°° 06 °°

27 5 0
                                    

"Lo yakin turun disini?" Ujar Ravi menghentikan motornya di depan sebuah gang.

Mira turun dan melepaskan helmnya. "Iya, makasih, ya." Ujarnya mengembalikan helm Ravi.

"Aku duluan, ya. Makasih tumpangannya," Mira berlalu dari hadapan Ravi, menelusuri jalanan gang.

Ravi hanya memperhatikan punggung Mira sekilas, lalu menghidupkan kembali motornya dan pergi dari sana.

"Bener kata Aze, tuh cewek emang gila." Gumamnya mengendarai motornya membelah jalanan ibu kota yang licin karena hujan.

***

"Dari mana kamu hujan-hujan begini? Bajumu basah kuyup?" Mira membuka pintu rumahnya  disuguhkan dengan sang ayah yang menatapnya penuh penekanan.

Tubuhnya yang basah, menetes ke lantai.

"Ketemu Mama," jawab Mira hendak melewati ayahnya.

Alex menarik paska tangan Mira, membuat sang empu tersentak mundur beberapa langkah.

"Ganti baju kamu, makeup yang cantik. Kamu taukan," serunya berbisik pelan di telinganya.

Mira mengangguk pelan, menggigit ujung bibirnya. Ia berusaha menahan tangisnya.

"Bagus, sana dandan. Gue tunggu di depan," serunya mendorong tubuh Mira.

Gadis itu memasuki kamarnya mengganti pakaian seperti yang dikatakan ayahnya. Mau tidak mau ia harus melakukannya.

"Cepet masuk." Tekan Alex menatap Mira dengan tajam.

Gadis dengan riasan sederhana itu terlihat anggun. Ia masuk bersamaan dengan ayahnya kedalam taksi.

Di dalam sana Mira hanya diam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia sibuk berkutik dengan ponselnya.

Alex turun dari taksi setelah membayarnya, di ikuti oleh Mira tepat di belakangnya. Mereka masuk ke dalam bar yang di penuhi wanita dengan pakaian kurang bahan. Tempat dimana Mira di perjual belikan oleh ayahnya setelah istrinya meninggal.

"Job mu hari ini, kamar nomor 13. Dia pengusaha sukses, layani dengan baik," tutur Alex.

"Mira mau berhenti, aku gak mau kaya gini lagi." Bantah Mira dengan keras.

Alex meletakkan minumannya, melirik Mira dengan tajam. Ia mendekatkan wajahnya, "cepet kerja. Jangan maksa gue melakukan hal seperti ibu mu itu." Sarkasnya tersenyum miring mengingat istrinya dulu.

"Ck, wanita Bodh." Lirihnya dengan sinis.

***

"Aku gak peduli, mas. Setuju atau nggak, aku mau cerai sama kamu!" Nera kembali mengatakan hal yang sama pada suaminya.

"Sampai kapan pun, aku gak akan tanda tanganin surat itu. Sampai kapanpun." Balas Adlan menekan perkataannya.

Keduanya berada di dalam kamar. Dua orang dewasa itu saling melemparkan teriakan.

"Aku capek, mas. Kamu selalu nuntut aku harus bisa semua. Cari uang, melayani kamu, mendidik Aze, mengurus rumah. Kamu pikir aku gak butuh istirahat!"

"Terus ... Kemarin aku liat kamu masuk di bar, sampai berjam-jam. Kamu ngapain disana, mas?!" Nera menunjukkan sebuah foto yang menampilkan dirinya di dalam bar.

"Kamu selingkuh, iya?!"

Adlan diam tidak menjawab, ia bahkan tidak memandang istrinya dibelakangnya.

"Jawab, mas! Kenapa kamu disana?!"

"Kenapa diem? Omongan ku benerkan kamu selingkuh? Iyakan?!"

"YA!" Adlan mengeraskan suaranya. Ia tidak tahan dengan istrinya.

"Iya. Aku selingkuh dibelakang kamu." Kata Adlan memandang Nera yang tercengang di tempatnya dengan air mata yang mengalir.

"Puas?!" Tekan Adlan melihat tajam. Ia mengacak rambutnya dengan kesal.

"Mas," lirih Nera. Lidahnya terasa kaku, sulit berkata sesuatu. Tubuh terjatuh ke lantai. Kakinya tidak dapat menahan tubuhnya.

Adlan menatap iba istrinya dibawah sana. Dengan ragu ia berjongkok di hadapan istrinya. Tangannya dengan ragu memegangi pundak Nera.

"Jangan sentuh saya!" Nera menepis tangan Adlan darinya. Ia merangkak mundur dengan histeris.

"Nera, aku minta maaf," ucap Adlan melembutkan suaranya. Ia mendekati istrinya.

"Pergi! Saya gak Sudi punya suami sepertimu!" Nera berteriak dengan keras. Ia terlihat tidak karuan. Wanita itu bahkan menjambak rambutnya sendiri.

Adlan tidak dapat melakukan apa-apa. Semakin ia mendekat, istrinya semakin histeris.

Cklekk ...

Azelia masuk dengan wajah yang terlihat sedikit ke khawatiran. Ia memandang Papanya dengan heran yang berada di dekat jendela.

"Mama!" Pekiknya melihat kondisi Nera. Ia menghampirinya, namun Nera justru memberikan tatapan sengit.

"Jangan dekati saya!" Langkah Azelia berhenti begitu mendengar perkataan Mamanya. Ia sedikit bingung.

Memang sudah biasa, Mama dan Papanya bertengkar. Tapi, kali ini berbeda dari biasanya. Sebelumnya Mamanya tidak pernah seperti ini.

"Kalian semua sama! Saya benci kalian berdua!" Setelah mengatakan itu Nera bangkit dan pergi dari sana. Ia melemparkan tatapan sinis pada suami dan putrinya.

Adlan mendudukkan dirinya dengan kasar di pinggir kasur sembari memijat pelipisnya.

"Pa. Kenapa Mama bisa gitu?" Tegas Azelia menghampiri papanya. Ia menatap tajam papanya.

"Jawab pa! Kalian sering bertengkar, tapi kali ini kelewatan. Apa yang Papa lakuin ke Mama?!" Tegasnya dengan meningkatkan suaranya.

"Semuanya karena kamu!" Adlan tidak tahan lagi. Ternyata istri dan anaknya sama saja suka memojokkan dirinya.

"Karena kamu, Nera ingin menceraikan saya! Karena kamu di jadi gila seperti itu! Yang terjadi selama ini, semuanya karena kamu! Anak tidak tahu diri seperti kamu!" Pungkas Adlan mengeluarkan emosinya yang tertahan.

"Gak! Mama kaya gini karena Papa. Papa selingkuhkan?!" Bantah Azelia tidak takut. Ia mendengar ucapan Mamanya tadi.

Bugh ...

Satu pukulan melayang pada tubuh Azelia. Ia terjatuh mundur sembari meremas kepalanya yang terbentur vas, hingga pecah.

"Jangan sok tau kamu!" Tegas Adlan keluar dari sana, membanting pintu kamarnya.

Sedangkan Azelia meratapi kepergian Papanya dengan wajah emosi. Ia berusaha bangkit menahan rasa sakit di kepalanya.
Kakinya tanpa sengaja menginjak seperihan vas itu, menambah rasa sakitnya.

"Ck," ia berdecak kesal melihat kakinya yang terluka. Dengan jalan yang tertatih-tatih Azelia kembali ke kamarnya. Mama dan Papanya pergi entah kemana.

Luka di tubuhnya sudah biasa ia terima, namun pikirannya terusik dengan kondisi Mamanya yang terlihat seperti orang depresi. Meski perlakuan Nera tidak sesuai dengan ibu pada umumnya, Azelia tetap menyayanginya meski hanya 1%.

Azelia mengambil kotak p3k lalu membersihkan lukanya dan memperbannya agar tidak terlalu banyak darah yang keluar.

***

63 Hari & IsinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang