Sabana 2

35 8 0
                                    

Baskara terang mulai mencondongkan dirinya ke arah barat, bayanganku mulai miring saat kami berjalan sedikit santai meninggalkan sabana 1. Kakiku masih sakit... Sangat. Aku bahkan mengusulkan yang lain jalan lebih dulu, setidaknya biarkan aku beristirahat tanpa mencoba mengikuti langkah mereka yang...

Normal?

Namun temanku tetap temanku, memaksa adalah jutsu paling kuat yang mereka miliki ketika salah satu dari kami menyerah. Itu juga andalanku ketika dulu memaksa Hexa hampir saja berhenti kuliah, dengan alasan pengen nikah. Jujur saja aku masih bingung dengan siapa dia ingin mewujudkannya, mengingat satu-satunya gadis yang ia taksir (Jiva) tidak menerima cintanya.

"Gue ga kuat, beneran udah ga kuat."
"Kalian kalo mau duluan, jalan dulu aja deh" Ujar ku setelah melihat Hexa seperti gelisah ingin segera beranjak melanjutkan perjalanan.

"Jangan gitu May! Kita ga mungkin ninggalin lo disini. Ayolah lo kan kuat," Aliya menyemangati ku.

"Ga bisa lagi, Al! Kaki gue udah sakit," Keluhku sebagai usaha terakhir agar mereka membiarkanku beristirahat lebih lama.

"Ayolah! Bentar lagi kita sampai di tempat camping nih," Paksaan Hexa mendapat anggukan dari yang lain.

Hah?? Apa artinya anggukan sialan itu?

Aku menghela nafas lelah, menggenggam track pool ku lebih erat.

"Terserah kalian, gue mau istirahat disini."

Hexa mendekat, nafas memburunya semakin mengganggu pendengaranku.

"Jangan egois apa May, ga semua yang lu perintah kita harus turutin, kan?" Hexa menatapku tajam.

Aku hanya tersenyum miring.

Tidak percaya dengan cara kerja otaknya.

"Aliya lebih lemah dari lo, tapi ga manja kaya lo!" Tukas Hexa yang aku tahu dia tidak bermaksud menyakiti hatiku namun itu membuatku tersinggung teramat sangat.
"Lu pikir ga capek dengerin lu ngeluh dari bawah?"
"Lu pikir lu doang yang susah?"

"Xa.. Xa.. Cukup!" Ozi melerai.

Aku masih ingat saat Saldan mendekatiku untuk kemudian mencengkeram lembut dua bahuku, gerakan yang selalu sama saat dia mencoba menguatkanku, menahanku untuk tidak menangis.

"Jangan bikin gue nyesel ngajak lu naik, May!"

Aku kehabisan kata-kata walaupun hanya untuk mengumpatinya kala itu. Mataku tajam menatapnya setelah berusaha mengalihkannya ke objek lain. Hanya beberapa detik, setelah aku merasa kepalaku berhasil mendidih dan memaksa otak untuk memberi perintah pada tanganku yang spontan memelantingkan track pool yang sejak tadi sengaja ku genggam erat.

"Lu pikir gue ga capek? Nurutin kalian yang jalan tanpa peduli kalo ada satu orang yang cidera? Hah?" Pelupuk mataku telah dipenuhi bumbungan air, dan akhirnya menetes tepat ketika aku merampungkan kalimatku.
"Lu pikir gue ga capek jalan nyusul kalian yang selalu ngatain gue siput?"
"Hexa denger, ya!" Aku mendengar Saldan terus memanggilku.
"Disini lu cuma capek."
"Lo ga lihat gue? Gue pincang, Xa! Pincang!"

Hexa membuang pandangannya, sementara aku sibuk mengelap air mata dengan punggung tangan yang masih menyisakan tanah.

"Lagipula... Gue ga minta kalian nungguin gue," Ucapku sedikit menurunkan nada suara.
"Kalian ga perlu nungguin orang cacat buat lihat sabana dua."

"Oke!" Ucapan Hexa langsung mendapat bentakan dari Saldan.

"Udah gila lo, ya?" Saldan memungut track pool ku, berdiri di depanku yang mulai terisak.

Aku hanya tidak menyangka Hexa akan mengatakan ini.

"Sejak kapan lo jadi seegois ini?" Saldan mendorong bahu Hexa.

"Sal stop Sal!" Ozi masih mencoba melerai.

Aliya masih mematung di tempat, aku sempat meliriknya saat Aliya mulai terisak di balik bahu Naufal.

Maafin gue ya Al.

"Kalau bukan karena Maya, gue juga ga bakal naik ke gunung. Jadi stop merasa paling keren!" Saldan masih dibentengi oleh Ozi.

"Ya terserah, kalau lo mau temenin Maya terserah. Gue duluan bareng rombongan lain!" Hexa membalikkan badan, mulai pergi menjauh bergabung dengan rombongan lain.

Sementara aku...

Aku mematung di belakang punggung Saldan, dengan cucuran air mata yang tidak bisa ku paksa berhenti. Hexa sudah berjalan semakin jauh, hanya bayangan punggungnya yang bisa kami tatap hampa tanpa satu patah kata. Ini salahku, aku merutuki diriku sendiri kala itu, tidak peduli betapa ingin patah kakiku saat itu, tidak seharusnya aku marah pada Hexa seperti tadi.

"Jangan pernah nyalahin diri sendiri, May!" Saldan mengusap tengkuk ku, mendorong kepalaku agar terbenam di dadanya. Dia yang paling tahu tentangku, apa yang kurasakan saat aku mulai menangis.

 Dia yang paling tahu tentangku, apa yang kurasakan saat aku mulai menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

photo taken by : Wiwid Sumarsono

"Masih nangis?" Saldan menoleh saat sadar aku masih mengelap pipi dengan punggung tanganku.

Aku menggeleng.

Aku sudah tidak membawa backpack, tas besar itu telah berpindah ke tubuh Saldan.

"Masih Capek?" Pertanyaan ke seribu dua belas kali yang Saldan lontarkan itu masih ku jawab dengan senang hati.

Aku sudah tidak menangis, hanya saja aku merasa tubuhku terutama wajah, teramat sangat kotor. Hexa memang menjadi apa yang mengganggu pikiranku sejak tadi, namun aku sudah tidak ingin menangisinya.

Saldan menoleh saat jalanan sudah mencapai rumput hijau yang mengelilingi lereng-lereng gunung. Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat melihat pemandangan merapi yang berdiri gagah di balik merbabu, mengeluarkan serangan kecil berupa asap putih yang tidak terlalu tebal. Masih dengan pandangan takjub aku memindahkan arah mataku ke sekumpulan tenda camping yang meluas menyebar di area hijau. Para pendaki berlomba memotret gagahnya merapi dan bersorak ketika puncaknya menyemburkan asap yang lebih pekat.

Sabana dua. Merbabu.

"Kita sampai, May!" Saldan memandangku lekat, menjatuhkan dua backpacknya untuk kemudian mengacak kasar puncak kepalaku. Seperti kebiasaannya. Entah sejak kapan...

Aku menyukai kebiasaan itu.

Aku berhasil menangkap jeritan Aliya yang membentangkan tangannya, disusul Naufal yang juga membentangkan tangan di belakangnya, mirip adegan titanic. Sementara Ozi, dia masih terlalu takjub oleh Merapi yang terlihat begitu agung saat itu.

Aku menangis lagi. menghampiri Ozi, memeluk laki-laki jangkung yang ternyata mulai menitikkan air mata.

"Kita beneran udah sampai sabana dua?" Pertanyaan retoris yang membuat Ozi baru saja bangkit dari kagumnya itu membuatku tersenyum senang, sekaligus...

Merindukan Hexa.

"Kita diriin tenda disini aja, ya!" Ozi menurunkan backpacknya, semua mengangguk kecuali aku.

Aku bisa melihat Hexa yang canggung bersama rombongan lain di sana, matanya terus melirik ke arahku, aku tahu. Tapi mungkin terlalu merepotkan memindahkan tendanya yang berwarna pink itu agar mendekat dengan rombongan ini.

Hexa...

Kapanpun kamu mau join, aku orang pertama yang akan menyetujuinya.

-

Sebelum 5 CM「COMPLETED」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang