Semarang...
Tol Kalikangkung.
Aku masih mencoba meraih sadarku, ketika Saldan menghentikan mobilnya di pintu tol, meletakkan kartu e-toll tanpa bantuan stick. Tidak seperti aku yang pakai stick pun masih harus sedikit mengangkat tubuh dari kursi sopir.
Saldan menjemputku di bandara Jendral Ahmad Yani tepat pukul 03.00 pagi, waktu yang paling pas untuk kembali menarik selimut karena suhu yang pasti lebih ekstrim dari waktu sebelumnya. Sedikit info saja, aku tidak memaksanya.
"Emang lu ga tidur di pesawat?" Saldan mengacak lembut puncak kepalaku, memaksaku melepas kacamata yang sudah miring hingga gagangnya menyentuh garis rahangku.
"Tidur tapi ga puas."
Saldan tak menjawab, sibuk menyetir dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menelisip ke belakang mencari sweater yang langsung ia angsurkan padaku.
"Sorry kalo bau, itu udah dua hari di kursi belakang."
"Najis!"
"Bersih anjing, cuma emang ga gue bawa-bawa keluar."
Aku mengendus salah satu sisi sweater, mencium aroma fruity yang menyeruak dari sweater berwarna hijau botol yang Saldan berikan.
"Sal, ini beneran sweater lu?" Aku menegakkan badan, memasang kembali kacamataku untuk kemudian mengendus sisi lain sweater.
"Iya punya gue, kan kado dari lu."
Eh iya?
"Kok bau parfum cewek, njir?"
"Ya terus? Masa ga boleh deket sama cewek," Saldan masih fokus menyetir, seperti amat santai dengan pertanyaanku yang serius.
"Anjir setelah sepuluh tahun gue kenal sama lo dan sekarang lo punya pacar?"
"Aneh tau gak?" Aku melempar sweater itu ke belakang, merasa tidak perlu karena sebentar lagi mobil Saldan akan menyentuh pekarangan rumah nenek.Saldan menginjak rem, menghentikan mobil di depan pagar rumah Nenek yang tenang. Badannya bergeser mencondong ke arahku yang sibuk mengepak isi ransel kecil.
"Gue suka sama orang, May..," Saldan menghela nafas berat.
"Tapi dia bebal.""Siapa?" Aku menjawab tanpa memindahkan padanganku ke arah Saldan. Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban hingga Saldan turun mobil lalu mengeluarkan koperku dari bagasi.
Hingga saat ini aku belum tahu jawaban apa yang Saldan ucapkan, atau setidaknya apa yang Saldan pikirkan. Aku hanya tahu kalau saat itu Saldan sudah banyak menyimpan rahasia dariku.
Aku berpisah dengan Saldan setelahnya, dan sepulang Saldan dari rumah Nenek, aku tak menerima pesan darinya selama beberapa hari, tak bertemu dengannya yang biasanya setiap hari tidak pernah absen menemuiku.
Mengenal Saldan cukup lama membuatku sadar, ikatanku dengannya ternyata sudah seerat ini. Aku merindukan Saldan walaupun laki-laki itu kadang bau kaki. Saldan bukan hanya sahabat, aku ternyata jauh menyimpannya dalam satu bilik terang di salah satu ruangan hatiku yang lenggang.
Semuanya berlalu begitu saja, Saldan benar-benar tidak mengabariku bahkan saat dirinya mengantar Aliya ke rumah Nenek ku, Saldan tidak mengirimiku satu pesan pun. Laki-laki itu melenggang pergi tepat saat satu kakiku melangkah keluar dari rumah untuk menyambut Aliya bersama koper fiber-nya.
Saat itu...
Aku tidak peduli.
"Saldan galau deh kayanya," Aliya memoles serum malam ke pipinya, mengusap-usapnya pelan sembari menilik wajahnya di cermin meja.
"Paling kalah main game," Jawabku santai sambil memainkan hero ku.
"Lu beneran ga ngerti ya May?"
"Ngerti apaan?"
"Susah! Otak lu kecil."
Aku tidak mengambil pusing ucapan Aliya, selain karena tiba-tiba hp ku lemot, tapi juga karena pembahasan yang bagiku kurang penting. Semua yang ku bicarakan bersama orang-orang terasa menggantung, tidak ada yang jelas bahkan hingga saat aku menceritakan ini, aku tidak tahu apa kelanjutan dari ucapan mereka.
"May..," Aliya menyusulku, duduk di tepi kasur dengan piyama motif teddy bear warna merah kesayangannya.
"Ha?"
"Lu ga ada niatan pacaran?"
"Anjing."
Itu aku tidak sedang mengumpati Aliya kok.
(You has been slained)
Anjing, kan?
"Gitu deh, ga ada yang mau sama gue."
Aliya mendengus pelan.
"Bukan ga ada yang mau, lu yang kurang buka mata."
Aku sengaja menaruh ponselku, afk dari game yang sudah lama tidak kumainkan, merangkak mendekati Aliya dengan mata melotot.
"Tuh udah, sekarang siapa yang suka gue? Mana liat orangnya!"
"Anjir serem bodoh!" Aliya memalingkan mukaku kasar.
Sakit.
"Ya terus gue mesti gimana?" Aku menyurukkan kepala ke salah satu bantal motif batik yang Nenek pilihkan untukku.
"Kenapa ga nyoba deketin Saldan? Kalian kan udah sepuluh tahun tuh sahabatan, setidaknya Saldan ga akan kasih lu pengalaman pahit cinta pertama," Aliya berbicara ngalor ngidul tanpa mendengarkan pembelaanku.
"Al... Gue mendingan macarin cowok brengsek sekalian deh daripada harus pacaran sama Saldan."
Aliya mengernyitkan keningnya, memukul sisi kepalaku pelan sembari terus mengomel.
"Bego banget sih, kalo lu hamil gimana? Emang otak lu itu kecil mikirin hal begini aja susah, begitu bisa-bisanya cumlaude anjir."
Malam itu diakhiri dengan perkelahian ringanku melawan Aliya, anggaplah itu bentuk rasa sayang kita satu sama lain, atau kalau sekarang banyak yang menyebut bahasa cinta.
Physical destroyed.
Namun bagiku, memang sebaiknya aku menemukan laki-laki brengsek dan menyimpan Saldan sebagai salah satu sandaran tangisku daripada aku harus bersama Saldan dan menciptakan tangis karenanya.
Dan apakah keputusanku ini benar?
Hanya orang yang pernah bersahabat dengan seorang laki-laki yang bisa menebaknya.
"Lusa kita nanjak, tapi kenapa ga ada tanda anak-anak mau main kesini?" Aliya kembali membuka topik setelah lampu utama ku matikan.
"Gue juga ga tahu, gue udah ga yakin sama rencana ini memang dari awal... Tapi ga apa-apa, yang penting besok kita ke rumah Saldan, jadi apa engganya kan yang penting kita ikut hadir."
"Lo gak lagi akur ya sama Saldan?" Aliya menebak.
"Gue merasa gue ga bikin gara-gara, dan pertemuan terakhir, kita bahas pacar dia... Jadi gue rasa Saldan emang lagi sibuk sama ceweknya aja jadi ga sempet chat gue."
"Cewek?"
Aku mengangguk pelan.
"Lu ga lagi merasa ga rela, kan?"
Kenapa Aliya mendadak seperti bisa membaca otak ku.
Takut.
"Bukan ga rela sih, Al..."
"Lebih ke aneh aja," Akuku....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum 5 CM「COMPLETED」
Short Story📖 Short story 📖 Aku kehilangan Suryaku. Salahku karena merasa terlalu membutuhkannya hingga lupa kalau Surya tidak hanya bertugas untuk memberi namun juga harus mendapat. Cerita yang sebenarnya tidak ingin kuceritakan. Dariku yang merindukan Surya...