°° 07 °°

25 6 1
                                    

"Ravi!" Teriak Azelia berlari menghampiri temannya diatas motor.

"Haa? Apaan?" Serunya heran melepaskan helm yang sempat terpasang.

"Gue bareng," pintanya.

"Gak. Gak bisa." Azelia menatapnya heran. Biasanya Ravi yang paling semangat memintanya pulang bareng. Sekarang justru sebaliknya.

"Hah? Kok gak bisa?!" Papar Azelia dengan heran.

"Gue mau check in hotelnya Mama," tutur Ravi memakai helmnya kembali.

"Ouh," Azelia bersendekap dada. Tidak lama ia langsung naik begitu saja di jok belakang.

"Woiy, main naik-naik aja. Turun Ze, kali ini gue beneran gak bisa anter Lo pulang. Sama Nendra tuh," tutur Ravi menunjuk Nendra dengan mulutnya.

"Siapa juga yang minta anter pulang," cetus Azelia di atas sana sembari menaikkan kukunya.

"Hah?!" Reflek Ravi menoleh kesamping melirik Azelia.

"Terus kemana?" Sambungnya bertanya.

"Buruan jalan, ntar telat check in kamar Mama Rina." Ungkap Azelia bercedak kesal.

"Lo ikut gue ke hotel?!" Pekik Ravi di angguki oleh gadis itu.

"Gila ya, lo?" Serunya kembali.

"Iya, gue gila. Udah buruan, banyak omong lo," desak Azelia tidak sabar.

Ravi menggelengkan kepalanya, ia hanya pasrah. Toh percuma saja ia berdebat dengan Aze, tidak ada hasilnya. Ravi melajukan motornya keluar gerbang sekolah dengan kecepatan rata-rata.

Hari ini Mamanya kembali ke Jakarta setelah dipindah tugaskan ke Jember. Namun tidak bisa tidur di rumah, sebabnya Ravi di suruh check in kamar hotel Mamanya.

Meski sang Mama sibuk dengan pekerjaannya, Ravi tidak mengeluhkan hal itu. Saat Mamanya pulang mereka akan menghabiskan waktu bersama. Azelia kadang merasa sedikit iri dengan keluarga Ravi. Mama dan Papanya menyayangi Ravi dan adiknya dengan adil. Pekerjaan memang nomor satu, tetapi keluarga yang utama.

"Udah?" Tanya Azelia saat motor Ravi berhenti di sebuah hotel dengan bangunan yang megah.

"Iya, Lo tunggu di kursi sono aja. Biar gue check in sendiri," tutur Ravi menunjuk kursi tunggu di bagian depan hotel.

Azelia hanya mengangguk sembari berdehem. Ia memilih memainkan ponselnya agar tidak bosan.

Ting ...

Azelia membuka pesan yang masuk di ponselnya.

El

*Send pict
Ze, Papa ada di kamar nomor 314 hotel Aryaduta

Tau dari mana,lo?

Temen gue ikut lomba dan dia nginep di hotel itu sama yang lainnya. Dia bilang ke gue, Papa masuk ke dalam sama cewek.

Thanks, El.

Yoi
Btw di rumah baik-baik ajakan? Gue ragu cewek yang dibawa Papa itu Mama,

Lo tenang aja, semuanya baik.

Hahaha gue harap gitu. Cepet sembuh kepalanya.

Kok lo tau?

Asal nebak aja, bye

Hm

"Sial. Dari mana El tau luka gue?" Gumamnya memasukan ponselnya kedalam saku seragamnya. Kalau di ingat kembali, yang ia datangi bersama Ravi sekarang adalah hotel Aryaduta.

"Aze bantuin gue!" Panggil Ravi berteriak membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu terlihat kewalahan membawa koper milik Mamanya.

Aze menarik salah satunya. "Lemah lo, gini aja minta bantuin." Celetuknya.

"Bukan lemah oiy, tangan gue cuma dua." Tutur Ravi dengan kesal.

Azelia meletakkan koper yang dibwanya pada sudut kamar hotel, begitupun dengan Ravi. Mereka berbaring sejenak di sana, menghirup aroma wangi.

Crekk ...

Senyuman miring terbit di bibir wanita dengan topi hitam. Ia melihat foto yang diambil dan pergi dari sana.

***

Motor Ravi berhenti tepat setelah sampai di pekarangan rumah Azelia. Keduanya turun dari sana, tak lupa melepaskan helm di kepalanya.

"Gelap amat rumah, lo, Ze," seru Ravi memandangi sekelilingnya.

"Gue lupa nyalain lampu luar," tutur membuka pintu yang ia kunci.

Namun pergerakannya terhenti melihat Nendra berdiri disana. "Ngapain lo, kek maling," tegur Ravi memandang Nendra yang mengintip rumah Azelia.

Nendra menoleh, "dari tadi gue panggil gaknada yang nyaut," paparnya.

"Iyalah di rumah gak ada orang," Azelia masuk kerumahnya, ie melemparkan tasnya di atas sofa lalu mengambil segelas air.

"Bokap sama nyokap lo?" Tanya Ravi seraya mendudukkan dirinya.

Nendra merebut remote televisi di tangan Ravi. "banyak tanya lo, gue mau liat kak Ros." Pungkasnya kesal menyalakan televisi.

"Yaelah badan doang gede, tontonannya beginian." Sindir Ravi melirik ke arah Nendra.

"Bawel lo. Suka-suka gue lah," sarkas Nendra.

Azelia ikut bergabung dengan temannya membawa dua gelas yang berisi air putih dengan kuaci.

"Eh, besok birthday party galaxy, gaes." Seru Ravi mengingat hal itu.

"Ya, terus?" Cetus Azelia melihatnya.

"Ngasih tau doang, kali aja lupa." Ujarnya sembari memakan kuaci.

"Ada yang mau gue omongin ke kalian, tapi kayaknya besok aja deh," ungkap Nendra melirik keduanya bergantian.

Azelia dan Ravi saling melemparkan tatapan bingung. "ngomong apa?" Tanya Azelia penasaran di angguki oleh Ravi.

"Gak ada, gak jadi." Pungkasnya.

Dalam hatinya ia sendiri tidak tahu bagaimana mengatakannya. Tepat saat itu pula azan magrib berbunyi. Nendra mengecilkan volume televisi.

Ketiganya diam mendengarkan suara azan. Setelahnya Nendra mengambil wudhu dan melaksanakan sholat magrib di rumah Azelia, tepatnya di kamar tamu.

"Lo gak sholat, Ze?" Tanya Ravi tidak melihat Azelia mengikuti Nendra. Padahal mereka satu agama.

"Nanya Mulu kek wartawan, lo." Ketus Azelia dengan kesal. Ia kembali mengunyah kuaci yang dibukanya.

Lima hari sejak dimana orang tuanya bertengkar hebat. Keduanya tidak pernah pulang setelah itu. Azelia menempati rumahnya sendiri tiap malamnya. Suasana sunyi sudah biasa ia rasakan, bahkan ia sampai rela bekerja harian untuk memenuhi kebutuhannya. Tentunya tanpa sepengetahuan Ravi dan Nendra.

Sesekali ia mendapat kiriman uang dari El, namun tidak ia gunakan. Azelia lebih memilih untuk di tabungkan. Sepertinya hanya El yang tahu kondisinya saat ini.

***


63 Hari & IsinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang