.

"Jalan-nya," lanjutnya mengembuskan napasnya.

Nendra dan Azelia saling memandang heran. Ravi masih sibuk mengatur napasnya.

"Lo ngejar gue?"

"Iyalah!" Kata Ravi nyolot.

Laki-laki itu membuang bahunya sembari mengganguk dengan kikuk.

"Kaki leher jerapah Lo kejar, bikin capek doang," pungkas Azelia.

"Balik kelas, yuk," ajak Ravi kepada dua temannya. Ia berjalan paling belakang, kakinya terasa berat. Sebuah kesalahan mengejar Nendra bersama kaki leher jerapahnya.

"Aneh," lirih Azelia melirik Ravi dibelakangnya. Nendra hanya tersenyum kecut mendengarnya.

Nendra diam-diam memperhatikan Azelia yang menikmati musik diponselnya, sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Andai gue bisa kaya gini terus sama Lo, Ze,"  Nendra tersenyum kecut mengingat permintaan orang tuanya.

"Kesambet Lo, Dra?" Seru Azelia melihat Nendra tersenyum tanpa sebab.

Laki-laki itu bergerak gelisah. "Iya, kesambet asmara,"

Azelia terkekeh, "udah mulai kenal cinta, nih,"

Selepas Azelia berkata itu mereka kompak tertawa ringan dengan tingkah konyol mereka. Sedangkan dibelakang sana Ravi memacungkan mulutnya.

"Serasa dunia milik berdua, gue babunya," nyinyir Ravi mengeraskan suaranya. Aksinya mendapatkan perhatian siswa yang berlalu-lalang.

Mereka tertawa melihat wajah melas Ravi, beberapa juga memuji perkataannya. Meski aneh, tapi masuk akal dan sering terjadi diantara mereka.

"Senabis beda tipis kita, bro," ujar salah satu siswa menepuk beberapa kali pundaknya.

"Apa bedanya?" Ujar Ravi menaikkan sebelah alisnya, bingung.

"Temen gua mah begitu gua sindir nyamperin gua, gak kaya temen lo. Kayanya kita gak jadi senabis, bro. Lo lebih miris dari gua," setelah mengatakan itu ia berlalu meninggalkan Ravi yang menahan emosinya.

"Pantes guru disini tua-tua, muridnya undangan emosi semua," Gumamnya dengan kesal.

***

"Selamat siang anak-anak,"

"Siang, Bu," mereka kompak menjawab sembari membereskan peralatan sekolahnya.

Jam sekolah baru berakhir. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas.

"Ze, piket atau langsung, nih?" Tanya Ravi menyambar tas ranselnya.

"Nginep." Jawab Azelia keluar kelas. Nendra sudah keluar lebih dulu katanya ada urusan mendesak.

"Yahh, nih anak," monolognya menyusul langkahnya.

***

"Aze pulang!" Ucapnya membuka pintu rumah.

"Berisik!" Sarkas Adlan-papanya yang berkutik pada laptop.

Nera-mamanya sekilas melirik anaknya yang tidak tahu sopan santun. Begitukah cara masuk rumah?

"Mah, pah, kita jadi-"

"Nilai kamu berantakan. Kenapa?" Nera memotong ucapan Azelia. Ia menatap tajam putrinya.

"Aze bolos kelas 2 hari, buat bagiin sedekah anak-anak panti Deket sekolah," jawab Azelia dengan santainya.

"Saya menyuruh kamu sekolah bukan untuk melakukan hal bodoh begini, Lia." Tegas Nera dengan suara yang keras.

"Sekolah kamu itu mahal. Gak usah banyak tingkah." Sambung Adlan memelototi anaknya yang berdiri di depan pintu.

"Apa salahnya Aze sedekah? Soal nilai, Aze bisa menyusul, kok." Azelia menatap orang tuanya bergantian. Ia memandang orang tuanya miris. Niatnya hanya ingin membagi sedikit yang ia punya, apakah salah?

"Berani membantah kamu?!" Sarkas Adlan berkacak pinggang memberikan tatapan sengit.

"Sebagai hukuman kamu tidak akan keluar rumah selama dua hari."

Amarahnya meningkat, Azelia beranjak menuju kamarnya begitu saja. Ia malas mendangar ocehan orang tuanya yang hanya mementingkan nilai.

"Azelia! Mama belum selesai bicara!" Ocehan Nera tidak ia hiraukan.

Brakk ...

"Lihat. Caramu mendidiknya, dia menjadi tidak sopan dengan orang tuanya." Seru Adlan dengan nada tinggi kepada istrinya.

"Jangan salahin aku dong, mas. Lia juga butuh didikan papanya." Adlan menghiraukannya, ia menyeruput kopi.

"Kamu bilang gitu karena kamu gak pernah ngerasain jadi aku gimana. Ngurus rumah, anak, kamu, kerja." Lanjut Nera memijat pelipisnya.

Dibalik pintu kamar sana, Azelia mendengar pertengkaran orang tuanya. Selalu saja begini.

***

63 Hari & IsinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang