°° 12 °°

24 7 0
                                    

Hari Senin. Ujian kelulusan dimulai. Azelia sibuk menyiapkan dirinya dengan seragam putih abu-abu yang melekat pada dirinya. Berdiri di depan cermin, melihat pantulan tubuhnya dengan rambut panjang yang terurai.

Hari ini sedikit berbeda dengan sebelumnya. Orang tuanya kembali pulang meski tidurnya terpisah. Ia mengemasi tas dan alat sekolahnya. Tidak terasa setelah semuanya ia akan lulus sebagai anak SMA. Tiga tahun kisahnya terukir di dalam gedung SMA itu bersama dengan kedua temannya.

Meski pada akhirnya semuanya berpecah. Nendra yang hilang menjauh darinya, Ravi yang sudah lama ia anggap mati. Semuanya terjadi bersamaan dengan Papanya yang bermain belakang di didepan Mamanya, Mira yang tiba-tiba datang mengejutkannya.

Azelia keluar dari kamarnya lengkap dengan seragam dan tas di pundaknya. Ia pergi menuju sekolah mengendarai mobil Nendra. Yaps, gadis itu memilih menaiki mobilnya Nendra dari pada motornya. Azelia merasa seolah Nendra mengantarnya sekolah jika pakai mobilnya.

Azelia menghentikan mobilnya dengan kesal di depan area sekolah. Ia turun dan menghampiri satpan di posnya.

"Pak, tolong bukain dong gerbangnya." Serunya memegangi gerbang yang sudah tertutup rapat.

"Waduh. Maaf neng, waktunya tutup. Liat nih jam berapa." Tegas satpan itu menunjuk arlojinya.

"Ck, baru setengah delapan, pak. Belum jam delapan juga," rengeknya kesal tidak di hiraukan satpan.

Azelia mencari cara agar bisa masuk, jika tidak ia tidak ada ikut ujian kelulusan, tinggal kelas dong nanti. Ah. Menyebalkan.

Ia memikirkan cara masuk ke sekolahnya tanpa di ketahui oleh satpan itu. Pandangannya beredar ke seluruh arah mencari kesempatan. Ia melihat tembok belakang sekolah, dan ingin semakin telat Azelia langsung berlari dan memanjatkan tembok itu.

Dengan bebatuan sebagai injakan ia memanjatnya tanpa ragu. Melemparkan tasnya lebih dulu, dan melompat dari atas sana.

Ia langsung berlari menuju kelasnya sesekali melirik arlojinya, sebentar lagi ujian dimulai. Langkahnya semakin ia percepatan.

Sampainya di pintu kelasnya ia mengatur napasnya dalam, tidak peduli dengan siswa yang menatapnya. Ia duduk di bangkunya, untung saja belum ada pengawas yang masuk.

Tidak berselang lama pengawas masuk kedalam kelasnya, semua murid sontak diam kembali pada tempatnya masing-masing. Lembar ujian di bagikan tanpa terlewat satu siswa pun.

Seluruhnya siswa sibuk dengan kertas di depannya begitu dengan Ravi. Laki-laki itu sesekali melirik Azelia di depannya yang sibuk menjawab soal yang berikan.

Pandangannya terlihat sendu. Sekian lama ia tidak saling menyapa rasanya ada yang kurang, terlebih sebentar lagi mereka berpisah. Masa SMA sudah hampir berlalu hanya kurang selangkah dan semuanya menjadi kenangan.

***

"Ze." Panggil Ravi sedikit mengeraskan suaranya.

Ujian kelulusan sudah berakhir beberapa hari yang lalu hanya tinggal menunggu pengumuman. Setelahnya semua selesai. Berharap hasilnya sesuai dengan ekspektasi nantinya.

Azelia menoleh menghentikan langkahnya. Ia menaikan alisnya seolah bertanya. Ekspresinya masih datar, ia bahkan jarang tersenyum beberapa bulan ini. Banyak hal yang harus di cuekin dari pada di beri senyuman.

Ravi memandangnya sendu. Laki-laki itu merindukan ocehan Azelia yang menusuk hatinya, tetapi ucapannya nyata.

Ia berdiri tepat di depan gadis itu. Niatnya ingin memperbaiki hubungan pertemanannya tapi, rasa gengsinya sangat besar hanya sedekar mengatakan maaf.

Ia justru menggaruk tengkuknya dengan kikuk. "mau bareng ke kantin?" Ajaknya tanpa melihat wajah Azelia.

"Gak." Jawabnya.

Merasa tidak ada yang penting gadis itu berlalu dari sana begitu saja. Ravi ingin mencegahnya, namun ragu untuk memanggilnya kembali. Ia mengacak rambutnya prustasi.

Sulit sekali melawan gengsinya. Jika begini terus sampai lulus nanti juga mereka tetap jadi canggung. Ia menangkup wajahnya dengan tangannya.

"Kamu kenapa?" Mira mengejutkan dirinya saat menepuk pundak Ravi membuat laki-laki sontak menatapnya.

"Gapapa," balasnya mengatur kembali wajahnya.

"Kantin, yuk!" Ajak Mira dengan antusias. Ravi hanya mengangguk lalu berjalan disebelahnya. Keduanya semakin dekat bahkan ada yang mengira mereka pacaran.

Dari persimpangan koridor Azelia memandang keduanya yang terlihat sangat akur mengobral suatu hal. Ia tersenyum kecut melihatnya, lalu mengotak-atik ponselnya.

"Seneng seneng aja dulu, Mir sebelum kelulusan nanti." Setelah berkata demikian Azelia pergi dari sana menuju rooftop sekolah mencari udara segar.

***

"Kamu pesen apa? Biar sekalian," tanya Mira pada Ravi. Mereka berada di depan pintu kantin.

"Samain aja," ujarnya di angguki Mira.

"Oke," ia langsung memesan makan dan minum lalu menyusul Ravi yang sudah duduk di salah satu meja di pojok sana. Tempat biasanya dirinya, Nendra dan Azelia berkumpul. Sekerang hanya dirinya sendiri, Azelia tidak lagi pernah duduk disana.

Ia menatap salah satu kursi disana dengan pandangan kosong. Mira yang menyadarinya menepuk pelan pundaknya.

"Kenapa sih? Ngelamun terus perasaan."  Tanyanya menatap Ravi penasaran.

Laki-laki itu menggeleng pelan, "gakpapa. Yuk makan," ujarnya memakan pesanannya yang tadi di antar oleh penjualnya.

Mira sedikit merasa ada yang di sembunyikan. Selama ia dekat dengan pria ini, dirinya belum tahu menau apa pun tentangnya.

***

Azelia membaringkan tubuhnya di sofa tua yang ada di rooftop sana sembari menikmati semilir angin. Meski agak panas, tapi sepertinya sebentar lagi hujan. Langitnya terlihat mendung dengan cahaya matahari.

Ia memutar musik di ponselnya agar tidak terlalu sepi. Sekilas bibirnya tersenyum tipis mengingat permintaan saudaranya.

"Gue masuk pondok, gimana ya kira-kira?" Gumamnya membayangkan dirinya mengenakan busana muslim dengan hijab sebagai penutup kepalanya.

"Aneh," ujarnya di sertai tawa kecil sembari menatap lurus ke atas langit.

***

Inget. Bulan puasa gaboleh pelit.
Bintangnya Jan lupa, yah. Biar pahalanya nambah.

63 Hari & IsinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang