°° 11 °°

29 9 9
                                    

"sepi, ya gak ada lo, Ze."

"Gue kangen ocehan, jahilin lo,"

"Gak kerasa aja, selama ini kita gak saling ngobrol. Nendra juga gak ada disini, biasanya dia selalu nasihati kita kalo lagi berantem gini."

Empat bulan sudah dimana Ravi dan Aze saling mendiamkan. Minggu depan ujian kelulusan. Selama itu juga Ravi sering bersama Mira. Ia masih tidak mengira bahkan hatinya mengatakan Aze tidak melakukan hal itu. Tapi, ia melihatnya sendiri saat terjadi.

"Brengsek Lo, Dra. Bisa-bisanya Lo ngilang gitu aja, dan gak bilang apa-apa ke gue." Kesal Ravi mencekam pembatas balkon.

"Rav, gue mau bicara sama lo. Gue mau lurusin kejadian di ultah sekolah." Azelia menahan tawa Ravi. Gadis itu mencoba menyakinkannya.

Ravi membalikkan badannya. Mereka berada di kantin yang sepi, siswa yang lain sudah kembali ke kelas masing-masing.

Ravi menepis tangan Azelia, menatapnya penuh tanya sembari bersendekap dada.

"Lo taukan malem itu gue Dateng sama Nendra. Di situ gue sama Nendra cuma ngeliatin lo yang asik sama anak-anak lain. Gak lama Nendra pamit ke gue, dia pergi gituan aja mobilnya di titipin ke gue." Azelia mulai mengatakan semuanya. Meski ia yakin Ravi tidak akan percaya begitu saja. Tapi, ia tetep mengatakannya ia tidak tahan lagi mendiamkan sahabatnya itu.

"Nendra pulang dan gue sendirian disana, akhirnya gue juga mutusin pulang. Sebelum pulang gue sempet ke toilet cuci muka, di situ gue ketemu sama Mira. Dia bawa gue ke ruang makeup. Di situ dia marah sama gue, karena masalah waktu masih di Surabaya. Karena jengkel dia pergi gitu aja kakinya nyandung penyangga alat perekam. Di situ gue coba nahan alat perekamnya supaya gak kejatohan dia, terus lo Dateng dan ngeliat akhirnya bahkan sampe salah paham ke gue."

Ravi diam berdiri di balkonnya, menatap kosong ke depan. Ia kembali mengingat hal itu. Ujian kelulusan sebentar lagi, artinya masa sekolahnya akan segera berakhir.

"Gue gak percaya. Jelas-jelas gue liat sendiri, Ze!" Teriak Ravi.

"Vi, sejak kapan gue pernah bohong?! Lo berubah tau gak?!"

"Lo kenapa sih, Vi? Sejak Lo Deket sama Mira Lo berubah ke gue." Sarkas Azelia memperhatikan Ravi yang menjadi sedikit kasar dengannya.

"Gue milih Mira, karena dia lebih cantik dari lo. Sikapnya lebih terjaga dan lebih kalem dari, lo. Punya otak buat mikir. Lo sama Mira beda jauh. Mira dengan kelembutan hatinya dan peka sama sekitarnya. Sedangkan lo, gak peduli sama sekitar lo. Termasuk gue, sahabat lo. Lo tuh selalu mikirin diri Lo sendiri, tanpa mikirin sekitar lo gimana." Ujar Ravi dengan nada meninggi. Urat lehernya ia keluarkan.

"Gue. Mau jadi sahabat cuma kasihan ngeliat lo dipojokin satu sekolah dengan penampilan culun lo itu. Aslinya gue juga gak Sudi temenan sama lo," Pungkasnya dengan napas memburu.

Azelia menatapnya tidak percaya, ia tercengang mendengarnya. Jadi, selama ini pertemanannya tidak benar-benar tulus? Matanya menajam dengan amarah yang membakarnya.

"Brengsek! Gue gak butuh belas kasih lo. Dan kalo Lo bilang gue gak peduli sama sekitar gue, terus kenapa gue bantuin semua masalah lo? Kalo bukan karena gue perusahaan nyokap lo gak akan berdiri kokoh sekarang." Azelia netralkan napasnya. Ia membuang kasar pandangannya.

Laki-laki itu menangis perlahan di balkonnya tanpa suara. Ia menyesal pernah mengatakan itu kepada Azelia, sosok yang berperan besar di perusahaan Mamanya. Rasa gengsinya lebih besar hanya untuk sekedar meminta maaf pada Azelia.

Entahlah, tiba-tiba saja ia terpikirkan ucapan Aze hari itu. Percuma jika ia menyesal juga, tidak akan ada yang berubah. Bersikap seolah-olah tidak saling mengenal. Tapi, sampai kapan? Akankah di hari kelulusan masih tetap begini? Lalu apa arti perjalanan mereka selama hampir 3 tahun ini?

"Ravi!" Suara teriakan Mamanya membuyarkan lamunannya. Dengan cepat menghapus jejak air matanya.

"Iya, ma?!" Sautnya juga berteriak.

"Kalo di panggil itu samperin, malah ikutan teriak. Mama potong uang jajan kamu!"

Ravi terkekeh di kamarnya lalu menghampiri Mama yang memegangi pinggangnya dengan tatapan kesal padanya.

"Nih. Beli Mama cabe, tomat, kencur, sama kunyit." Menyodorkan selembar kertas berwarna merah dengan kesal dan pergi kembali ke dapur.

Ravi menerimanya dengan kebingungan. "Ma? Beli dimana malem-malem begini? Ma?!"

"Supermarket."

Ravi menggaruk tengkuknya kebingungan. "Emang ada ya supermarket buka malem-malem gini?" Herannya berlalu dari sana.

***

Azelia menatap kulkasnya malas sambil berdecak lalu menutupnya kasar, mendudukkan dirinya di kursi meja makan yang terlihat kosong, tidak ada makanan sedangkan perutnya kerucukkan sejak tadi.

Dengan langkah berat ia kembali ke kamarnya memakai hoddie yang biasa ia kenakan untuk keluar. Sedikit mengoles bibirnya agar tidak terlihat pucat lalu bergegas keluar dan mengunci rumahnya.

Ia membawa mobil Nendra karena malas jalan kaki ke supermarket, lagi pun jaraknya juga cukup jauh. Sesampainya di supermarket Azelia langsung membeli bahan makanan yang ia cari. Ia beralih mencari bumbu dapur, rasanya tidak afdol kalau gak masakan sendiri.

Prang ...

"Eh, maaf. Trolinya menghalangi jalan, ya," ujar Azelia menarik trolinya yang tertabrak pengunjung lain.

Ia mendongak tepat pandangan keduanya bertemu. "Ravi?" Lirihnya menatap mata Ravi.

Secepat mungkin ia memutuskan pandangan keduanya dan hendak pergi dari sana.

"Tunggu, Ze." Seru Ravi mencekalnya.

Azelia menepisnya perlahan tanpa melihatnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Ravi yang hanya bisa menatap punggung gadis itu semakin menjauh darinya.

"Lo marah, ya, Ze sama gue?" Monolognya menatap miris punggung Azelia yang menghilang dari pandangannya.

***

Bintangnya, atuh. Jan pelit-pelit, bulan puasa gak boleh pelit.
Makasih sudah mampir.

63 Hari & IsinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang