°° 10 °°

24 5 3
                                    

Azelia kembali menjadi korban bully satu sekolah. Seperti awal ia masuk. Namun, bedanya kali ini ia di bully karena di cap bersikap kasar. Di tambah dengan sikap cueknya yang selama ini kurang memperdulikan sekitarnya.

Setelah kejadian kemarin malam, foto dirinya yang memegang alat perekam dengan Mira terpajang di Mading sekolah.

Ia berjalan menelusuri koridor sekolah dengan santainya. Tanpa memperdulikan tatapan sinis, serta cacian yang di lontar siswa lainnya saat berpapasan dengannya.

Azelia memasang wajah datarnya, mungkin lebih datar dari sebelumnya. Toh, dirinya tidak bersalah.

"Tumben si Aze sendirian,"

"Iya, biasanya sama Nendra sama Ravi."

"Kalian gak tau, ya? Mereka abis berantem kemarin malem,"

Azelia mengepal tangannya. Ia berusaha tidak terpancing. Menyebalkan memang mendengar ocehan anak remaja itu. Tapi, ada benarnya juga, meski tidak sepenuhnya benar.

Hubungannya dengan Ravi pun semakin merenggang.  Keduanya bahkan tidak saling melirik saat berpapasan. Semakin beriringnya waktu Azelia terbiasa dengan itu. Ia menjadi pribadi yang semakin tertutup dengan siswa lainnya.

***

Bulan depan ujian kelulusan. Azelia mempersiapkan dirinya. Beberapa Minggu lalu ia meminta kepada orang tuanya agar rujuk kembali. Nera sempat menolak. Namun, setelah ia pikir-pikir kembali ia menyetujuinya dengan syarat. Di ujian kelulusan nanti dirinya harus mendapatkan urutan pertama.

Azelia menyetujuinya, tentu ia juga memberikan syarat untuk tidak menuntutnya agar selalu lebih, apa lagi membandingkannya dengan El.

"Gimana rasanya di jauhin satu sekolah? Enak, kan?"

Azelia memutar bola matanya malas. Ia tidak menjawabnya, kembali fokus pada kertas-kertas di depannya.

Mira mengangkat dagunya kasar. "lo. Pantes di giniin. Pembunuh," desisnya dengan rahang mengeras.

Azelia menatapnya tajam, menghentak tangannya di meja. "Apa yang gue bunuh dari lo? Nyokap lo? Iya, hah?!" Sarkasnya tidak kalah tajam.

"Iya! Ini belum seberapa, asal Lo tau. Gue di Surabaya dulu, di perlakukan lebih dari ini setelah lo ngakuin semuanya!"

"Lo bikin hidup gue hancur, Ze. Dan Lo ngilang gitu aja pindah ke Jakarta. Lo bunuh Mama gue, gue di rundung bahkan sampe di pukul sama di lempari batu sama anak-anak Surabaya karena Lo." Tegas Mira dengan badan yang gemetar.

"Gue bilang sekali lagi. Semua yang Lo dapet di Surabaya karena timbal balik sama kelakuan Lo. Bukan karena ulah gue!" Azelia mengemasi bukunya.

"Lo butuh terapi psikologi. Lo beneran, Mir." Azelia keluar dari perpustakaan meninggalkan Mira yang di kuasai emosinya.

Setahun sebelumnya dirinya pindah ke Jakarta. Mira adalah siswa yang cukup populer di sekolahnya saat di Surabaya. Ia dan Azelia satu angkatan beda kelas.

Semuanya baik-baik saja. Sampai suatu ketika, guru BK menyuruh tes keperawanan. Dari situ semuanya dimulai. Ia di jauhi oleh teman-temannya. Di rundung. Di perlakukan kasar, seperti binatang.

"Keren, ya, Aze."

"Iya. Tapi, kok dia bisa tau ya kalau Mira udah gak perawan lagi?"

Saat itu juga Mira mencari Azelia. Dalang di balik semuanya.

***

"Gini deh. Lo gantiin gue pondok, biar gue yang beresin sisanya."

"Hah! Lo gila, ya?! Gak, ah!" Azelia menggelengkan kepalanya kuat.

"2 bulan doang. Pas kelulusan kita tukeran lagi,"

"Gak, El! Lagian di pondok gue pasti di curigai. Lo tau sendiri gue kaya gimana, yang ada temen-temen pondok gak bakal percaya,"

"Gampang itu, mah. Ntar gue ajarin,"

"Maksa banget, sih, Lo. Gue bilang gak, ya gak! Udahlah," Azelia mematikan panggilan sepihak dengan kesal. Ia membuang napasnya gusar lalu membaringkan tubuhnya.

"Gue. Masuk pondok? Gimana jadinya?" Gumamnya menatap langit kamarnya. Azelia membayangkan dirinya masuk ke dalam pesantren.

Ia bahkan tidak paham tentang keagamaan, kalau hanya sekedar mengaji bisa. Tetapi, kalau di pondok pastinya tidak hanya mengaji.

Azelia terbangun lalu membuka laptopnya. Ia menerima panggilan video dari Nendra. Senyuman manis terukir di bibirnya.

"Hei. Betah nih di Kairo, sampe lupa sama sahabatnya sendiri," sindir Azelia di sertai tawa pelan.

"Hahaha, betahlah. Ceweknya alim-alim, adem di liat."

"Nyindir Lo?," Ketusnya. Ekspresi wajahnya sedikit berubah saat Nendra mengatakan itu.

"Gak sih. Kalo merasa aja,"  serunya Nendra dengan menahan tawanya.

"Sial. Gue ngantuk, gue tutup aja deh." Pungkasnya menguap.

"Ciee, ngamuk, nih?" Goda Nendra dari sana.

"Stres gue ngamuk sama Lo. Udah ah, gue ngantuk."

"Hahaha, yaudah. Sana tidur, mimpiin gue, yah."

"Males." Pungkasnya menutup laptopnya kembali.

Azelia kembali menidurkan dirinya. Bohong jika ia mengatuk. Bahkan matanya masih terbuka lebar saat ini. Hanya saja ia tidak suka dengan cara Nendra membandingkan dirinya tadi.

"Kalo kangen gue, tidur aja. Nanti gue samperin di mimpi," Gumamnya mengingat pesan Nendra hari itu lalu membuang wajahnya kasar.

"Ck. Ciwiknyi alim-alim," Azelia mengulangi perkataan Nendra dengan ejekan tidak suka.

Ia menikmati rumahnya sepi. Lampu rumah ia matikan semua, hanya tersisa lampu kamarnya. Ia memiringkan tubuh menghadap jendela luar.

Banyak lampu terang yang menghiasi jalanan ibukota. Rumah -rumah di sebelahnya terlihat damai.

Bayangan tiap rumah yang bercanda gurau dengan keluarga membuatnya terkekeh pelan. Sekilas ia ikut merasakan candaan itu.

Azelia memejamkan matanya. Dalam hati ia memohon agar dirinya bisa seperti itu pada keluarganya nanti. Jujur saja ia sudah muak dengan pertengkaran orang tuanya, dan dirinya.

Fisik dan mentalnya seolah di permainankan dengan sengaja. Kadang ia sedikit iri dengan El, yang selalu di perhatikan.

***

Bingungkan bacanya. Sy juga bingung nulisnya.
Tapi, in sya Allah ada revisinya nanti. Terima kasih sudah mampir.

63 Hari & IsinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang