Dulu saat aku kecil, Ibu ku sering berkata bahwa kita memang harus kehilangan dulu baru sadar bahwa hal yang kita miliki itu penting. Dan menunggu dianggap penting juga tidak selamanya menyenangkan. Titik jenuh dan menyerah, pasrah pada keadaan itu pasti ada dan akan terjadi.
Aku menatap lurus, meneliti gelap yang memberi kesan mewah pada kedipan venus di ufuk timur. Aku merasa planet itu menatapku seakan menuntut untuk bicara pada sosok yang diam di sampingku. Tak seperti biasanya, laki-laki itu tak banyak omong.
Setelah melewati langit yang pekat, matahari terbit akan segera terjadi. Aku menyusul Saldan yang duduk di sisi paling miring dari merbabu, menanti sunrise berdua dengannya saat teman yang lain masih larut dalam mimpinya.
"Sal..," Aku bergerak mendekat.
"I'll getting married."
Satu kalimat membuatku kehilangan cahaya saat surya mulai menunjukkan semburatnya.
"Hah?? Ta-tapi... Tiba-tiba?" Siapapun pasti akan kaget jika berada di posisi yang sama denganku. Saat khayalku belum dimulai, aku harus mengakhirinya. Terlalu dini. Terlalu tiba-tiba.
Aku bahkan tidak mampu menceritakan indahnya matahari yang semakin menunjukkan kemegahannya. Hari itu, terlalu kelam bagiku.
"Gue harus menikah, itu kenapa gue bawa kalian kesini," Jelasnya.
"Ga lucu kalau tiba-tiba sebar undangan."Saat itu aku hanya terlalu tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Bukankah aneh bila aku tersedu-sedu bahkan saat Saldan belum tahu bahwa aku menyukainya. Namun aku juga tidak bisa turut bahagia atas luka yang baru saja tergores dengan teramat dalam di hatiku.
"Wah..."
"Who's she?" Aku hanya akan berterimakasih pada Tuhan jika saat itu sakit hatiku ditukar dengan sakit gigi saja. Aku bersumpah aku akan menahannya lebih baik dari ini."Delia, cewek pilihan Ibuk."
"Ah.. How lucky her."
Saldan tersenyum dan itu menyakitiku. Menabur garam atas luka basahku.
"Lo senang, kan?"
"Ya..." Tentu tidak Saldan, aku mencintaimu.
"Bukti bahwa friendzone itu ga berlaku buat kita," Satu tangan Saldan naik, mengusap puncak kepalaku pelan.
Aku mengangguk, mendongak berkali-kali sebelum akhirnya menyerah dan berpamitan pergi dari Saldan, menjauhi sosok yang kini saat aku melihatnya mampu membuat dadaku terasa teramat sesak.
Aku terisak di dalam tenda. Lirih hampir tak terdengar.
Namun...
Katanya, tangis tak bersuara adalah yang paling sakit.
https://i.pinimg.com/736x/fe/f2/53/fef25354aabc7ae00df8a15a40000bf6.jpg
Saldan akhirnya memberitahu seluruh anggota rombongan tentang rencana pernikahannya. Aku tak banyak merespon selain senyum kaku, Ozi dan Naufal kegirangan sementara Aliya menatap heran ke arahku. Aku harus kembali merelakan mie buatan Aliya jatuh ke tanah saat kokinya kaget mendengar penjelasan Saldan.
"Hah??"
"Babi lu, sejak kapan lo ngedeketin cewek anjir udah mau kawin aja!" Naufal memiting leher Saldan.
"Terus Maya gimana? Nganggur dong?" Ozi menimpali sembari menyenggol bahuku.
"Lo harus cepet cari cowok sih, May... Kan lucu kalau kalian nikah bareng," Naufal memberi ide yang terasa semakin memukulku telak.
"Kita bakal tetep kontakan kok, Maya masih sahabat gue. Nanti juga ketemu kalo dia mudik ke Semarang... Dia mau lanjut S2 soalnya," Saldan menjelaskan sambil senyum.
Iya aku tahu, dia yang terbahagia saat itu.
"Iya? Lo mau nerusin S2?" Aliya mendekat, mengabaikan mie yang tergeletak di tanah. Menghampiriku yang sebenarnya ingin menggelinding saja untuk kembali ke rumah.
Aku mengangguk lesu. Dan Aliya mencubitku.
"Kok malah Saldan mau nikah sih anjir? Katanya lo mau ungkapin," Bisik Aliya.
Aku terlalu kalut untuk sekedar mengatakan bahwa aku yang terlambat, aku yang terlalu menganggap Saldan tidak akan pergi, aku yang salah dan aku kehilangan cahaya ditengah terangnya sinaran surya. Yang kuinginkan saat itu hanya turun, kembali ke rumah, tak melihat Saldan untuk sementara waktu. Karena jujur, kehadirannya mencabik-cabik lukaku. Perih. Sangat.
"Jadi siapa calon lo?" Ozi memaksaku melirik ke arah Saldan.
"Anak sahabatnya ibu, gue beberapa kali lihat dia tapi ga tahu kalau kedatangan dia yang terakhir itu buat bikin rencana pernikahan."
"Wah, Sal... Lo baru wisuda bukannya kerja malah kawin," Naufal nimbrung.
"Gue bakalan nerusin usaha Orang tua gue anjir," Jelas Saldan setelah terkekeh panjang.
Boleh ga sih ga usah dijelasin disini!
"May... Lo udah tahu?" Ozi menoleh ke arahku.
Aku mengangguk lagi. Lebih lesu dari sebelumnya. Aku sedikit banyak tahu tentang Delia, dia gadis yang berusia tiga tahun lebih musa dariku maupun Saldan. Aku sempat mengira dia adalah sepupu Saldan hingga tadi pagi.
"Anjir..."
"Terus kapan lo mau nikah?" Aliya memberanikan bertanya, walaupun ia tahu tanganku bergetar di genggamannya.
"Belum ditentuin," Saldan menggeleng pelan.
Aku memaksa mendongak, meskipun air mataku berdesakan di pelupuk memaksa untuk keluar. Saldan harusnya tahu aku bersedih. Namun tentang apa yang membuatku sedih, dia juga harus tahu secepatnya.
Sore itu, kami memutuskan turun gunung. Tidak banyak percakapan yang terjadi setelah pengakuan Saldan yang akan segera menikah. Jalan turun juga terasa lebih gampang di lalui, saat petang aku sudah sampai di basecamp.
Rumah Bu Arum.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum 5 CM「COMPLETED」
القصة القصيرة📖 Short story 📖 Aku kehilangan Suryaku. Salahku karena merasa terlalu membutuhkannya hingga lupa kalau Surya tidak hanya bertugas untuk memberi namun juga harus mendapat. Cerita yang sebenarnya tidak ingin kuceritakan. Dariku yang merindukan Surya...